Menuju konten utama

Mengapa Ada Hujan Deras di Akhir April dan Bikin Banjir?

Banjir di pelbagai wilayah Indonesia pada akhir April 2019 disebabkan fenomena Madden-Julian Oscillation.

Mengapa Ada Hujan Deras di Akhir April dan Bikin Banjir?
Suasana RW 07 Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, usai banjir menerjang rumah mereka, Minggu (28/4/2019). tirto.id/Adi Briantika

tirto.id - Banjir Jakarta biasanya terjadi bulan Januari atau Februari? Itu dulu. Tahun ini, pada pengujung April 2019, Jakarta dikepung banjir.

Sejak awal Maret, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah memperingatkan bahwa hujan deras dengan intensitas tinggi akan terus berlangsung hingga 18 Maret. Padahal, biasanya di Jawa, Maret umumnya menjadi bulan ujung musim penghujan.

Deputi Bidang Meteorologi BMKG, R. Mulyono Rahadi Prabowo, menyatakan biasanya banjir di ibu kota terjadi pada 10 hari terakhir bulan Januari hingga 10 hari pertama Februari. “Maret sudah meluruh, artinya curah hujan sudah tidak setinggi Januari-Februari, dan April cenderung memasuki masa musim kemarau,” ungkap Prabowo.

Riset berjudul “Get Ready for the Flood! Risk-Handling Styles in Jakarta, Indonesia”, yang dilakukan R.S van Voorst (PDF), juga mencatat peristiwa banjir di Jakarta sejak 1932 umumnya terjadi pada bulan Januari hingga Februari.

Namun, hujan bulan Maret terus terjadi, bahkan ketika April segera berakhir. Setelah banjir Jakarta dan Bengkulu pada 26 dan 27 April lalu, BMKG kembali memperingatkan hujan deras akan terjadi di pelbagai wilayah Indonesia, terutama Jawa Timur, akan berlangsung sejak akhir April hingga Mei.

Apa pasal?

Menurut Prabowo, penyebabnya adalah osilasi Madden-Julian atau Madden-Jullian Oscillation (MJO). Menurut ensiklopedia Britannica, MJO adalah fluktuasi intra-musiman dari tekanan atmosferik di atas Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian barat, yang bergerak ke arah timur pada daerah tropis.

“Ini memang bisa muncul 40 hari sekali, atau kalau agak jarang 60 hari sekali. Nah, kalau ditarik dari situ, maka pada minggu-minggu ini, tanggal 28 [April] sampai kira-kira tanggal 5 Mei ini masih ada aktivitas Osilasi Madden-Julian,” kata Prabowo.

Prabowo membeberkan fenomena MJO tak bergantung pada musim dan bisa terjadi sepanjang tahun, termasuk di musim kemarau. Menurutnya, gangguan aktivitas atmosferik Madden-Julian inilah yang memicu pertumbuhan-pertumbuhan awan di atas Samudera Hindia.

“Awalnya tumbuh di sana [Samudera Hindia], tapi kemudian merambat melintas di wilayah Indonesia. Jadi kalau pas Madden-Julian Osilasi ini lewat, akan terjadi pertumbuhan awan yang banyak, jadi akan turun hujan,” ungkap Prabowo.

Prabowo memperkirakan fenomena ini akan muncul kembali pada musim kemarau, yakni sekitar bulan Juni-Juli. Saat musim kemarau, gangguan aktivitas atmosferik ini akan membuat musim kemarau menjadi tak terlalu kering.

MJO, menurut penjelasan Prabowo, terjadi akibat kondisi tekanan udara yang dinamis. Contohnya: ketika musim penghujan dan matahari seharusnya berada di selatan, pola tekanan udara akan berubah-ubah dan memicu pertumbuhan tekanan udara rendah di Samudera Hindia.

“Dengan adanya pertumbuhan tekanan udara rendah di Samudera Hindia ini kemudian menarik aliran udara sekitarnya untuk masuk ke daerah tersebut. Kalau aliran udaranya masuk ke wilayah tekanan udara rendah tadi, akan terjadi pertumbuhan awan yang cukup kuat. Gitu terus berulang-ulang,” tuturnya.

Fenomena MJO ini merata di seluruh Indonesia. Tak heran jika banjir tak cuma menyambangi Jakarta, tapi juga daerah lain seperti Bengkulu.

Seperti ditulis Climate.org, situs resmi tentang iklim milik National Oceanic and Atmospheric Administration (NOOA), Amerika Serikat, fenomena MJO terbagi dalam dua fase konvektif. Saat fase konvektif meningkat, angin bertemu di permukaan dan udara di atmosfer didorong ke atas. Gerakan udara yang meningkat di atmosfer tersebut akan meningkatkan kondensasi dan curah hujan.

Fase konvektif lainnya adalah saat angin bertemu di bagian atas atmosfer dan udara menghilang, kemudian menyebar di permukaan. Saat udara mengilang, ia akan menghangat dan menahan curah hujan.

Tetap Waspada di Bulan Mei, bahkan Juni

Senada dengan Prabowo, ahli meteorologi dan klimatologi, Edvin Aldrian, memaparkan bahwa fenomena banjir yang kerap terjadi pada bulan Februari tersebut bukan akibat musim penghujan, tapi berasal dari hentakan dingin dari Utara.

Biasanya pada bulan Februari, belahan bumi Utara memasuki musim dingin dan menekan ke bagian Selatan. Hanya saja, tahun ini, di bulan-bulan itu panas suhu permukaan laut merata dan tak memunculkan tekanan dari Utara.

“Biasanya terasa di Malaysia, terus di Indonesia atau Riau itu Bulan Februari kebakaran hutannya meningkat pas tanggal-tanggal itu dan uap airnya menumpuk di Jawa Barat, biasanya,” bebernya.

Dalam kejadian banjir kali ini, Edvin melihat suhu muka laut di Jawa yang terlalu hangat dan menyebabkan hujan terus-menerus di Bulan April.

“Jadi, penyebabnya beda," kata Edvin, soal banjir yang biasanya terjadi bulan Januari-Februari dan banjir tahun ini yang terjadi bulan April. "Makanya saya pikir Jakarta selamat, tahunya [terjadi] April. Penyebabnya beda sama sekali."

Berdasarkan analisis Edvin, saat ini MJO bergerak ke timur. Tak heran jika bencana banjir di Indonesia juga turut menerjang ke wilayah Timur seperti beberapa daerah di Sulawesi dan Sorong, Papua.

Dalam siklus ENSO-El-Nino Southern Oscillation (siklus El Nino dan La Nina), gangguan MJO juga bisa berpengaruh terhadap kecepatan pengembangan dan intensitas kedua siklus tersebut.

Menurut BMKG, pada Januari 2019, sebenarnya di Indonesia sempat terjadi fenomena El-Nino, tapi ia tak berpengaruh terhadap intensitas hujan. “Pada bulan Mei-Juni, fenomena El Nino itu prediksi kita sudah luruh, atau dalam kondisi netral,” ujar Prabowo.

Infografik Madden Julian Oscillation

undefined

Meski begitu, bencana banjir tetap harus diwaspadai pada musim kemarau, kira-kira sekitar bulan Juni. Edvin juga mengatakan siaga bencana agar tak hanya dilakukan oleh pemerintahan Jakarta, tapi juga daerah lain.

“Waspada terus, soalnya tekanan atmosfer tinggi, masih basah, dan suhu muka lautnya masih tinggi,” ungkap Edvin. Edvin menambahkan bahwa tingginya suhu di permukaan laut itu disebabkan oleh pemanasan global. Di Indonesia, kenaikan suhu muka laut mencapai 0,760 Celcius setiap 100 tahun.

Banjir di bulan Juni bukanlah fenomena baru. Pada Juni 2018 lalu, banjir bandang pernah menerjang Kabupaten Banyuwangi. Saat itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan banjir terjadi akibat anomali cuaca di musim kemarau.

“Anomali cuaca akibat adanya tekanan rendah di Samudera Pasifik sebelah timur Filipina, serta udara basah dari Samudera Hindia dan sirkulasi siklonik di wilayah Samudera Hindia Barat Bengkulu, Serat Karimata, dan Selat Makassar, yang mengakibatkan adanya pola pertemuan aliran udara di Bagian Selatan Kalimantan, Periran Selatan Bangka Belitung, Sumatera Selatan-Lamung, Bengkulu hingga Samudera Hindia, kata Dwikorita saat itu.

Pada Juni 2016, seperti diberitakan BBC, juga terjadi banjir dan longsor di 16 daerah Jawa Tengah akibat hujan lebat yang mengguyur provinsi tersebut.

Baca juga artikel terkait BANJIR atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Humaniora
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani