Menuju konten utama

Kisah Pegawai VOC yang Dibuang ke Pulau Terpencil Karena Sodomi

Michiel Koolbergen melacak arsip-arsip VOC untuk mencari tahu pegawai VOC yang dihukum buang ke pulau terpencil karena melakukan sodomi.

Kisah Pegawai VOC yang Dibuang ke Pulau Terpencil Karena Sodomi
Ilustrasi Leendert Hasenbosch. tirto.id/fiz

tirto.id - Pada 1725, seorang pegawai VOC harus menjalani hukuman ditinggalkan di sebuah pulau terpencil tak berpenghuni di tengah Samudera Atlantik karena dituduh melakukan sodomi. Pegawai Kongsi Dagang Hindia Timur atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) itu ditinggalkan di pulau tersebut hanya berbekal sebuah tenda, satu tong kecil air, alkitab, pena dan kertas serta beberapa barang lainnya.

Dalam keterpencilan Pulau Ascension ini, dia diperkirakan hanya mampu bertahan hidup selama kurang lebih 6 bulan saja. Perkiraan tersebut diperoleh lewat sebuah buku catatan harian yang ditemukan oleh awak kapal Inggris, Compton, yang mendarat di Pulau Ascension pada awal 1726. Catatan dalam buku tersebut mulai ditulis pada 5 Mei 1725 saat terpidana diturunkan di pulau yang letaknya berada di Samudera Atlantik bagian selatan, persisnya di antara Amerika Selatan dengan Afrika. Sedangkan catatan terakhir ditulis pada Oktober 1725.

Catatan itu kemudian dibawa pulang ke Inggris dan terbit ke dalam tiga buku. Buku pertama terbit pada tahun 1726 dengan judul Sodomy Punish'd. Selang dua tahun kemudian buku lainnya mengenai catatan harian pegawai VOC tadi terbit dengan judul An Authentick Relation. Pada 1730 terbit buku lain yang diberi judul The Just Vengance of Heaven Exemplify'd.

Walaupun catatan harian yang asli kemudian raib tak tentu rimbanya, kisah hukuman yang dialami oleh pegawai VOC ini menjadi legenda dan beberapa buku ditulis berdasarkan cerita ini. Beberapa buku mungkin menambahkan ceritanya sendiri sehingga fakta sebenarnya semakin kabur.

Benarkah pegawai VOC dalam kisah di atas memang nyata?

Usaha Menemukan Jati Diri Sang Pelaku Sodomi

Seorang sejarawan Belanda bernama Michiel Koolbergen mengungkap fakta di balik legenda berusia lebih dari dua abad ini. Koolbergen menuliskan temuannya dalam sebuah buku yang diterbitkan pada 2002 berjudul Een Hollandse Robinson Crusoe (dagboek van de verbannen VOC-dienaar Leendert Hasenbosch op het onbewoonde eiland Ascension A.D. 1725).

Ketertarikan Koolbergen dimulai sekitar 1990-an saat ia menemukan buku "An Authentick Relation" di Museum Maritim Amsterdam. Koolbergen kemudian mulai mengumpulkan informasi awal mengenai orang yang dibuang di Pulau Ascension itu. Walaupun tak diketahui siapa penulisnya, Koolbergen menyimpulkan beberapa hal setelah membaca buku tersebut.

Penulis catatan harian yang terdapat di buku “An Authentick Relation” adalah penyuka sesama jenis bisa dibaca dalam seluruh tulisannya yang tak pernah bercerita mengenai perempuan, baik itu istri maupun pacar. Pada salah satu catatan yang ditulis pada 20 Juni 1725, penulis mengakui memuaskan hasrat seksualnya dengan sesama laki-laki.

Koolbergen kemudian mengetahui jika pegawai VOC tersebut sedang dalam perjalanan menuju Belanda setelah bertugas di Batavia. Memang Pulau Ascension hanya dilalui dalam rute pelayaran pulang dari Batavia menuju Belanda. Pelayaran pulang ketika itu biasanya dilakukan dalam sebuah iring-iringan kapal atau armada laut yang terdiri dari beberapa kapal. Konvoi kapal ini dipimpin seorang Komodor yang membawahi para kapten kapal yang ikut dalam armada.

Komodor dan semua kapten kapal dalam konvoi membentuk “Breede Raad” atau sebuah dewan yang bertindak memberikan berbagai keputusan, termasuk menjatuhkan putusan hukuman bagi pelaku kejahatan dalam pelayaran. Kasus seperti pembunuhan dan sodomi rupanya dianggap saat itu dianggap sebagai kejahatan serius dalam pelayaran yang biasanya diganjar dengan hukuman berat. Bentuk hukumannya bermacam-macam seperti ditembak, dilempar ke laut atau ditinggalkan di pulau terpencil.

Koolbergen yang juga mempelajari kebiasaan tata kelola kongsi dagang Hindia Timur kemudian mulai mencari arsip-arsip yang terkait kasus ini. Ia memeriksa seluruh catatan pelayaran pulang dari Batavia yang dilakukan pada 1725. Koolbergen lantas menemukan sebuah konvoi yang dipimpin komodor Ewout van Dishoeck. Tetapi sayangnya seluruh catatan perjalanan 23 tiga kapal yang ikut dalam pelayaran pulang itu telah hilang. Catatan-catatan tadi, beserta arsip-arsip lainnya, diduga telah dijual pada abad ke-19 sebagai kertas bekas.

Pencarian Koolbergen kemudian beralih kepada arsip notulensi dari Heeren Zeventien atau Dewan Pimpinan Tertinggi VOC serta Staten-Generaal atau parlemen Belanda. Ketika itu, setiap komodor yang tiba di Belanda harus memberikan laporannya di hadapan kedua dewan ini mengenai apa yang terjadi selama pelayaran. Menurut sebuah laporan, komodor Ewout van Dischoeck memang menghadiri dua pertemuan dengan masing-masing dewan. Namun dalam notulensi pertemuan yang berhasil ditemukan Koolbergen, tidak ditemukan catatan mengenai hukuman buang yang dijatuhkan pada pelaku sodomi. Kemungkinan masalah tersebut sengaja tidak dicatat dalam notulensi pertemuan.

Harapan terakhir Koolbergen adalah arsip catatan gaji pegawai VOC. Kala itu pegawai yang melakukan tindak kejahatan seluruh gajinya akan disita dengan catatan hukuman yang diterimanya dituliskan pada daftar gajinya. Memeriksa daftar gaji pegawai VOC yang melakukan perjalanan pulang pada 1725 bukanlah hal yang mudah. Pertama, jumlahnya sangat banyak. Kedua, karena kebiasaan saat itu yang menuliskan catatan pegawai dengan identitas berdasar nama kapal yang membawanya datang ke Hindia Belanda.

Sebuah buku dari seorang penulis berkebangsaan Jerman bernama Carl Friedrich Behrens yang diterbitan pada 1737 kemudian membantu Koolbergen mempersempit jumlah orang yang dicarinya. Dalam buku yang bercerita mengenai perjalanan keliling di belahan dunia bagian selatan ini, Koolbergen menemukan secarik data yang menyebutkan Pulau Ascension kerap digunakan sebagai tempat pembuangan, seperti yang terjadi pada seorang pemegang pembukuan Belanda yang dihukum karena kasus sodomi.

Fokus pencarian kemudian menyempit kepada 18 orang saja karena pada setiap kapal hanya ada satu perwira yang bertugas mencatat pembukuan selama pelayaran. Walau dalam iring-iringan kapal yang dipimpin oleh komodor Ewout van Dishoeck berjumlah 23, namun kapal yang bertolak dari Batavia hanya terdiri dari 18 kapal saja.

Dari situlah Michiel Koolbergen menemukan keterangan penyitaan catatan gaji seorang perwira bernama Leendert Hasenbosch yang bertugas sebagai pencatat pembukuan pada kapal Prattenburg. Pada 17 April 1725, Leendert Hasenbosch dijatuhi hukuman dibuang di Pulau Ascension.

Seluruh kerja investigasi Michiel Koolbergen kemudian dituliskan Alex Ritsema dalam bukunya yang berjudul A Dutch Castaway on Ascension Island in 1725. Koolbergen sendiri meninggal dunia karena kanker paru yang dideritanya beberapa bulan sebelum bukunya terbit. Alex Ritsema yang membaca buku Koolbergen pada 2005 kemudian menulis ulang dengan menambahkan beberapa informasi serta menerbitkannya menjadi buku baru pada 2006 serta edisi revisi yang lebih lengkap terbit pada 2010.

Latar Belakang Kehidupan Leendert Hasenbosch

Dalam bab IV bukunya, Alex Ritsema menjelaskan latar belakang kehidupan Leendert Hasenbosch. Dilahirkan di Den Haag sekitar 1695, Leendert Hasenbosch adalah satu-satunya putra dari lima orang anak pasangan Johannnes Hasenbosch dan Maria van Bergende. Keluarga ini sebelumnya adalah penganut Katolik Roma, kemudian pindah memeluk Kristen Protestan setelah puteri mereka, Helena, meninggal saat masih bayi pada 1694. Johannes saat itu berprofesi sebagai pedagang.

Setelah kematian istrinya pada 1708 Johannnes pindah ke Batavia dengan membawa ketiga putrinya. Leendert yang kala itu berusia sekitar 14 tahun ditinggalkan di Belanda. Tidak diketahui dengan siapa Leendert tinggal di Belanda. Informasi mengenai Leendert muncul kembali setelah ia mendaftar menjadi prajurit VOC pada 1713 saat usianya sekitar 18 tahun.

Leendert tiba di Hindia Belanda pada tanggal 13 Agustus 1714 dengan menggunakan kapal “Corssloot” dan bertugas sebagai penjaga di Kastil Batavia. Tak ditemukan catatan rinci mengenai kegiatan kesehariannya saat itu. Namun patut diduga jika Leendert sesekali berjumpa dengan ayah dan saudarinya seperti yang mungkin terjadi ketika adik perempuannya, Maria, membaptis anaknya pada 1 Januari 1715 di Gereja Portugis. Acara tersebut dihadiri ayah dan kakak tertua Leendert, Johannnes Hasenbosch dan Cornelia, yang menjadi saksi. Saat itu Johannnes Hasenbosch telah menjadi pengurus gereja yang saat ini dikenal sebagai Gereja Sion.

infografik leendert hasenbosch

Bulan September 1715, Leendert Hasenbosch dikirimkan ke India untuk membantu pasukan yang memadamkan perlawanan di daerah Cochin di Pantai Malabar. Ketika bertugas di India inilah Leendert menyumbangkan seluruh gajinya sebesar 75 gulden untuk pembangunan rumah bagi penderita lepra di Cochin yang diberi nama “Lazarus”.

Leendert bertugas selama 5 tahun di India dan ketika kembali bertugas di Batavia pangkatnya dinaikkan menjadi kopral. Pada 1722 ia dipromosikan menjadi juru tulis militer dan gajinya kembali naik.

Jika di India Leendert menyumbangkan gajinya untuk kebaikan, pada Agustus 1722 ia menyerahkan gajinya sejumlah 287 gulden kepada seorang pria bernama Jan Becker yang tinggal di Belanda. Jan Becker kemudian mengambil uang gaji Leendert tersebut setahun kemudian di hadapan notaris dan saksi yang menjadi wakilnya.

Sepertinya Leendert harus memberikan gajinya sebagai ganti rugi untuk suatu hal yang dilakukannya dulu ketika masih tinggal di Belanda. Mungkinkah hal itu terkait dengan perilaku seks? Tak ada catatan rinci mengenai hal itu. Yang jelas Leendert memutuskan untuk kembali ke Belanda pada 1725.

Kontemplasi Diri Pelaku Sodomi

Saat kapal yang membawanya pulang ke kampung halamannya singgah di Cape Town, Leendert Hasenbosch diputuskan bersalah atas prilaku sodomi. Tak diketahui nasib yang menimpa lelaki lainnya, tetapi Leendert harus mengalami siksaan bertahan hidup sendirian di Pulau Ascension.

Pulau Ascension saat itu adalah neraka di bumi. Keterpencilan dan ketersediaan air tawar sangatlah terbatas. Leendert mencoba bertahan hidup dengan memburu dan memakan penyu, camar laut dan burung-burung laut lainnya. Untuk menghemat persediaan air tawar, ia terkadang mencampur darah penyu dengan teh. Bahkan ketika air tawarnya mulai habis ia meminum air seninya sendiri.

Rasa haus dan dehidrasi yang mengakhiri hidupnya. Kru kapal Inggris Campton yang mendarat di Pulau Ascension untuk memperbaiki dan menambah persediaan makanan hanya menemukan tenda kosong di tepi pantai dan buku catatan harian. Walaupun telah dicari mayat Leendert tak pernah ditemukan.

Dalam catatan hariannya tergambar Leendert Hasenbosch tak hanya berjuang bertahan hidup, tetapi juga berkonflik dengan batinnya yang harus menanggung rasa bersalah. Dalam keputusasaan, ia terkadang mendengar suara-suara sumpah serapah tanpa wujud. Ia mengaku melihat penampakan orang-orang yang pernah melakukan dosa perbuatan sodomi bersamanya. Leendert terkadang berdoa agar Tuhan mengakhiri penderitaannya dan mengampuni semua dosanya di dunia.

Alex Ritsema yang meneruskan kerja Michiel Koolbergen meragukan kebenaran penampakan yang dibaca dari buku-buku yang diterbitkan di Inggris, seperti pada buku An Authentick Relation (1728). Menurutnya gaya penulisan pada bagian yang menceritakan Leendert Hasenbosch melihat penampakan hantu dari rasa bersalahnya tidak sama dengan gaya penulisan dalam catatan-catatan lainnya. Sepertinya bagian tersebut ditambahkan oleh penulis lain untuk menciptakan efek kengerian.

Lalu siapakah yang menambahkan tulisan mengenai penampakan roh–roh jahat?

Menurut Alex Ritsema, bagian penampakan hantu yang dilihat Leendert Hasenbosch sama dengan tulisan Daniel Defoe saat tokoh rekaannya, Robinson Crusoe, melihat jejak kaki manusia di pantai di pulau tempatnya terdampar sendirian. Daniel Defoe yang menulis buku mengenai perjuangan hidup seorang pelaut yang terdampar di pulau terpencil berjudul Robinson Crusoe (1719) memang percaya adanya kekuatan supranatural, namun menurutnya penampakan hantu hanya ada dalam benak penjahat yang digelayuti rasa penyesalan.

Apakah Leendert Hasenbosch menyesali perbuatannya melakukan sodomi sehingga membuatnya dihukum buang di Pulau terpencil? Mungkin tak akan pernah diketahui hingga catatan harian Leendert Hasenbosch yang sebenarnya ditemukan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Ariyono Wahyu Widjajadi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Ariyono Wahyu Widjajadi
Penulis: Ariyono Wahyu Widjajadi
Editor: Zen RS