Menuju konten utama

Klaster-Klaster Wisata & Potensi Peningkatan COVID-19 di Depan Mata

Telah banyak kasus penularan COVID-19 karena berwisata. Dari contoh tersebut semestinya pemerintah melarangnya.

Klaster-Klaster Wisata & Potensi Peningkatan COVID-19 di Depan Mata
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno (kedua kanan) dan Gubernur Sumbar Mahyeldi (kiri) meninjau Rumah Gadang Koto Pilliang di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM), Padangpanjang, Sumatera Barat, Rabu (21/4/2021). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/rwa.

tirto.id - Larangan mudik pada hari raya Idul Fitri 2021 tak diikuti dengan penutupan tempat wisata. Padahal, tak sedikit kasus COVID-19 yang dihasilkan dari pelesir.

Para Epidemiolog menyerukan agar pemerintah lebih tegas. Epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan kebijakan ini “paradoks”. “Kalau dilarang mudik, ya, dilarang semua. Jangan mudik jarak jauh saja yang dilarang, termasuk mudik di wilayah aglomerasi juga. Tempat wisata juga harus ditutup,” kata Windhu Purnomo kepada reporter Tirto, Jumat (23/4/2021) pekan lalu.

Bila tempat wisata tetap dibuka, maka menurutnya “Kemenparekraf memiliki persepsi risiko yang buruk” -- yaitu merasa pembukaan wisata lingkup lokal tak meningkatkan risiko kenaikan kasus.

Tetap membuka objek wisata saat libur Lebaran, menurut Windhu, dilakukan pemerintah semata hanya untuk menggerakkan roda ekonomi tanpa memperhitungkan risiko kesehatan di belakangnya. “Kalau memang [wisata] tetap dibuka, berarti kita tidak belajar dari pengalaman kita sendiri maupun dari negara lain. Kita ulang kesalahan yang sama dan ini bisa lebih besar [lonjakan kasusnya] karena sudah masuk varian-varian baru [COVID-19] yang lebih menular.”

Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad juga menyerukan hal yang sama. Ia tak mempersoalkan apabila mobilitas warga di wilayah aglomerasi atau dalam satu kawasan epidemiologi itu dibuka, namun tidak dengan tempat wisata dan tempat lain yang menimbulkan kerumunan.

“Kalau memang ingin mengurangi mobilitas selama Lebaran, ya, dilakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan tempat wisata tidak dibuka,” kata Riris kepada reporter Tirto.

Klaster Wisata

Seruan para epidemiolog ini bukan tanpa bukti. Selain karena pengalaman terdahulu menunjukkan adanya peningkatan kasus COVID-19 setiap setelah libur panjang, kasus-kasus yang disebabkan dari orang-orang pelesiran juga tak sedikit jumlahnya.

Pada awal 2021 lalu, sebanyak 70 warga Kampung Pangkalan, Desa Sariwangi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat berwisata religi ke Pamijahan, Tasikmalaya. Setelah dilakukan swab massal, per 2 Maret sebanyak 39 orang warga dinyatakan positif. Di luar itu, masih ada yang hasil tesnya belum keluar atau menolak menjalani tes PCR.

Akibat kejadian ini, seluruh kampung harus di-lockdown untuk mencegah penularan lebih luas.

Sementara di Boyolali, 36 orang dari satu RW terkonfirmasi COVID-19 setelah berwisata ke Yogyakarta pada Maret 2021 berdasarkan swab terhadap 48 orang. Swab dilakukan setelah satu orang anggota rombongan teridentifikasi COVID-19. Diduga penularan terjadi di bus ber-AC yang tertutup.

Pada 14 Februari 2021, sebuah klub senam asal Tasikmalaya merayakan ulang tahun klub di Gunung Papandayan, Garut. Seminggu berselang, salah satu dari mereka mengalami anosmia atau kehilangan kemampuan penciuman, kemudian memeriksakan diri ke rumah sakit. Hasilnya, ia dinyatakan positif COVID-19. Mengetahui hal itu, seluruh peserta wisata di-swab. Hasilnya, 47 orang dinyatakan positif dan harus diisolasi di asrama haji setempat.

Di Tegal, pada awal Maret lalu, 58 orang anggota grup senam mengadakan wisata ke Dino Land, Jawa Tengah. Kemudian, seorang warga berinisial W mengalami gejala dan diketahui terinfeksi COVID-19. Setelahnya dilakukan tes PCR terhadap 67 orang dan hasilnya 19 orang dinyatakan positif per akhir Maret 2021 dan puluhan orang lainnya masih menunggu hasil.

Pada 25 Maret 2021, warga berinisial W itu meninggal dunia akibat COVID-19.

Demi Ekonomi

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyatakan pembukaan objek wisata memang dalam rangka menggerakkan roda perekonomian. Ia menyebut ini sebagai upaya pemerintah untuk mencari “optimum pareto,” yaitu situasi di mana kondisi satu individu dibuat menjadi lebih baik tanpa membuat individu lain lebih buruk.

“Jadi jangan sampai ketika salah satunya baik, tapi kebaikannya menggerus yang lain. Dengan demikian kita harapkan nadi ekonomi akan terus berdenyut,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (20/4/2021). “Pergerakan arus barang jasa dan daya beli dan daya konsumsi masyarakat kita harapkan masih akan tumbuh di masa Lebaran itu. Karena itu wisata lokal masih diperbolehkan.”

Kendati demikian, pemerintah juga menerapkan persyaratan serta ketentuan yang ketat di lokasi wisata lokal. Misalnya memberlakukan maksimal 50 persen kapasitas pengunjung, kemudian protokol kesehatan harus diperketat.

Di sisi lain, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, saat kunjungan kerja di Bukittinggi, Kamis (22/4/2021), justru melempar kebijakan pembukaan objek wisata kepada pemerintah daerah masing-masing. “Ditutup atau tidak objek wisata, itu tergantung kepala daerah,” ujar Sandi.

Baca juga artikel terkait OBJEK WISATA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi & Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Penulis: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino