Menuju konten utama

London Stadium, West Ham & Gelembung yang Akan Terus Ditiup

Setelah 114 tahun bermarkas di Boleyn Ground, West Ham United mulai musim ini hijrah ke London Stadium. Stadion megah, berkapasitas hampir dua kali lipat markas yang lama. Tapi persoalan baru muncul: atmosfir stadion dianggap tidak semeriah di Boleyn Ground. Inikah penyebab terpuruknya West Ham musim ini?

London Stadium, West Ham & Gelembung yang Akan Terus Ditiup
Setelah dibuka kembali pada bulan Juli 2016, London Stadium menjadi rumah West Ham United Football Club. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - West Ham United terpuruk. Semenjak berkandang di London Stadium pada awal musim ini, hasil-hasil buruk terus membayangi West Ham. Dalam 6 laga kandang Premier League musim ini, The Hammers hanya menang 2 kali. Sisanya: 1 kali seri, 3 kali kalah!

Semalam, dalam pekan ke-11 lanjutan Premier League 2016/2017, mereka harus puas hanya meraih 1 poin saat ditahan imbang oleh Stoke City. Hasil buruk yang membuat anak asuhan Slaven Bilic ini harus duduk di peringkat 16 klasemen sementara Premier League 2016/2017.

Entah mengapa West Ham terlihat kesulitan sejak bermarkas di London Stadium. Atmosfir stadion tidak sedahsyat seperti saat masih bermarkas di Boleyn Ground atau Upton Park, kandang lama mereka. Di Boleyn Ground, yang kapasitasnya jauh lebih kecil (35 ribu penonton), atmosfir sangat hidup. Bahkan suporter West Ham dikenal sebagai salah satu kelompok suporter yang populer karena militansi, nyanyian-nyanyiannya, dan keberaniannya.

West Ham sudah meninggalkan Boleyn Ground per Mei 2016 lalu. Sudah 112 tahun mereka bermarkas di Boleyn Ground, sejak 1904. Sepanjang satu abad lebih, Boleyn Ground menjadi rumah bagi The Hammers. Di sanalah mereka mengalami jatuh bangun. Di sana pula West Ham meraih sedikit trofi, hanya 3 trofi Piala FA, 1 Piala Winners Cup dan 1 Piala Intertoto.

Perkembangan industri sepakbola membuat West Ham merasa perlu untuk memiliki stadion dengan kapasitas yang lebih besar. Kapasitas 35 ribu penonton di Boleyn Ground dirasa tidak lagi memadai untuk menampung antusiasme para pendukung The Hammers. Manajemen West Ham menganggap pemasukan dari tiket penonton masih bisa ditingkatkan secara drastis dan itu terkendala kapasitas Boleyn Ground.

Mereka kemudian melirik London Stadium (awalnya bernama Olympic Stadium) sebagai markas baru. Stadion tersebut masih baru, dibangun untuk menjadi tempat pembukaan dan penutupan Olimpiade Musim Panas 2012. Kapasitasnya yang mencapai 80 ribu penonton (kemudian dikurangi menjadi 60 ribu penonton) dianggap ideal untuk perkembangan bisnis West Ham United. Apalagi lokasinya tidak terlalu jauh dari markas lama, hanya sekitar 5 km dari Boleyn Ground.

London Stadium baru mulai dibangun pada 2007 dan mulai digunakan pada 2011, setahun menjelang perhelatan akbar olimpiade. Dirancang oleh biro arsitek Populous, yang memang punya spesialisasi merancang gedung-gedung olahraga, London Stadium menghabiskan biaya pembangunan sebesar kurang lebih 486 juta pounds.

West Ham bukan satu-satunya institusi yang tertarik menggunakan London Stadium. Klub pesaing sesama dari kota London, Tottenham Hotspurs, juga menginginkan menggunakan stadion ini. Bahkan saat penawaran dibuka pada 2010, tercatat ada 100 institusi yang tertarik. Dari klub sepakbola (Tottenham dan Leyton Orient), promotor musik hingga universitas.

Olympic Park Legacy Company (OPLC) menetapkan beberapa untuk memutuskan siapa yang berhak menyewa London Stadium. Syarat-syarat itu diantaranya: pengguna yang baru harus memiliki rencana dan solusi jangka panjang untuk memberikan nilai komersial yang layak, punya tim ahli dan punya kapabilitas untuk mengoperasikan stadion dengan baik, mampu mengoperasikan stadion secepat-cepatnya, dan tetap bersedia membuka kemungkinan stadion digunakan secara fleskibel untuk berbagai jenis kegiatan.

West Ham United kemudian terpilih sebagai klub layak menggunakan lapangan di London Stadium. The Hammers dizinkan bermarkas di London Stadium selama 99 tahun dengan nilai kontrak (tentatif) 2,5 juta pounds per tahun. Angka itu tidak termasuk biaya perawatan dan keamanan.

Keputusan yang memenangkan West Ham ini sempat memicu kontroversi. Publik di Inggris, khususnya kelompok suporter sepakbola yang tidak mendukung West Ham, menuntut agar keputusan itu dibatalkan. Ada isu transparansi yang dianggap tidak jelas. 14 kelompok suporter menginisiasi sebuah petisi untuk memaksa kontrak dibuka atas nama kebebasan informasi.

Atas desakan itulah maka London Legacy Development Corporation (institusi melanjutkan peran OPLC) mengumumkan angka 2,5 juta poundsterling yang harus dibayarkan West Ham setiap tahunnya. West Ham juga membayar 15 juta poundsterling sebagai kontribusi pembiayaan untuk melakukan beberapa perubahan agar cocok untuk menjadi tempat pertandingan sepakbola.

Tak hanya itu, LLDC juga akan menerima 4 juta poundsterling jika dalam 20 tahun ke depan West Ham membuat kesepakatan komersial terkait penamaan stadion. Di Inggris sudah jamak nama stadion dikomersialisasikan untuk menambah pemasukan. Kandang Arsenal, misalnya, menggunakan nama Ettihad Stadium. Setelah 20 tahun, LLDC bahkan akan menerima 50% dari deal penamaan stadion secara komersial.

West Ham tentu menyepakati semua kontrak itu karena toh mereka sudah mulai menggunakan London Stadium. Manajemen West Ham yakin bahwa pemasukan yang akan didapatkan jauh lebih besar dan akan membuat keuangan The Hammers akan semakin membaik. Ujung-ujungnya, jika pemasukan menanjak, kemampuan untuk memperkuat skuat agar lebih kompetitif pun bisa dilakukan.

Infografik London Stadium

Dan benar saja prediksi para petinggi manajemen West Ham United. Begitu manajemen mengumumkan penjualan tiket terusan (tiket untuk satu musim penuh), antusiasme suporter sangat luar biasa. 50 ribu tiket terusan yang disediakan langsung terjual habis. Padahal penjualan dilakukan pada bulan Mei, 2,5 bulan sebelum kompetisi Premier League 2016/2017 dimulai. Cheikhoi Kouyate mencatatkan namanya sebagai pencetak gol pertama bagi West Ham di kandang baru.

Sayang sekali, langkah West Ham untuk bermain di Europa League menjadi kandas karena mereka disingkirkan oleh Astra Giurgio dengan agregat 1-3. Biang keladi kegagalan West Ham adalah mereka kalah dari tim asal Rumania dengan skor 1-2 di kandang sendiri. Artinya: kalah di London Stadium.

Sedangkan laga kandang pertama West Ham di Premier League terjadi tiga pekan kemudian saat menjamu Boournemouth. Kali ini West Ham berhasil meraih kemenangan tipis 1-0. Gol tunggal kemenangan dicetak oleh Michail Antonio. Top skor sementara The Hammers itu, kini sudah mencetak 6 gol, mencatatkan namanya sebagai pemain West Ham pertama yang mencetak gol perdana di markas yang baru pada ajang Premier League.

Hanya saja, setelah itu, pasukan Slaven Bilic ini seperti kesulitan bermain baik di kandang sendiri. Mereka hanya menang dua kali di London Stadium, yaitu atas Bournemouth dan Sunderland, sisanya mereka lebih sering kalah. West Ham justru harus tiga kali menelan kekalahan di kandang sendiri dari Watford, West Bromwich Albion, dan Southampton.

Robbie Fowler, mantan pemain Liverpool, menyebut London Stadium gagal menghadirkan atmosfir yang dapat menekan tim lawan. Adanya lintasan lari (sebagai ciri khas stadion olimpiade) membuat jarak antara tribun dan lapangan dianggap sebagai biang keladi. Hal itu membuat jarak antara penonton dan pemain lebih jauh sehingga tekanan kepada tim lawan dianggap kurang kuat.

"Sekarang, fans mereka terlihat begitu jauh dengan lapangan dan mereka sepertinya kecewa dengan pengalaman seperti itu. Hanya waktu yang bisa membuktikan apakah tindakan pindah stadion sebagai hal yang tepat, tapi saya tidak yakin itu keputusan yang tepat," kata Robbie Fowler.

Perkara lintasan lari yang membuat tribun jauh dari lapangan ini sebenarnya sudah banyak dibicarakan oleh para suporter West Ham United. Saat klub-klub Inggris lain menggunakan stadion yang jarak antara tribun dan lapangan sangat dekat, West Ham justru menggunakan stadion yang punya lintasan lari. Kelompok suporter West Ham, seperti Inter City Firm, tidak senang dengan situasi London Stadium yang seperti itu.

Tentu butuh waktu bagi para pendukung West Ham untuk menemukan cara yang pas dan tepat untuk menghadirkan atmosfir yang hebat sebagaimana telah mereka lakukan selama puluhan tahun di Boleyn Ground. Kendati militansi suporter tidak berkurang, bahkan secara penjualan tiket meningkat drastis, akan tetapi atmosfir yang bergemuruh untuk menekan tim lawan memang belum terlihat maksimal.

Pada pertandingan terakhir, di pekan ke-11, saat menjamu Stoke City, gemuruh suporter sudah mulai terdengar. Nyanyian demi nyanyian mulai muncul dari arah tribun dengan relatif konstan. Agaknya tinggal tunggu waktu saja bagi London Stadium untuk menjadi kandang yang bergemuruh.

Tapi sampai kapan penampilan West Ham terus terpuruk? Slaven Bilic mesti secepatnya membuktikan bahwa formasi tiga bek yang ia gunakan di musim ini merupakan formula yang tepat untuk mengatrol posisi The Hammers. Keterpurukan di awal musim ini tidak boleh terus menerus dibiarkan.

They fly so high, nearly reach the sky

Then like my dreams, they fade and die

Fortunes always hiding,

I’ve looked everywhere,

I’m forever blowing bubble,

Pretty bubbles in the air!”

Nyanyian "I'm Forever Blowing Bubbles" di atas, yang menjadi lagu kebanggaan para pendukung West Ham, masih akan terus dikumandangkan oleh para pendukung West Ham. Kalah atau menang, seperti lirik lagi di atas, mereka akan terus meniup gelembung, menciptakan gelembung atmosfir London Stadium.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Olahraga
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS