Menuju konten utama
Seri Sejarah Kodam

Kodam Siliwangi: Sepak terjang Sang Maung & Kesetiaan pada Republik

Pasukan Siliwangi kerap terlibat dalam pelbagai operasi militer yang berakhir gemilang.  

Ilustrasi KODAM Siliwangi. tirto.id/Fuadi

tirto.id - Ketika perang kemerdekaan berkecamuk, di Jawa Barat terdapat tiga divisi tentara Republik: Divisi I meliputi Keresidenan Banten dan Bogor, Divisi II meliputi Keresidanan Jakarta dan Cirebon, serta Divisi III meliputi Keresidenan Priangan. Divisi-divisi ini kemudian digabungkan menjadi Divisi I Siliwangi.

Pada 23 Mei 1946, bertempat di SGP Lempuyangan, Yogyakarta, diadakan pemilihan Panglima Divisi I oleh para komandan resimen, dan terpilihlah Abdul Haris Nasution. Belakangan, Hidajat menjadi wakilnya. Nama Divisi ini sejak awal adalah Siliwangi, diambil dari nama raja terkenal dalam sejarah Kerajaan Sunda dan lambangnya berupa harimau yang disebut Maung.

Dalam menghadapi tentara Belanda, seperti terdapat dalam Siliwangi dari Masa ke Masa (1968:140), Nasution menerapkan konsep perang semesta. Perjanjian Renville memaksa Siliwangi meninggalkan Jawa Barat dan hijrah ke Jawa Tengah.

Setelah Nasution dijadikan Panglima Komando Jawa, pada 1948 Siliwangi sempat dipimpin Letnan Kolonel Daan Jahja. Setahun kemudian Daan Jahja ditawan Belanda, dan posisinya digantikan oleh Letnan Kolonel Sadikin.

Ketika berada di Jawa Tengah, Siliwangi sempat bentrok dengan Divisi Penembahan Senopati. Kejadian ini kemudian berlanjut dengan Peristiwa Madiun 1948, dan Siliwangi ikut menyikat kaum komunis.

Pada masa revolusi, Siliwangi kerap dicap sebagai tukang lucut laskar liar. Mereka juga pernah diolok-olok sebagai Stoot Leger Wilhelmina (Tentara Penggempur Wilhelmina) yang disingkat SLW seperti juga singkatan Siliwangi.

Setelah Yogyakarta diserbu Belanda pada 19 Desember 1948, Siliwangi kembali ke Jawa Barat dengan melakukan long march.

Pada 23 Januari 1950, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dibentuk dan dipimpin Westerling menyerbu Bandung dan menggempur markas staf Siliwangi yang memakan banyak korban. Pada penyerbuan itu Letnan Kolonel Sadikin tidak berada di tempat, malah Letnan Kolonel Adolf Gustaaf Lembong menjadi korban.

Rumpun Terbuka

Sejak 14 Juli 1950, seperti dicatat dalam Siliwangi dari Masa ke Masa (1968:181) Divisi Siliwangi menjadi komando Tentara dan Teritorium III (TT III). Pada 15 November 1950, Sadikin digantikan Kolonel Alex Kawilarang sebagai Panglima Siliwangi. Seperti Nasution, Kawilarang adalah bekas perwira KNIL.

Dalam kepemimpinan, Siliwangi lebih terbuka jika dibandingkan dengan tetangganya Divisi Diponegoro. Siliwangi tak melulu dipimpin oleh orang Sunda. Ulf Sandhaussen menulis dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967 (1986:25), bahwa Siliwangi tak sehomogen rumpun Diponegoro atau Brawijaya yang para perwiranya kebanyakan orang-orang Jawa. Ulf juga menyebut keanekaragaman agama bukan masalah di Siliwangi. Tak heran jika Alex Kawilarang yang Kristen bisa diterima.

Keterbukaan Jawa Barat salah satunya karena banyak orang dari luar Jawa Barat datang untuk sekolah atau bekerja di wilayah ini. Di jajaran prajurit bawahan, Siliwangi juga menerima pasukan bekas KNIL yang baru bergabung pada 1950. Di samping itu, tidak sedikit pula eks KNIL yang memilih Republik pada revolusi 1945-1949. Dan Siliwangi juga banyak diisi para mantan anggota PETA serta pemuda yang sebelum 1945 tak ikut jadi tentara.

Dari Operasi ke Operasi

Jika semasa hijrah di Jawa Tengah sempat menyikat komunis di Jawa Timur, maka era 1950-an Siliwangi sibuk melawan DI/TII Kartosoewirjo. Untuk mendukung operasi ini, Kawilarang membentuk pasukan komando yang sekarang bernama Kopassus. Perlawanan sengit DI/TII di Jawa Barat membuat Siliwangi membutuhkan waktu belasan tahun untuk menumpasnya.

Setelah 1958, sejumlah batalion Siliwangi dikirim ke luar daerah Jawa Barat seperti penumpasan DI/TII Kahar Muzakkar, RMS, dan PRRI-Permesta.

Warsa 1960-an, Siliwangi memperlihatkan kegemilangannya lagi. Banyak bintara dan tamtama dari divisi ini yang menunjukkan kerja keras dan memengaruhi hasil operasi militer. Mereka antara lain Kopral Ili Sadeli yang menembak mati Kahar Muzakkar di tepi Sungai Lasalo pada Februari 1965 dan Pembantu Letnan Dua Ruchijat yang memimpin penangkapan Soumokil pada Desember 1963 di Seram.

Siliwangi memang dipenuhi pasukan berpengalaman dalam operasi militer. Di antaranya Batalion 3 Mei yang namanya berubah menjadi Batalion Infanteri 324. Pada 8 Mei 1963, namanya berubah lagi menjadi Siluman Merah. Namun 12 tahun kemudian, batalion ini dinonaktifkan. Selain itu, ada juga Batalion 330 Kujang dan 328 yang kenyang dalam pertempuran. Kini keduanya menjadi bagian Kostrad.

Infografik KODAM Siliwangi

Infografik KODAM Siliwangi. tirto.id/Fuadi

Antara 1957-1959, seperti dicatat Ulf Sandhaussen, mantan Panglima Siliwangi yang sudah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution, memecah komando Tentara dan Teritorium menjadi 16 Komando Daerah Militer (Kodam).

TT III Siliwangi dipecah menjadi dua: Kodam IV Siliwangi yang meliputi sebagian besar Provinsi Jawa Barat dan Banten, satu lagi Kodam V Jayakarta yang meliputi DKI Jakarta ditambah Tangerang dan Bekasi.

Bekas resimen infanteri dan KMKB (Komando Militer Kota Besar) di Jawa barat dan Banten kemudian menjadi Komando Resor Militer (Korem). Warsa 1963, Siliwangi memiliki 17 batalion infanteri dan 2 batalion lintas udara, serta sejumlah batalion bantuan tempur.

Saat peristiwa G30S tahun 1965, Panglima Siliwangi adalah Mayor Jenderal Ibrahim Adjie yang dikenal loyal kepada Presiden Sukarno. Pengganti Ibrahim Adjie ialah Mayor Jenderal Hartono Rekso Dharsono yang kemudian dimusuhi rezim Orde Baru.

Kodam ini kerap dipimpin oleh jenderal yang belakangan kariernya cemerlang, seperti Edi Sudradjat (Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan Keamanan), Yogie Suardi Memet (Menteri Dalam Negeri) dan Aang Kunaefi (Gubernur Jawa Barat).

Ketika Benny Moerdani selaku Panglima ABRI memangkas jumlah Kodam, Siliwangi termasuk yang dipertahankan dan wilayah teritorialnya tidak berubah. Hingga kiwari nasib Kodam Siliwangi seperti yang pernah diucapkan Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1989:372), "Saya yakin Siliwangi akan terus tegak dan akan terus ada panglima-panglima berikutnya.”

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh