Menuju konten utama

Kisah Pia Klemp: Ketika Penyelamat 1.000 Nyawa Terancam Dibui

Pia Klemp dikriminalisasi oleh otoritas Italia karena menyelamatkan ribuan orang yang terancam mati tenggelam di laut Mediterania.

Pia Klemp sebagai pembicara pada demonstrasi Minggu ke-19 di Vorarlberg. Pada 5.5.2019 di Bregenz. Sekitar 1000 orang berkumpul untuk demonstrasi. FOTO/commons.wikimedia.org

tirto.id - Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kabar bahwa seseorang berhasil menyelamatkan lebih dari 1.000 orang dari kematian? Mendapatkan penghargaan, tentu saja, menjadi salah satu jawaban yang mungkin paling dominan. Namun, sayang, hal ini tidak terjadi pada Pia Klemp.

Klemp terancam dihukum 20 tahun penjara atau denda ratusan ribu euro oleh Pemerintah Italia. Dia dianggap melakukan kejahatan besar ketika secara pribadi melakukan misi penyelamatan terhadap lebih dari 1.000 orang imigran yang terombang-ambing terancam mati tenggelam di laut Mediterania dalam beberapa tahun terakhir.

Persidangan terhadap kasusnya akan segera dimulai setelah Klemp dan beberapa rekan senegaranya didakwa di Sisilia terkait pemberian bantuan terhadap imigran ilegal.

Dilansir Deutsche Welle, Klemp adalah seorang kapten kapal Iuventa. Ia ditangkap dan diselidiki oleh otoritas Italia sejak musim panas 2017. Selain berprofesi sebagai kapten kapal, Klemp juga bergabung dalam lembaga swadaya masyarakat Sea-Watch 3. Organisasi ini bergerak di bidang penyelamatan pencari suaka di Mediterania yang berusaha mencapai daratan Eropa dengan kapal.

Bersama dengan para pendukungnya, Kemp berpendapat bahwa tindakan seorang kapten kapal menyelamatkan nyawa manusia sejalan dengan kebijakan PBB tentang penyelamatan di laut dan merupakan bagian dari tanggung jawab kemanusiaan seorang kapten kapal.

"Kami hanya mengikuti hukum internasional, terutama hukum laut, di mana prioritas tertinggi adalah menyelamatkan orang dari kesusahan," katanya dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Swiss, Basler Zeitung.

Publik banyak yang bersimpati atas kasus yang menimpa Klemp. Sebuah bar di Bonn yang pernah jadi tempat kerja Klemp, misalnya, mengumumkan bahwa 50 sen euro dari harga setiap "bir Pia" yang dipesan pengunjung akan disumbangkan ke Klemp untuk meringankan bebannya.

Sementara itu, tagar #FreePia juga bertebaran di media sosial sebagai bentuk solidaritas. Hingga Jumat (14/6), lebih dari 100.000 tanda tangan petisi daring mengalir sebagai bentuk dukungan terhadap Klemp, menuntut agar ia dibebaskan dari jerat hukuman.

Kapten kapal Peter Scott Smith, putra mantan veteran Perang Dunia II Harry Leslie Smith, urun komentar, mendukung apa yang dilakukan oleh Klemp. "Di era lain, Pia Klemp akan menyelamatkan orang-orang Yahudi dari pemusnahan," kicau Smith di akun Twitternya.

Ia turut mendamprat negara-negara Uni Eropa, sembari mengatakan bahwa mereka munafik dan tak dapat berbuat banyak terkait isu imigran laut Mediterania. Jika nantinya Klemp tetap dinyatakan bersalah, Smith berencana untuk menggugatnya ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa di Strasbourg, Prancis.

Kepada Deutsche Welle, Klemp sendiri mengeluh bahwa tabungannya yang seharusnya bisa dipakai untuk misi penyelamatan bakal habis untuk membayar denda. Itu pun tak bakal cukup. Mau tak mau, Klemp harus menggalang dana untuk kasus yang ia hadapi.

"Tapi yang terburuk sudah terjadi," kata Klemp yang lahir di Bonn, Jerman, 35 tahun yang lalu itu. "Misi penyelamatan laut telah dikriminalisasi."

Jalur Maut

Laut Mediterania menjadi tempat bagi tiga jalur laut yang kerap dipakai oleh para migran, pengungsi maupun pencari suaka, untuk menyeberang secara tidak teratur ke Eropa. Tiga jalur itu terdiri dari rute Mediterania barat yang mengacu pada perlintasan laut dari Maroko ke Spanyol, rute Mediterania tengah dari Afrika Utara (terutama Libya) ke Italia dan rute Mediterania timur yang mengacu pada perlintasan laut dari Turki ke Yunani.

Dari ketiga rute tersebut, Libya menjadi titik transit bagi mayoritas pengungsi, migran serta pencari suaka dari Afrika yang berharap mencapai Eropa. Mereka meninggalkan kampung halaman karena konflik, peperangan, diskriminasi, berharap meraih masa depan yang lebih baik.

Dalam perjalanan, para pengungsi dan migran menghadapi risiko tinggi menghadapi pelanggaran hak asasi manusia dan kematian. Badan Pengungsi PBB (UNHCR) mencatat, per 10 Juni 2019, ada 539 pengungsi yang meninggal di laut Mediterania dalam usahanya mencapai tanah Eropa. Mereka berasal dari negara-negara di benua Afrika dan kawasan Timur Tengah.

Lebih lanjut, sepanjang 2018 ada 2.262 migran yang meninggal atau hilang selama menyeberangi laut Mediterania. Empat tahun sebelumnya, jumlahnya lebih banyak lagi, yakni 3.139 (2017), 5.096 (2016), 3.771 (2015), dan 3.538 (2014). Artinya, sejak 2014 ada lebih dari 15.000 orang yang tewas atau hilang saat perjalanan menyeberangi Mediterania. Faktor kelebihan muatan kapal jadi penyebab utama banyak korban tewas setelah terombang-ambing dan tenggelam.

Krisis kematian migran di Mediterania telah menarik perhatian lebih dalam beberapa tahun terakhir. Para keluarga migran juga ikut merasakan kekhawatiran luar biasa ketika menantikan kabar dari orang-orang yang mereka cintai.

Karena Partai Sayap Kanan

Sadar bahwa rute tengah menjadi rute favorit, pemerintahan sayap kanan Italia sejak Februari 2017 telah mencapai kesepakatan dengan sejumlah negara di Afrika, termasuk Libya, untuk meningkatkan pasukan keamanan mereka dengan menjanjikan imbalan uang sebesar 228 juta dolar Amerika Serikat. Tujuannya: memblokir titik keberangkatan migran.

Para migran yang dicegat oleh pasukan keamanan dan secara paksa dikembalikan ke Libya menghadapi serangkaian perlakuan yang tidak manusiawi. Mereka seolah berada di zona perang yang sedang berkecamuk dan ditahan di kamp-kamp pengungsian.

Laporan Komisi Pengungsi Wanita (WRC) yang diterbitkan Maret 2019 (PDF) berhasil merekap bagaimana banyak migran telah mengalami penyiksaan, kekerasan seksual dan pemerasan di kamp-kamp pengungsian.

Kebijakan anti-imigran memang semakin didengungkan di Italia. Sebagai catatan, negara ini sedang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam Negeri Matteo Salvini dari partai Lega Nord. Partai berhalauan sayap kanan ini memang terkenal dengan sikap anti-imigran.

Infografik Pia Klemp

Infografik Pia Klemp. tirto.id/Sabit

Dilansir dari Guardian, di bawah Salvini, Italia menutup pelabuhan ke kapal-kapal penyelamatan imigran, mengusir orang-orang yang bekerja di pusat pengungsian serta 'membongkar' sejumlah proyek integrasi.

Pada Juni lalu, pemerintah Italia mengadopsi dekrit yang bakal mengganjar denda hingga 50.000 euro untuk tiap kapal penyelamat milik lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang membawa migran ke tanah Italia tanpa ijin. Sejumlah LSM mengatakan, dekrit yang diusulkan oleh Salvini ini dapat dibaca sebagai perang melawan LSM yang sedang menyelamatkan nyawa orang di laut Mediterania.

Dilansir Quartz, Salvini sendiri menjuluki sejumlah LSM tersebut sebagai "mafia perdagangan orang." Pemerintah Italia mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh sejumlah LSM tersebut malah akan membuat para migran semakin nekat menyebrang lautan untuk mencapai daratan Eropa.

Klemp membantah klaim pemerintah Italia itu. "Ada studi ilmiah yang menyangkal gagasan bahwa penyelamatan laut adalah faktor penarik," kata Klemp.

"Orang-orang datang karena ada begitu banyak alasan untuk melarikan diri." Dan jika negara-negara menutup perbatasan mereka, "mereka datang melalui Mediterania karena tidak ada cara hukum untuk sampai ke sini," imbuhnya.

Dibiarkan Tewas?

Dalam tulisannya untuk The Conversation, Maurice Stierl anggota LSM Alarm Phone yang menangani krisis penyeberangan laut Mediterania mencatat, ada kecenderungan otoritas Italia membiarkan para migran tewas di lautan saat terjadi kecelakaan perahu.

Salah satu kasusnya terjadi pada 29 Mei 2019. Saat itu, ada sebuah kapal yang memuat sekitar 100 migran mengirimkan sinyal krisis. Kebetulan, pesawat pengintai sipil Moonbird yang dijalankan Sea-Watch berada di lokasi dan melihat kapal tersebut.

Pada saat yang bersamaan, pesawat itu juga menangkap gambar kapal angkatan laut Italia P490. Namun, kapal angkatan laut itu tidak melakukan operasi penyelamatan meski sedang berada di sekitar kapal migran yang tengah berada di situasi sulit itu. Butuh hampir satu hari hingga operasi penyelamatan dapat mencapai lokasi. Akibatnya, para migran termasuk anak-anak melewati dua malam di tengah lautan.

Lebih lanjut, Stierl menyampaikan bahwa tingkat kematian tinggi dan risiko kekerasan dan penyiksaan para migran adalah hasil dari kebijakan sepihak dari negara-negara Uni Eropa yang memagari perbatasannya dari para migran.

Dengan kebijakan Salvini yang mulai menyerang para aktivis, PBB mengingatkan bahwa jumlah korban tewas di laut Mediterania diperkirakan bakal bertambah karena absennya kapal-kapal kemanusiaan yang biasanya menjangkau para migran. Belum lagi situasi Libya terus berkecamuk dan bencana banjir membuat jumlah migran yang mencoba menaklukkan ganasnya laut Mediterania meningkat.

"Jika kita tidak melakukan intervensi segera, akan ada lautan darah," kata Carlotta Sami, juru bicara UNHCR, di Italia.

Baca juga artikel terkait ISU KEMANUSIAAN atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Hukum
Penulis: Tony Firman
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara
-->