tirto.id - Dalam sebuah konferensi pers yang dilangsungkan menjelang pertemuan antara Schalke 04 dan Manchester City pada babak 16 besar Liga Champions Eropa, seorang wartawan asal Nigeria melontarkan pertanyaan kepada Pep Guardiola, pelatih Manchester City.
"Aku dari Nigeria dan Anda sangat populer di Nigera. Fans anti-Guardiola mengatakan bahwa Anda sudah tidak memenangkan Liga Champions Eropa dalam waktu yang cukup lama karena Anda sudah tidak memiliki Iniesta, Xavi, dan Messi. Bagaimana menurut Anda?"
Pertanyaan itu tentu sangat menohok, bisa membikin kuping Guardiola panas. Namun, mantan pelatih Barcelona itu ternyata mampu menjawab pertanyaan itu dengan enteng, "Ya, aku sangat setuju pendapat mereka [...] Waktu itu, aku hanyalah pelatih yang beruntung."
Guardiola terakhir kali meraih gelar Piala Champions pada 2011, saat ia masih membesut Barcelona, saat ia masih memiliki Messi, Xavi, serta Iniesta. Bersama Munchen ia gagal, dan bersama Manchester City sejauh ini ia juga belum bisa menang.
Namun, peluang Guardiola untuk kembali mengangkat gelar Liga Champions sangat terbuka pada musim ini. Melihat penampilan City yang sedang bagus-bagusnya, sulit rasanya mencoret nama mereka dari daftar kandidat terkuat peraih gelar juara.
Mental Juara yang Mulai Mengakar
Permainan bagus The Citizens mempunyai dasar yang kuat: pelatih bagus, skuat mendalam, pemain-pemain berkualitas, hingga mental juara. Dan menyoal mental juara, kemenangan City 2-3 atas Schalke 04, Kamis (21/2/20190 dini hari, tentu bisa menjadi contoh.
Dalam pertandingan itu, City yang sempat tertinggal 2-1 terlebih dahulu, berhasil mengunci kemenangan lewat gol telat yang dicetak Leroy Sane dan Raheem Sterling. Hebatnya, dua gol itu tercipta saat City bermain dengan 10 orang karena Nicolas Otamendi diusir dari pertandingan sekitar 22 menit menjelang laga bubar.
Kemenangan itu kemudian membuat Henry Winter, jurnalis The Times, memuji City setinggi langit, "Yang membawa Manchester City mendekatkan jarak dengan babak perempat-final Liga Champions Eropa lebih dari sebuah kemenangan. Itu adalah pertunjuk karakter luar biasa, sebuah pengingat akan ketangguhan serta keahlian tenis yang mampu mendorong City mencapai garis akhir dalam empat kompetisi yang mereka ikuti."
Winter, yang saat itu menonton pertandingan secara langsung, lalu menambahkan, "City sempat limbung karena VAR [Video Assitant Referee], sempat ketinggalan, dan kehilangan satu pemain karena dua kartu kuning. Mereka bisa saja kehilangan akal–tapi tim tamu datang ke sini [Veltins Arena] untuk menang, mereka selalu bermain untuk menang, dan mereka mampu membalas secara spektakuler. Veni. Video. Veci."
Yang menarik, seperti saat wartawan asal Nigeria bertanya, Guardiola ternyata kembali memilih merendah setelah pertandingan.
"Ini adalah hasil yang bagus," kata Guardiola. "Tapi, kami memberikan mereka dua penalti, kami memberikan mereka sebuah kartu merah dan di dalam kompetisi seperti ini, itu adalah sesuatu yang tidak bagus. Kami belum siap untuk memenangi Liga Champions. Kami belum siap untuk bertarung di tingkat lebih jauh.”
Kemampuan Adaptasi
Di City, Guardiola memang tak memiliki Xavi, Iniesta, serta Lionel Messi. Tetapi, ia mempunyai Raheem Sterling, Bernardo Silva, serta Leroy Sane. Jika Messi, Xavi, dan Iniesta adalah wujud dari dominasi total, Bernardo Silva, Sane, juga Sterling adalah bentuk dari fleksibilitas. Dan lewat ketiga pemain itu, City mencoba bertahan hidup di kancah liga Champions Eropa musim ini.
Musim lalu, Liverpool mengajarkan Guardiola untuk tidak bersikap naif jika ingin memenangi Liga Champions Eropa. Bermain terbuka dalam dua laga perempat-final, City kalah dua kali dari Liverpool: 3-0 di Anfiled dan 1-2 di Etihad. Dari sana, pada musim ini, Pep pun mulai mengubah pendekatannya; ia tak ragu untuk menerapkan counter-attack.
Sterling, Bernardo Silva, dan Leroy Sane, lantas menjadi kunci dari pendekatan baru Pep Guardiola itu. Jika sebelumnya mereka adalah wujud dominasi City di sisi lapangan, pada musim ini mereka adalah pemain kunci Pep dalam melancarkan serangan balik. Alasannya: ketiga pemain itu mempunyai kemampuan untuk meledak dalam sekejap.
Sejauh ini, pendekatan itu ternyata sukses. Dari 19 gol yang dicetak City di kancah Liga Champions musim ini, 4 gol di antara tercipta melalui skema serangan balik, membikin City menjadi tim yang paling sering membobol gawang lawan dengan serangan balik. Hebatnya, Sane, Bernardo, dan Sterling selalu terlibat di dalam empat gol tersebut.
Sane, Sterling, serta Bernardo Silva sendiri sudah terlibat dalam sembilan gol [7 gol dan 2 assist] yang dicetak City di Liga Champions musim ini.
Dengan pendekatan seperti itu, City memang tidak sedominan musim lalu menyoal penguasaan bola. Menurut Whoscored, tingkat penguasaan bola mereka musim ini hanya mencapai 59,5%, masih berada di bawah Barcelona (60,4%) dan Real Madrid (60%). Sedangkan pada musim lalu, rataan tingkat penguasaan City merupakan yang terbaik di Liga Champions: mencapai 62,6%
Meski begitu, jika perubahan itu mampu mendekatkan The Citizens untuk meraih gelar Liga Champions, Pep Guardiola pasti dengan senang hati akan terus menerapkannya.
Editor: Mufti Sholih