tirto.id - Terkait kasus dugaan penodaan agama yang melibatkan Megawati Soekarnoputri, politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo mengatakan pelapor kasus ini perlu membaca isi pidato putri kedua Soekarno itu dengan lengkap.
"Mengikuti sebuah pidato itu harus utuh, tidak bisa sepotong. Tidak bisa hanya membaca koran sepenggal, media kan tidak menulis utuh, hanya sepotong," kata Tjahjo di Ancol, Jakarta, Rabu (25/1/2017).
Mantan Sekretaris Jenderal DPP PDIP ini menjelaskan bahwa pidato Ketua Umum PDIP, yang disampaikan dalam acara HUT PDIP ke-44 tersebut telah melewati kajian yang utuh.
Bahkan, menurut Tjahjo, dalam isi pidato itu juga terdapat kutipan kata-kata milik Presiden Pertama Indonesia, Soekarno, yang bertujuan untuk menggerakkan masyarakat.
Oleh karena itu, pria yang saat ini juga menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri tersebut menilai tuduhan yang ditujukan kepada Megawati itu tidak benar.
"Jadi, baca itu harus utuh. Kalau mereka menggugat, ya bisa saja digugat balik atas nama pencemaran nama baik, gitu saja," tuturnya.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Anak Bangsa Gerakan Anti-Penodaan Agama pada Selasa (24/1/2017), dengan dugaan melakukan penodaan agama.
Menurut Humas LSM Aliansi Anak Bangsa Gerakan Anti-Penodaan Agama, Baharuzaman, ucapan Megawati yang diduga menodai agama adalah:
"Para pemimpin yang menganut ideologi tertutup memosisikan diri mereka sebagai pembawa self fulfilling prophecy, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, padahal notabene mereka sendiri tentu belum pernah melihatnya".
Selain itu, Baharuzaman juga membantah bahwa pernyataan Megawati hanya merujuk pada umat Islam. Ia justru mengajak umat agama lain untuk melaporkan hal yang sama apabila tersinggung. Pria berkacamata ini mengklaim kalau ajaran hari akhir tidak hanya di Islam. Oleh karena itu, agama lain bisa melaporkan pernyataan Megawati.
Meski demikian, Baharuzaman enggan menyikapi istilah ideologi tertutup. Namun, ia menegaskan kalau dirinya merasa kecewa dengan pernyataan Megawati.
"Saya tersakiti," tutur Baharuzaman yang membantah sebagai mantan Ketua FPI Jakarta Utara.
Baharuzaman mengklaim dirinya tidak bisa bertemu dengan Megawati secara langsung karena hanya rakyat biasa.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri