Menuju konten utama

Kritik Pemerintah, Pakar Pertanian: Program dan Realisasi Berbeda

Pakar Pertanian dari IPB Dwi Andreas Santosa menjelaskan dalam 20 tahun terakhir ada delapan komoditas pangan utama mengalami kenaikan kuota impor.

Kritik Pemerintah, Pakar Pertanian: Program dan Realisasi Berbeda
Petani menyiapkan benih padi untuk ditanam di area persawahan yang berada di antara perumahan di Liluwo, Kota Gorontalo, Gorontalo, Jumat (10/12/2021). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya tidak bergantung dengan impor. Dia ingin mereka fokus pada peningkatan produksi sebagai solusi dalam waktu dekat dan penjagaan harga pangan hingga minyak untuk jangka pendek.

Terkait hal itu, Pakar Pertanian dari IPB Dwi Andreas Santosa menilai program pemerintah dan realisasinya sangat berbeda. Dalam 20 tahun terakhir ada delapan komoditas pangan utama mengalami kenaikan kuota impor.

"Dari berapa juta ton impornya di tahun 2008 ke 2018 itu impornya hampir 20 juta ton. Kita lihat saja data impor pangan dalam 10 tahun terakhir saja lonjakannya sangat tinggi. Nah 2021 malah lebih tinggi lagi kalau tidak salah ada 27 juta ton ya itu ada, gandum beras jagung kedelai kemudian bawang putih tebu, ubi kayu," katanya kepada Tirto, Rabu (22/6/2022).

Dwi Andreas mencatat produksi kedelai Indonesia terus mengalami penurunan. Hal itu terlihat berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, produksi hanya mencapai 210.000 ton, sedangkan konsumsi kedelai terus meningkat.

"Kan jadinya diatasi dengan impor, pada tahun 2021 impor kedelai kita mencapai 7,9 juta ton," bebernya.

Kemudian pada 2022 juga terlihat harga kedelai di tingkat petani belum sepadan. Hal itu menyebabkan para petani memilih beralih pada komoditas lain.

"Saat tahun 2022, saya melakukan kajian besarnya biaya di tingkat usaha tani dengan impor, kalau impor itu harganya Rp1500 per kilogram, sedangkan kedelai petani harganya Rp2500 per kilogram, sehingga tertekannya harga kedelai di tingkat petani menyebabkan petani perlahan-lahan meninggalkan budidaya kedelai dan beralih ke komoditas lain," tambahnya.

Tidak hanya kedelai, beberapa komoditas lain seperti bawang putih, pemerintah Indonesia memilih untuk melakukan impor daripada mengupayakan penanaman bawang putih di dalam negeri. Alasannya, harga bawang putih impor lebih murah dan melimpah. Dwi Andreas mengatakan berbagai kebijakan pemerintah yang pro pada konsumen juga turut mempengaruhi.

"Jadi kan pemerintah ini selalu ditakuti oleh inflasi kan ya. Inflasi terbesar seperti negara-negara berkembang seperti Indonesia itu kan disebabkan oleh pangan. Karena takut itu, jadi sebagai upaya untuk menekan inflasi ya sudah akhirnya impor kan. Sehingga kebijakan yang sangat berat ke konsumen ini sudah barang tentu sangat merugikan produsen sehingga petani bawang putih mati," bebernya.

Kebijakan pemerintah yang tidak pro pada petani membuat petani tanah air harus berhadapan langsung dengan para petani di negara lain. Mumpuni secara alat, modal hingga produk bibit.

"Petani kedelai mati, petani tebu sebentar lagi mati juga, jahe juga. Akhirnya itu yang terjadi. Persoalan ini itu pertain kita tadi, petani kita diharapkan langsung dengan petani dari negara maju yang dari sisi kapasitasnya saja sudah sangat beda. Ada subsidi dari pemerintah yang diberikan pelatihan dan didorong ekspor. Jadi harganya pas sampai Indonesia itu lebih murah. Ini yang harus dijaga kesejahteraan petani Indonesia," imbuhnya.

Baca juga artikel terkait IMPOR PANGAN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Intan Umbari Prihatin