Menuju konten utama

Mengangkat Wisata Tak Cukup Slogan Citra

Tiap negara memiliki slogan pariwisata yang berbeda-beda. Ada Malaysia Truly Asia, Amazing Thailand, Wonderful Indonesia, hingga Incredible India. Berbeda-beda, tapi satu tujuannya yakni menarik wisatawan sebanyak-banyaknya.

Mengangkat Wisata Tak Cukup Slogan Citra
Pengunjung berfoto di kawasan wisata candi prambanan, di Yogyakarta. [Antara foto/Andreas Fitri Atmoko]

tirto.id - ”Keputusan kami untuk mengunjungi lagi Bali tidak terpengaruh oleh kampanye iklan pariwisata Indonesia”Wonderful Indonesia.”

Ucapan itu disampaikan oleh Fauziah Ismail dalam artikel yang berjudul Time to change 'Malaysia, Truly Asia' tagline yang termuat dalam www.nst.com.my April lalu. Fauziah menuliskan suramnya kondisi pariwisata negaranya. Di artikel itu, dia membanggakan pariwisata di Indonesia.

Fauziah yang merupakan seorang jurnalis yang beberapa bulan lalu bertandang ke Bali mengajak teman-temannya. Kunjungan ini yang pertama di tahun ini, tapi selama tiga tahun ini Fauziah sudah 7 kali ke Bali.

Ucapan Fauziah cukup menarik, ketika seorang wisatawan justru tertarik datang ke Bali bukan soal slogan-slogan wisata yang jadi pencitraan internasional “Wonderful Indonesia”. Padahal slogan ini cukup banyak meramaikan papan iklan Food Truck Festival di Putrajaya, Malaysia Februari lalu. Iklan Wonderful Indonesia juga muncul di fasilitas transportasi publik Express Rail Link (ERL) di Malaysia.

Selama berkunjung ke Bali, jurnalis senior ini mengaku sudah mengelilingi Pulau Bali dan menyaksikan banyak atraksi wisata di Pulau Dewata. Ia tak pernah bosan berkunjung ke jantung wisata Indonesia ini. Apa yang membuatnya tertarik datang lagi ke Bali? Bali bisa menampilkan pertunjukan tradisional setiap hari, tak seperti di negaranya.

“Saya malu ketika kami menjual slogan Truly Asia, tapi kami tak bisa memberi tahu di mana menemukan itu. Teman-teman dari luar negeri sebenarnya bertanya di mana mereka bisa menyaksikan pertunjukan Mak Yong atau Ulek Mayang seperti pertunjukan Kecak dan Barongan yang berlangsung setiap hari di Bali,” kata Fauziah.

Tahun lalu industri pariwisata Malaysia sedang suram. Penurunan wisatawan jatuh cukup tajam, pada 2015 tercatat hanya ada 25,7 juta wisatawan yang melancong, padahal setahun sebelumnya sempat menembus 27,4 juta wisatawan. Padahal negeri jiran ini termasuk jor-joran dalam hal branding wisata mereka.

Kasus Malaysia ini bisa jadi gambaran bahwa kekuatan slogan wisata sebuah negara tak selamanya bisa diandalkan. Saat ini, Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Jokowi sedang gencar-gencarnya mengangkat slogan “Wonderful Indonesia”, bagian dari country branding.

Country Branding Ala Jokowi

Sebelum Malaysia punya slogan Truly Asia, negeri tetangga ini sempat menggunakan istilah Fascinating Malaysia. Indonesia juga sempat punya beberapa slogan seperti Visit Indonesia, Remarkable Indonesia. Kini sudah menjelma menjadi Wonderful Indonesia yang sudah dipakai oleh pemerintahan sebelumnya.

Upaya mengangkat citra Indonesia dengan slogan ini cukup membuahkan hasil di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tahun lalu, slogan Wonderful Indonesia masuk peringkat 47 branding terbaik dunia versi Travel and Tourism Competitiveness Index World Economic Forum (WEF) 2015. Capaian ini naik signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Posisi Malaysia dengan Truly Asia hanya di peringkat 95. Wonderful Indonesia terangkat berkat promosi gencar di channel-channel TV internasional

"Saya menyambut baik ada peningkatan ranking yang signifikan dalam hal country branding dari peringkat di atas 140-an menjadi peringkat 47 tahun ini dari 144 negara," kata Menteri Pariwisata Arief Yahya dikutip dari Antara.

Selain promosi di TV global, iklan gencar melalui media konvensional juga dilancarkan. Sebanyak 20 bus wisata dari perusahaan OpenTour di Kota Paris menampilkan Wonderful Indonesia dengan aneka gambar pemandangan objek wisata khas Tanah Air sejak 21 Juni hingga 18 Juli 2016. Aneka gambar pemandangan wisata Indonesia tersebut seperti Candi Borobudur, Pura Ulun Danu Bali, Festival Barong Banyuwangi Jawa Timur, Penari Bali, dan Komodo mejeng di mata para warga Kota Paris.

Upaya keras promosi slogan wisata ini tak terlepas dari keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar Indonesia punya country branding yang kuat. Presiden Jokowi menyatakan dalam era kompetisi dan persaingan ini negara manapun harus bisa membangun country branding. Adanya country branding akan muncul image mengenai perdagangan, pariwisata, investasi yang menguntungkan.

"Dibangun positioning-nya, dibangun diferensiasinya, dibangun branding-nya, dikemas produk-produknya sehingga muncul sebuah persepsi, muncul sebuah image negara yang mereka kehendaki," kata Jokowi Februari lalu.

Jokowi memang sedang gencar merealisasikan target kunjungan 20 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia pada 2019 dan 12 juta wisatawan di 2016. Danau Toba yang selama ini sempat terlupakan kembali diangkat kembali agar menjadi “Bali” baru di Indonesia, demi menarik jumlah wisatawan.

Di Atas Kertas

Tahun lalu peringkat slogan pariwisata Indonesia melalui Wonderful Indonesia naik kelas sangat signifikan. Di saat bersamaan capaian kunjungan wisatawan ke Indonesia juga tumbuh. BPS mencatat, selama Januari-Juni 2016, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia mencapai 5,29 juta wisatawan atau naik 5,88 persen dibandingkan jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama tahun sebelumnya 5 juta wisatawan. Capaian ini cukup positif, bila dibandingkan kondisi Januari-Juni 2015, jumlah kunjungan wisman mencapai 4,66 juta kunjungan atau naik 2,34 persen dibanding periode yang sama di 2014.

Saat capaian positif ini, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) terkena pemangkasan anggaran dalam APBN-P 2016. Kementerian ini mendapat pemotongan anggaran Rp1,2 triliun, turun dari Rp5,4 triliun jadi Rp4,2 triliun. Selama ini anggaran untuk branding pariwisata memakan porsi hingga 50 persen dari anggaran, selebihnya untuk advertising 30 persen, dan 20 persen untuk selling. Setelah pemangkasan anggaran komposisinya berubah, 30 persen untuk branding, 30 persen untuk advertising, dan 40 persen untuk selling.

Upaya mem-branding slogan memang membutuhkan anggaran yang tak sedikit. Di sisi lain, efektivitasnya pun tak mutlak signifikan mendongrak wisatawan. Studi yang berjudul The Influence of Slogan on People's Motivation to Visit: A Study of Country Slogan for Tourism, dikutip dari www.academia.edu, menghasilkan sebuah survei yang mencakup 153 orang termasuk 42 persen orang Indonesia, dan sisanya dari negara-negara di Eropa, terhadap 15 slogan wisata negara di dunia.

Survei ini mengungkap 58,78 persen responden mengaku tak terpengaruh terhadap sebuah slogan pariwisata sebuah negara, meski sebanyak 84,67 persen menganggap sebuah negara butuh slogan wisata yang baik untuk menopang industri pariwisatanya. Intinya, membangun wisata tak hanya soal anggaran yang digelontorkan untuk pencitraan, tapi juga pelayanan.

Peningkatan pelayanan bagi para wisatawan yang berkunjung ke Indonesia sangat penting, apalagi Indonesia telah memberlakukan bebas visa bagi 94 negara. Peningkatan kualitas pelayanan yang dilakukan berupa meningkatkan kualitas paket perjalanan untuk wisatawan agar mereka puas dan nyaman.

"Peningkatan kualitas tersebut mencakup pengoptimalan berbagai komponen yang ada, seperti kepariwisataan yang mencakup perhotelan, restoran, transportasi, objek wisata, atraksi, pemandu wisata dan banyak lagi," kata Ketua Umum Association of the Indonesian Tours and Travel (Asita) Asnawi Bahar dikutip dari Antara.

Slogan wisata memang diperlukan sebagai sarana memperkenalkan citra atau branding sebuah negara terhadap masyarakat dunia, tapi ingat slogan tak menjamin mutlak bisa menarik kunjungan wisatawan dan cara ini sangat bergantung pada sokongan anggaran. Namun yang bisa memberikan jaminan adalah bagaimana hasil pengalaman wisatawan yang telah datang ke Indonesia bisa menceritakan pengalaman mereka di negaranya. Persis yang telah dilakukan oleh Fauziah Ismail kepada teman-temannya di Malaysia untuk datang ke Bali. Ini bisa terjadi, jika pengembangan wisata tak hanya sekedar jual branding semata.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti