Menuju konten utama
Indeks Harga Saham Gabungan

Membaca IHSG di Tengah Himpitan Perang Dagang dan Tahun Politik

Faktor eksternal berupa perang dagang merupakan hal yang tidak terhindarkan. Sayangnya, fundamental ekonomi dalam negeri belum mampu mengurangi tekanan eksternal tersebut.

Pegawai beraktivitas di depan monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (8/2/2019). ANTARA FOTO/Putra Haryo Kurniawan/ama.

tirto.id - Hasil rekapitulasi suara manual Pilpres 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa (21/5) menyebut pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul dalam posisi perebutan kursi presiden dan wakil presiden. Total suara yang diperoleh pasangan tersebut sebesar 85,61 juta atau sekitar 55,50 persen.

Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sementara itu, memperoleh 68,65 juta suara atau sekitar 44,50 persen. Selisih perolehan suara keduanya sebesar 16,95 suara dengan jumlah suara sah yang dihitung Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah 154,36 juta suara. Kepastian hasil ini menjadi katalis positif di pasar modal. Sayang, pengumuman tersebut disambut aksi demonstrasi 22 Mei, sehingga pasar saham kembali goyah.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Rabu (22/5), dibuka melemah 3,599 poin atau 0,06 persen ke posisi 5.947,773 dan ditutup pada posisi 5.939,636. Sebagai catatan, sehari sebelumnya, pasca pengumuman KPU, IHSG dibuka menguat 24,96 poin ke posisi 5.932,081 dan ditutup pada level 5.951,372.

IHSG sejak Senin memang berada dalam tren penguatan. Sehari pasca demonstrasi 22 Mei sendiri, Kamis (23/5), IHSG dibuka positif pada posisi 5.948,754.

Belum pastinya kondisi dan stabilitas politik pasca pengumuman hasil pilpres dari KPU membuat Tri (32) menahan diri untuk menambah koleksi portofolio saham melalui reksadana yang dimilikinya. Menurut wiraswasta yang berdomisili di Ciledug ini, meski IHSG sempat menguat saat pengumuman Presiden pada Selasa, namun masih memanasnya kondisi politik dalam negeri membuat ia menunggu waktu yang tepat untuk kembali berinvestasi.

"Baru rencana mau tambah reksadana lagi, tapi sedang riset-riset dulu, masih cari-cari tahu dulu," cerita Tri kepada Tirto.

Tri mengatakan, ia tidak ingin investasinya semakin anjlok lantaran belum adanya kepastian dan stabilitas politik dalam negeri. "Karena ada pendapat analis yang bilang, jangan masuk [beli] dulu. Jangan sampai investasi justru semakin anjlok," imbuh ayah dua orang anak ini.

Kondisi IHSG yang volatil memang dipengaruhi berbagai sebab, utamanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa situasi dan kondisi politik dalam negeri, sedangkan eksternal adalah perang dagang yang melibatkan Amerika Serikat (AS) dengan Cina dan juga perang terbuka AS dengan Iran.

Kendati demikian, potensi rebound atau menguatnya IHSG pada Selasa (21/5) pasca pengumuman hasil Pilpres 2019 sudah diperkirakan oleh Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri. Ia mengatakan, gagasan yang dipercayai analis dan pelaku pasar adalah sejarah yang cenderung berulang (history will repeat itself) terutama dalam hal pergerakan harga yang dikaitkan dengan psikologi pasar.

Secara historis, hasil Pemilu memang memberikan dampak positif terhadap pergerakan IHSG. Namun, faktor yang tak kalah penting yang menjadi perhatian investor adalah segi keamanan dalam negeri dan kestabilan politik. Apabila pasca pengumuman kondisi politik Indonesia menjadi tidak aman, maka pergerakan IHSG pun akan terpengaruh.

"Pelaku pasar sudah mengekspektasi hasil pemilu. Jadi jika pengumuman berjalan dengan lancar, maka ada peluang IHSG untuk rebound (menguat). Tapi sebaliknya, jika kondisi politik menjadi tidak aman, maka IHSG juga akan goyah," jelas Hans Kwee kepada Tirto.

Internal yang Tidak Kuat

Di luar faktor politik dalam negeri, laju IHSG pada tahun ini banyak dipengaruhi oleh fundamental ekonomi Indonesia serta eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina.

Sejumlah pengamat memperkirakan bahwa eskalasi perang dagang antara AS-Cina yang merupakan faktor eksternal akan menjadi faktor dominan pergerakan pasar saham di Indonesia sampai dengan akhir tahun mendatang. Jika sentimen negatif perang dagang menguat, maka tekanan yang dialami IHSG menjadi semakin besar.

Managing Director Head of Equity Capital Markets PT Samuel International Harry Su berharap laju IHSG sampai dengan akhir tahun 2019 tidak lebih rendah dibanding capaian 2018, yang sejatinya masih berada dalam performa terbaik kedua.

"Secara teknikal IHSG sampai dengan akhir tahun masih turun dan akan sulit untuk kembali ke level 6.700 seperti yang pernah dicapai sebelumnya, dengan adanya tekanan dari perang dagang," ungkap Harry.

Perang dagang memang menjadi faktor eksternal yang tidak terhindarkan untuk pasar keuangan Indonesia. Namun sejatinya, jika fundamental ekonomi RI kuat, tekanan dari perang dagang terhadap perekonomian Indonesia tidak akan terasa besar.

Sayangnya, menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara, fundamental ekonomi RI justru lemah. Hal ini terlihat dari defisit neraca perdagangan April 2019 yang menembus angka defisit terdalam, mencapai 2,5 miliar dolar AS.

Pada periode Januari-April 2019, defisit neraca dagang Indonesia yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 2,56 miliar dolar AS, lebih tinggi dibanding periode yang sama 2018 sebesar 1,41 miliar dolar AS. Imbasnya, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pun melebar, mencapai 7 miliar dolar AS, setara 2,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) sepanjang tiga bulan pertama 2019. Posisi ini lebih tinggi dibanding periode sama 2018, sebesar 5,2 miliar dolar AS, atau setara 2,01 persen PDB. Bank Indonesia bahkan harus merevisi target CAD 2019 menjadi kisaran 2,5-3 persen PDB.

"Pemilu tahun 2019 ini konsumsi masyarakat justru stagnan, padahal biasanya di tahun politik, tingkat konsumsi bisa naik tinggi. Ini artinya, fundamental ekonomi RI yang memang tidak kuat," ungkap Bhima.

Infografik Pergerakan IHSG

Infografik Pergerakan IHSG di Tahun Pemilu. tirto.id/Fuad

Selain itu, euphoria pelaku pasar akan adanya Jokowi effect di tahun ini sudah berkurang. Pada 2014, investor memiliki harapan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 7 persen dengan hadirnya pemimpin negara yang baru. Sayangnya, hal itu tidak terwujud selama lima tahun pertama kepemimpinan Jokowi. Pertumbuhan ekonomi RI stagnan di kisaran lima persen.

"Ekspektasi pelaku pasar pasar di tahun politik 2019 ini, sudah tidak setinggi dulu lagi. Selain itu, banyaknya menteri kabinet kerja pemerintahan Jokowi yang tersangkut kasus suap dan korupsi KPK, juga membuat kinerja kabinet tidak fokus," rinci Bhima.

Sejumlah hal tersebut menjadi pembeda antara Pemilu 2014 dan 2019. Tekanan eksternal berupa perang dagang yang sulit diantisipasi serta faktor kondisi ekonomi RI yang kurang baik membuat investor mengalihkan investasinya di negara-negara berkembang ke aset safe haven seperti yen.

Oleh karena itu, Bhima memperkirakan, investor asing yang hengkang dari pasar Indonesia tahun ini jumlahnya akan lebih banyak dibanding 2018. Ia memprediksi IHSG sampai dengan akhir 2019 akan berada di rentang 5.700-5.800. Nilai tukar rupiah, sementara itu, akan bergerak di kisaran 14.700-14.800 per dolar AS.

Harry Su menambahkan, kondisi pasar saham Indonesia sampai dengan akhir tahun 2019 akan sangat tergantung dengan reshuffle dan juga formasi kabinet yang dibentuk pemerintah. Selain itu, investor juga akan menyimak berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, terutama terkait dengan ketenagakerjaan dan reformasi investasi.

Baca juga artikel terkait IHSG atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara