tirto.id - Liverpool kembali ke puncak klasemen Liga Inggris usai membenamkan Tottenham Hotspur 2-1 di Stadion Anfield, Minggu (31/3/2019) kemarin.
Kemenangan ini tidak terjadi dengan mudah. Sempat unggul lewat gol Roberto Firmino dan disamakan jadi 1-1 oleh aksi Lucas Moura, The Reds akhirnya mengunci tiga poin berkat gol bunuh diri Toby Alderweireld pada menit terakhir.
Usai pertandingan, Jürgen Klopp tidak malu mengakui kalau timnya menang karena faktor keberuntungan. "Tentu itu adalah keberuntungan, sundulan ditepis tak maksimal dan bola masuk." katanya, mengutip The Guardian.
Kendati demikian, dia merasa anak asuhnya tetap layak membawa pulang tiga poin.
"Tetapi saya memberi tahu pemain bahwa ada 500 ribu cara berbeda untuk memenangkan laga. Hari ini cara kami agak jelek, tapi tidak masalah. Tanpa sedikit keberuntungan, Anda tidak dapat berada di posisi sekarang."
Namun kolumnis The Times, Tony Cascarino, punya pendapat lain. Benar bahwa keberuntungan itu penting, tapi berharap pada itu terus-terusan juga tak tepat. Yang dibutuhkan Liverpool sekarang, kata Tony, adalah ketajaman Mohamed Salah.
"Jika Liverpool ingin mengalahkan Manchester City di perebutan gelar, tentu mereka perlu banyak momen edgy seperti kemarin. Mereka tidak terlihat cukup percaya diri, dan performa Mohamed Salah baru-baru ini mempertegas hal itu," tulisnya.
Masalahnya pemain itu kini sedang banyak disorot. Selama delapan pertandingan beruntun dia tak mencetak satu pun gol. Kali terakhir dia membikin gol adalah pada 9 Februari 2019, saat Liverpool menghajar Bournemouth 3-0.
Kemarau gol ini jadi yang terpanjang dalam sejarah karier Salah di Liverpool.
Saat berhadapan dengan Tottenham pun, kendati ikut berkontribusi menciptakan peluang dalam proses gol bunuh diri Alderweireld, Salah tidak bisa dibilang tampil bagus. Dia bahkan sudah akan dicadangkan oleh Klopp pada menit akhir.
"Dia nyaris dicadangkan lebih dulu sebelum tercipta gol kemenangan, dan andai Hugo Lloris tidak melakukan blunder, orang barangkali akan menganggap Salah membuang peluang emas untuk mencetak gol kemenangan pada saat genting," imbuh Cascarino.
Terbantu Pemain Lain
Mandulnya Salah patut disayangkan, terutama jika kita membandingkannya dengan performa pemain-pemain Liverpool di sektor lain. Misalnya dengan dua bek sayap, Andrew Robertson dan Trent-Alexander Arnold.
Sepanjang 90 menit laga berlangsung, Robertson dan Arnold jadi pemain paling serbaguna.
Mereka tak segan membantu serangan dari tepi lapangan guna mengirim umpan-umpan ciamik. Hebatnya, kecenderungan menyerang keduanya sama sekali tidak mengendurkan fokus mereka untuk tetap menggalang pertahanan.
Jika mengacu pada data Whoscored, ini bisa dilihat dari heatmaps yang menunjukkan kalau Arnold dan Robertson berkontribusi imbang di sisi pertahanan dan penyerangan.
Agresivitas Robertson dan Arnold, yang membubuhkan tiga key pass dan satu assist, timpang dengan penampilan Salah sepanjang pertandingan.
Pemain asal Mesir itu sebenarnya mendapat lima kali peluang menembak, alias yang terbanyak. Namun tak satu pun dari momen-momen itu jadi gol.
Ini artinya, conversion rate salah adalah salah satu yang paling rendah dibanding 21 pemain lain.
Jurnalis The Guardian, Barney Ronay, membenarkan kesimpulan itu. Menurutnya para penyerang Liverpool tampil tak maksimal, namun itu tertutup oleh penampilan cemerlang dua fullback.
"Kedua fullback Liverpool tampil sangat sensasional, cukup baik untuk menambal mengenaskannya kualitas rekan-rekan setim mereka di lini depan," tulisnya.
Buruknya penampilan Salah juga tercermin dari catatan dalam duel udara. Dari empat kali duel, dia cuma sekali menang, terendah dibanding dua penyerang Liverpool lain, Sadio Mané dan Roberto Firmino.
Maka tidak heran jika Whoscored mengganjar Salah dengan rating 6,4, alias yang paling rendah kedua di Liverpool setelah Alisson Becker.
Pembelaan yang Keliru
Mo Salah sebetulnya sempat berkomentar soal kemarau gol yang sedang dia alami. Dalam wawancara dengan SkySports setelah laga kontra Spurs, dia mengeluhkan hujan kritik dari media yang menurutnya tidak adil.
"Saya tidak mencetak gol untuk beberapa pertandingan, padahal ada pemain [penyerang] yang jumlah golnya tidak beda jauh dengan saya tetapi selalu dipuji seperti punya karier terbaik sepanjang hidupnya," ujar Salah.
Salah tidak segan menunjuk Sergio Agüero sebagai contoh yang dia maksud. Di Liga Inggris musim ini, Agüero memang kerap dipuji sebagai mesin gol terbaik.
Namun menurut Salah, toh Aguero baru menyarangkan 19 gol, atau dua angka saja lebih banyak dibanding dirinya.
"Di luar ada tiga atau empat pemain yang demikian, tapi orang selalu bilang mereka punya musim yang bagus," imbuhnya.
Akan tetapi, jika ditilik lebih dalam, cara Salah membela dirinya mengandung kekeliruan besar. Soalnya, meski membikin 19 gol, di Liga Inggris musim ini Aguero baru bermain 1.990 menit. Artinya, rasio gol pemain berkebangsaan Argentina itu adalah satu gol per 104,7 menit.
Angka di atas jauh lebih baik dibandingkan apa yang ditorehkan Salah. Eks penggawa AS Roma itu perlu bermain 2.738 menit untuk mengemas 17 gol. Artinya, rasio gol Salah sangat rendah untuk ukuran penyerang dari klub besar Liga Inggris, yakni satu gol per 161,05 menit.
Salah satu orang yang mengatakan pembelaan Salah tak tepat sasaran adalah Ian Rush. Alih-alih mencari alasan, menurut legenda Liverpool itu, Salah sebaiknya bungkam dan fokus memperbaiki efektivitasnya di atas lapangan.
Dia menambahkan, secerdik apa pun Salah berkilah, pada akhirnya seorang penyerang hanya dinilai dari berapa banyak gol yang bisa dia ciptakan.
"Tak masalah apa yang Anda lakukan saat latihan, karena pada akhirnya pertandingan yang paling penting. Mengakhiri puasa gol bisa membuat Anda berdiri dan berlari dengan lebih percaya diri. Itu yang dibutuhkan Salah saat ini," tandasnya, seperti dikutip Express.
Editor: Rio Apinino