Menuju konten utama

Melawan Covid-19 dengan Bermain Video Game di Rumah

Pentingnya video game dalam situasi sekarang turut didukung oleh World Health Organization (WHO)

Melawan Covid-19 dengan Bermain Video Game di Rumah
Ilustrasi bermain video game. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada 2015, suasana jalanan di Stormwind dan Ironforge tampak berbeda. Jika biasanya ramai dengan aktivitas manusia, kini berubah menjadi lautan yang dipenuhi mayat. Musababnya, virus bernama Corrupted Blood merajalela. Seseorang yang terinfeksi virus tersebut akan mengalami kerusakan pada tubuh sebelum akhirnya meledak.

Corrupted Blood merupakan virus ciptaan Hakkar, penguasa kota bernama Zul’Gurub, untuk melindungi dirinya sendiri. Orang-orang yang masuk ke Zul’Gurub hanya punya dua pilihan: mati karena virus yang diciptakan Hakkar atau hidup dengan membunuh sang penciptanya. Sial, Hakkar sukar dikalahkan. Maka, banyak dari mereka memilih kembali ke tempat asalnya masing-masing.

Dari orang-orang yang kembali dari Zul’Gurub itulah virus lantas merajalela. Begitu cepat persebarannya, hingga membuat dunia World of Warcraft, dunia dalam video game buatan Blizzard Entertainment, kacau.

Situasi tersebut diprotes para pemain game. Corrupted Blood, yang tak sengaja dirilis Blizzard Entertainment, lalu diperbaiki. Server game tersebut ditambal (patch) dan para pemain World of Warcraft kembali bermain dengan damai, memiliki kembali avatar (karakter), serta item-item yang pernah mereka beli atau dapatkan.

Lima belas tahun berlalu, dunia dalam game World of Warcraft tetap baik-baik saja, terlepas dari asumsi game ini telah banyak ditinggalkan pemainnya. Namun, tidak dengan dunia nyata. SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan wabah Covid-19, tengah merajalela.

Sangat Dianjurkan

Hingga 31 Maret 2020, menurut data yang dikumpulkan John Hopkins University, lebih dari 800.000 jiwa terinfeksi Covid-19, dengan angka kematian mendekati 40.000 jiwa. Banyak negara yang kemudian menerapkan strategi physical distancing hingga mengisolasi wilayah atau lockdown untuk menekan laju persebaran virus ini.

Di Amerika Serikat, misalnya, 4 dari 5 orang di sana diperintahkan oleh otoritas negara bagiannya mengisolasi diri. Sementara itu di India, Malaysia, Italia, hingga Spanyol, lockdown diberlakukan. Di seluruh dunia, banyak masjid, gereja, kuil dan segala tempat peribadatan dibekukan sementara. Pun dengan segala bentuk kegiatan belajar-mengajar di sekolah atau kampus turut diliburkan.

Belajar di rumah dan #WorkFromHome digalakkan. Aplikasi Zoom, Google Hangout, Facebook, Slack, Zenius, hingga RuangGuru ramai-ramai digunakan untuk menunjang itu semua. Untuk mengatasi kebosanan, Netflix dan hiburan online lain jadi acuan. Selain itu, masih ada video game yang juga jadi pilihan.

Pentingnya video game dalam situasi sekarang bahkan turut didukung oleh World Health Organization (WHO). Padahal, tahun lalu WHO pernah mengatakan bahwa mengatakan bahwa video game dapat mengganggu kesehatan mental. Kini, mereka mendukung #PlayApartTogether, inisiatif yang digalakkan pembuat game dan gamers untuk bermain bersama di rumah masing-masing.

Ray Chambers, Duta WHO untuk Strategi Global, sebagaimana dilaporkan USA Today, menyatakan bahwa video game “mampu menjangkau jutaan orang untuk menyampaikan pesan betapa pentingnya menurunkan tingkat penyebaran Covid-19.”

Senada dengan Chambers, Amanda Taggart, Kepala Komunikasi Unity Technologies, perusahaan yang menciptakan engine atau kode dasar video game yang dipakai hampir 50 persen game di dunia (Angry Birds 2, Call of Duty: Mobile, Mario Kart Tour, Untitled Goose Game, Disco Elysium, hingga Wasteland 3) menyebut:

“Kita saat ini berada di posisi yang unik dan menantang karena virus corona. Salah satu hal terpenting yang dapat dilakukan menurunkan tingkat kematian akibat Covid-19 adalah melakukan physical distancing.

Sudah barang tentu, video game merupakan salah satu alat untuk memperlancar gerakan tersebut. Bahkan, sebagaimana dilansir Mashable, Pemerintah Polandia sampai merilis situsweb Grarantanna yang menyediakan server bermacam video game, seperti Minecraft, sebagai iming-iming agar anak muda di sana mau tinggal di rumah sementara waktu.

Menurut Bobby Kotick, Pemimpin Eksekutif Activision Blizzard, perusahaan di balik Call of Duty hingga Crash Bandicoot: “Video game adalah platform sempurna karena ia sukses menghubungkan orang dengan kesenangan.”

Dalam “Remain Calm. Be Kind.’ Effects of Relaxing Video Games on Aggressive and Prosocial Behavior” (PDF), Jodi L. Whitaker juga menyatakan bahwa memainkan video game membuat orang-orang dalam suasana hati yang baik. Dan karena video game membuat suasana hati membaik, sikap positif mudah dipancarkan.

Dalam situasi seperti sekarang, tentu penting untuk menjaga pikiran yang positif.

Infografik Dampak Corona pada Dunia Game

Infografik Dampak Corona pada Dunia Game. tirto.id/Quita

Jumlah Gamers Meningkat

Atas nasihat WHO dan pemerintah, ditambah dengan kebosanan di rumah, maka jumlah orang yang bermain video game pun otomatis meningkat selama pandemi Corona berlangsung.

Steam, misalnya, layanan distribusi video game, mengalami lonjakan pengguna hingga menyentuh rekor. Pada satu hari di bulan Maret 2020, terdapat 22,67 juta pengguna Steam yang bermain video game. Rata-rata ada sekitar 18,4 juta pengguna Steam setiap harinya di bulan Maret, naik sekitar 13 persen dari bulan Januari lalu atau 20 persen jika dibandingkan jumlah pengguna di bulan yang sama setahun lalu.

Twitch, layanan video yang menyiarkan orang-orang bermain game pun kebanjiran pengguna. Kala corona menyerbu, pengguna Twitch meningkat 31 persen. Dan menurut Mike Vorhaus, Kepala Eksekutif Vorhaus Advisor, firma konsultasi startup dan video game, jumlah uang yang dihamburkan para gamers untuk membeli barang-barang virtual dalam video game meningkat hingga 40 persen.

“Tak diragukan lagi, orang-orang banyak menghabiskan waktu untuk bermain game, menggunakan waktu karantinanya untuk bermain game yang telah mereka miliki atau mencoba game baru,” kata Vorhaus, sebagaimana dilaporkan CNET.

Menariknya, video game tak hanya laku oleh masyarakat biasa. Selepas IndyCar dan Formula 1 gagal dilaksanakan, banyak pembalap sungguhan yang beralih ke game bernama rFactor 2. Menurut laporan Nasdaq, siaran IndyCar dan Formula 1 virtual bahkan ditonton lebih dari setengah juta orang secara langsung via Youtube.

Memperoleh lonjakan gamers akibat pandemi Corona jelas kabar menggembirakan bagi perusahaan-perusahaan video game. Tapi, apakah kegembiraan itu dapat diterjemahkan sebagai keuntungan?

Bersiap Untuk yang Terburuk

Di saat industri penerbangan, hotel, dan jasa ambruk, industri video game mendapat pasokan pengguna yang berlebihan. Sayangnya, Corona pun berefek negatif. Karena tak diperkenankannya kerumunan massa, banyak ajang video game yang terpaksa batal. Salah satunya adalah Game Developers Conference (GDC), yang seharusnya digelar pada Maret 2020 kemarin.

Matthew Gault, dalam tulisannya di Time, menyebut bahwa GDC memang tak sebesar ajang video game lain, sebut saja E3 dari Microsoft--yang juga dibatalkan penyelenggaraannya--tetapi ajang itu termasuk yang terpenting, khususnya bagi pembuat video game independen. Di GDC, para pembuat saling mencari perhatian, serta melakukan berbagai kesepakatan agar video game yang mereka ciptakan dapat sukses.

“Bagi sangat banyak pengembang independen, GDC merupakan salah satu ajang yang wajib mereka datangi,” tegas Rami Ismail, pendiri studi game Vlambeer. “Ketika GDC dibatalkan, mungkin akan banyak pengembang yang berakhir kariernya.”

Bagi studi game besar, Corona mungkin tidak akan menghancurkan mereka. Namun, bagi studio-studio seperti Vlambeer, hilangnya GDC berarti juga hilangnya kesempatan mengkapitalisasi video game yang telah mereka kerjakan.

Tentu, GDC tak hanya sendirian bertugas sebagai penyalur pengembang game dan pasar. Di Australia ada Arcanon, di Bahrain ada SikoroWars, ChinaJoy di Cina, G-Star di Korea Selatan, Fastaval di Denmark, Gamescon di Jerman, hingga Ignomir di Rusia. Sialnya, kesemua hajatan industri video game terancam batal akibat corona.

Kesialan tak hanya terjadi karena pembatalan ajang-ajang video game. Di Cina, banyak pabrik manufakturing yang terpaksa tutup atau membatasi kapasitas produksi akibat Corona. Sehubungan dengan hal tersebut, Sony menegaskan produksi PlayStation 4 akan terganggu dan kemungkinan ketersediaan unit PS4 di pasaran kian terbatas.

Nintendo, melalui Switch, pun mengalami nasib serupa. Ketersediaan Switch di bulan April diprediksi akan terganggu, khususnya untuk unit-unit yang dijual di pasar AS. Nahasnya, pasar AS menyumbang 43 persen dari total nilai penjualan konsol-konsol buatan Nintendo.

Terakhir, yang mengancam industri video game akibat Corona adalah infrastruktur jaringan mereka sendiri. Dengan diakses banyak pengguna di waktu yang bersamaan, bukan mustahil banyak server video game jebol.

PlayStation Network sudah mengalaminya. Jim Ryan, bos Sony Interactive Entertainment, mengakui bahwa kecepatan PlayStation Network “sedikit lebih pelan” dibandingkan hari-hari normal.

Jika perusahaan sebesar Sony saja bermasalah, maka cepat atau lambat jaringan pengembang video game lain akan mengalami nasib serupa.

Baca juga artikel terkait VIDEO GAME atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Eddward S Kennedy