Menuju konten utama

Membuat Jera Para Koruptor

Kerugian negara akibat korupsi selama 2001-2015 mencapai Rp203,9 triliun. Namun, hukuman finansial yang dijatuhkan pengadilan sangat kecil, hanya Rp21,3 triliun. Hukuman alternatif selain bui dimunculkan sebagai solusi untuk membuat jera para koruptor. Akankah wacana untuk memiskinkan koruptor bisa direalisasikan?

Membuat Jera Para Koruptor
Sejumlah pegiat anti korupsi melakukan aksi di depan Gedung KPK Jakarta. [ANTARA FOTO/Wahyu Putro A]

tirto.id - Juli lalu, saat masih menjabat sebagai Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan membuat geger publik. Pemantiknya adalah lontaran wacana hukuman alternatif bagi koruptor, sehingga mereka tidak perlu dibui.

Wacana tersebut dilatarbelakangi asumsi bahwa koruptor tidak merasakan efek jera saat dipenjara. Ditambah lagi kekhawatiran kondisi beberapa lembaga pemasyarakatan (lapas) yang sudah tidak memadai untuk menerima tambahan narapidana dalam jumlah besar. Kondisi ini mendorong pemerintah mengkaji hukuman apa yang sekiranya dapat membuat para koruptor menjadi jera.

“Kalau dia [koruptor] terbukti merugikan negara, kita bisa hukum dengan mengembalikan uang negara, ditambah penalti dan pemecatan dari jabatannya. Kalau masuk penjara, maka penjara kita bisa penuh nanti,” kata Luhut seperti dikutip dari kantor berita Antara.

Sekilas, pernyataan Luhut soal hukuman alternatif berupa pengembalian uang negara masuk akal. Namun, frase “tidak perlu dipenjara” seolah-olah para terpidana korupsi akan dibiarkan saja berkeliaran bebas, sedangkan maling ayam justru dihukum berat. Kalimat multitafsir Luhut tersebut yang menyulut kemarahan publik.

Hukuman Alternatif

Akan tetapi, pernyataan kontroversi Luhut perlu ditindaklanjuti mengingat hukuman alternatif untuk membuat para koruptor jera sangat urgen. Setidaknya ada dua alasan mengapa penting membahas hukuman alternatif ini. Pertama, kerugian negara yang sangat besar. Kedua, tren vonis koruptor yang semakin ringan, bahkan tidak sedikit yang lolos di Pengadilan Tipikor.

Dalam analisis database korupsi versi V yang dirilis Laboratorium Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM pada April 2016 lalu, disebutkan kerugian negara yang diakibatkan kasus korupsi selama periode 2001-2015 mencapai Rp203,9 triliun. Padahal hukuman finansial berdasarkan putusan pengadilan hanya Rp21,3 triliun.

Untuk diketahui, hukuman finansial adalah gabungan nilai hukuman denda, hukuman pengganti, dan perampasan barang bukti atau aset. Sementara aset non moneter tidak dimasukkan karena tidak ada nilai taksiran dari nilai tersebut di putusan pengadilan.

Pertanyaannya, mengapa kerugian negara yang diakibatkan praktik korupsi dengan hukuman finansial yang dibebankan pada terpidana korupsi sangat timpang? Salah satu penyebabnya karena tuntutan jaksa terkait hukuman finansial ini di bawah nilai kerugian negara, sehingga putusan hakim pun dalam menjatuhkan hukuman pembayaran uang pengganti jauh dari nilai uang yang dikorupsi.

Sebagai contoh adalah korupsi yang dilakukan pegawai negeri sipil (PNS) selama 2001-2015 yang berjumlah 1.115 terdakwa. Kerugian negara akibat korupsi tersebut mencapai Rp21,27 triliun. Sementara tuntutan jaksa hanya Rp1,04 triliun, sehingga vonis hukuman finansial yang dijatuhkan hanya Rp844 miliar.

Contoh lainnya adalah korupsi yang melibatkan anggota legislatif yang berjumlah 480 terpidana. Dalam konteks ini, kerugian negara mencapai Rp1,63 triliun. Namun, tuntutan jaksa hanya kisaran Rp537 miliar sehingga hukuman finansial yang dijatuhkan hakim di pengadilan hanya sebesar Rp402 miliar.

Dua contoh di atas menunjukkan bahwa hukuman finansial kepada para terpidana korupsi cenderung suboptimal atau lebih rendah dari kerugian negara yang diakibatkan.

Tak hanya berhenti di hukuman finansial yang rendah. Hukuman berupa vonis penjara juga menunjukkan tren ringan seperti hasil pemantauan peradilan yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) selama Januari-Juni 2016 lalu. Pada periode ini, ICW telah melakukan monitoring terhadap 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun Peninjauan Kembali (PK).

Dari 325 perkara korupsi yang berhasil terpantau, nilai kerugian negara yang timbul adalah Rp1,4 triliun dan 19.770.392 dolar Amerika. Data tersebut juga menunjukkan bahwa dari 325 perkara korupsi, sebanyak 319 terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti korupsi, 46 terdakwa divonis bebas atau lepas oleh pengadilan, sedangkan 19 terdakwa tidak dapat diidentifikasi. Persoalannya, rata-rata vonis untuk koruptor hanya 25 bulan atau 2 tahun 1 bulan penjara.

Kalau dibandingkan dengan periode yang sama, maka tren vonis ringan tersebut tiap tahun selalu meningkat. Misalnya pada Januari-Juni 2016, para koruptor yang divonis ringan berjumlah 275 orang, meningkat dari tahun 2015 yang berjumlah 163 orang.

Artinya, baik data yang dirilis oleh Laboratorium Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM pada April 2016, dan data yang keluarkan ICW pada Juni 2016 menunjukkan tren yang sama. Yang satu menunjukkan bahwa hukuman finansial yang rendah, sedangkan data lainnya menunjukkan terjadinya tren vonis hukuman penjara yang ringan, bahkan tidak sedikit yang divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor. Dalam konteks ini, usulan hukuman alternatif bagi koruptor agar menjadi jera, seperti memiskinkan terpidana koruptor menjadi relevan.

Bagaimana dengan wacana koruptor akan dihukum mati?

Pro kontra soal hukuman mati bagi koruptor bukan hal baru. Wacana ini mengemuka kembali seiring dengan tren vonis pengadilan terhadap terdakwa korupsi yang kerap di bawah tuntutan jaksa. Sehingga, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo berpikir agar para terdakwa korupsi bisa dihukum mati.

“Saya bertanya ke teman-teman ahli hukum, kalau kita mulai terapkan tuntutan mati gimana? Hanya di situ [UU Tipikor] pada keadaan tertentu. Tetapi, untuk saya, korupsi dalam jumlah besar pun layak [divonis mati],” ujarnya seperti dikutip kompas.com, pada Februari lalu.

Hukuman mati bagi koruptor memang dimungkinkan oleh Undang-Undang (UU), tapi hanya dalam keadaan tertentu. Misalnya pada Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, keadaan tertentu yang dimaksud adalah korupsi dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Saat tes wawancara seleksi calon pimpinan KPK 2015 lalu, soal kemungkinan hukuman mati bagi koruptor juga menjadi pertanyaan panitia seleksi (pansel). Jimly Asshiddiqie, salah satu calon pimpinan KPK saat itu menegaskan, koruptor tidak perlu dihukum mati. Wacana hukuman mati terhadap para koruptor ‎hanya merupakan bentuk kemarahan publik.

“Kalau ikut emosi kita setuju saja [hukuman mati]. Bahkan pas saya marah pada kasus Akil Mochtar 'hukum mati saja orang itu'. Tapi itu konteks orang marah,” ujarnya saat diwawancara Pansel Capim KPK, Agustus 2015 lalu.

Bagi Jimly, hukuman mati di Indonesia seharusnya dikurangi karena berpotensi bertentangan dengan dasar negara sila ke-2, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengatakan, sanksi yang tepat terhadap koruptor adalah dengan memiskinkan mereka.

Terlepas dari pro kontra hukuman mati bagi koruptor di atas, yang jelas jangan sampai korupsi menggerogoti bangsa ini. Penegakan hukum terhadap para koruptor harus tegas, vonis berat serta hukuman finansial yang besar merupakan ganjaran yang tepat dan adil.

Zero toleran untuk korupsi!!

Baca juga artikel terkait VONIS HUKUMAN RINGAN KORUPSI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti