tirto.id - Perang Dunia II dan Perang Kemerdekaan Indonesia mengubah banyak hal di Indonesia. Seorang pemuda bernama Soetarto ada di dalam arus perubahan itu. Sebelum perang berkobar, dia hanya orang Jawa dan pekerja biasa.
“Soetarto semula adalah seorang buruh percetakan di Semarang. Pada tahun 1930an ia menjadi Ketua Suluh Pemuda Indonesia (SPI) cabang Madiun. Pada 1935, ketika menghadiri ulang tahun SPI ke-4 di Malang, dia ditangkap pemerintah,” tulis Imam Soedjono dalam buku Yang Berlawan (2006, hlm. 214).
Setelah Jepang menduduki Indonesia, Soetarto masuk ke lingkaran pemuda antifasisme. Dia kemudian masuk satuan tentara sukarela bikinan Jepang, Pembela Tanah Air (PETA). Bertugas di Wonogiri, Soetarto dapat pangkat chudancho atau komandan kompi—kira-kira setara kapten.
Setelah Jepang kalah dan Indonesia merdeka, Soetarto ikut membentuk Angkatan Muda Tentara di Solo. Soetarto, menurut Julianto Ibrahim dalam Dinamika Sosial dan Politik Masa Revolusi Indonesia (2018, hlm. 88), dianggap sebagai perwira populis yang sukses mengumpulkan banyak senjata bekas tentara Jepang. Soetarto juga berafiliasi dengan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Di Solo, dengan semangat antifeodalisme yang sedang bergelora, Soetarto diakui kepemimpinannya di kalangan kaum bersenjata. Kemudian, terbentuklah kesatuan tentara yang diklaim sebagai Divisi X Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Soetarto termasuk salah satu kandidat panglima divisi itu.
Dalam pemilihan panglima Divisi X, Soetarto musti bersaing dengan Sunarto dan G.P.H. Purbonegor. Nama terakhir adalah anak Raja Surakarta yang juga merupakan lulusan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda. Meski begitu, Soetarto berhasil memenangi pemilihan itu.
Kala itu, Soetarto berpangkat kolonel. Setelah 1946, Divisi X TKR dan pasukannya digabungkan dengan Divisi IV Panembahan Senopati. Soetarto lantas menjadi panglimanya dengan pangkat jenderal mayor—kala itu, belum ada istilah mayor jenderal dan brigadir jenderal.
Terlibas Re-Ra
Nasib Soetarto jadi tidak jelas kala Kabinet Hatta mulai menjalankan program rekonstruksi dan rasionalisasi (Re-Ra) di tubuh tentara RI. Sejumlah divisi dan jumlah personel tentara diciutkan untuk mengurangi beban keuangan negara. Soetarto yang terimbas kebijakan itu lantas melancarkan protes di peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1948.
“Kami ingin menanamkan kepercayaan kepada rakyat di Solo, inilah tentara yang akan melindungi mereka,” kata Soetarto seperti dicatat Julius Pour dalam buku Ign. Slamet Rijadi (2008, hlm. 75).
Tak hanya Soetarto, Divisi Panembahan Senopati pun mengalami masa-masa sulit. Selain direorganisasi, ia juga harus berbagi ruang dengan Divisi Siliwangi yang baru saja hijrah dari Jawa Barat. Surakarta seakan jadi kecil belaka disesaki dua kesatuan itu.
Situasi Solo pun jadi memanas karena kedua divisi itu pun punya visi dan afiliasi politik yang saling berlawanan. Anggota Divisi Panembahan Senopati diketahui dekat dengan orang-orang kiri. Benturan-benturan kecil pun mulai terjadi di antara anggota dua divisi itu.
Mayor Esmara Sugeng, salah seorang komandan batalyon anak buah Soetarto, dan beberapa perwira lain jadi korban penculikan. Kelompok Soetarto menuduh pasukan Siliwangi yang jadi penculiknya.
Pembunuhan Soetarto
Divisi IV Penembahan Senopati pada akhirnya tetap direorganisasi juga. Nama dan tentu saja statusnya diubah menjadi Komando Pertempuran Penembahan Senopati (KPPS). Untungnya, Soetarto tetap didudukkan sebagai panglima.
Buku Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya (1977, hlm. 165) menyebut KPPS punya wilayah operasi mencakup Keresidenan Semarang, Surakarta, hingga Pacitan. KPPS juga membawahi beberapa resimen bawahan yang masing-masing dipimpin oleh Letnan Kolonel Suadi Suromihardjo, Letnan Kolonel Soenarto, dan Letnan Kolonel Slamet Sudiarto.
Masalah di Surakarta tidak berhenti begitu saja usai pelaksanaan reorganisasi itu, bahkan eskalasinya makin runyam. Terlebih, pada 2 Juli 1948, sekira pukul 7 malam, Soetarto yang baru saja turun dari mobilnya dan hendak masuk rumah ditembak orang tak dikenal. Dia tewas.
Siliwangi dan KPPS lagi-lagi saling lempar tuduhan terkait pelaku dibalik pembunuhan Soetarto itu. Letkol Suadi amat marah kala pimpinannya terbunuh. Meski begitu, menurut Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011, hlm. 118), Suadi masih dapat mengontrol diri dan berusaha ikut menentramkan keadaan Kota Surakarta.
Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (2005, hlm. 236) menyebut Suadi bekerja sama dengan Sadikin—salah satu orang dekat Panglima Divisi Siliwangi A.H. Nasution—untuk menenangkan para anggota dari dua kesatuan yang saling menyalahkan. Namun, kala situasi Solo sedikit mereda, pergolakan lain yang lebih parah terjadi di Madiun dan sekitarnya.
Beberapa perwira dan personel KPPS dituduh ikut dalam pergolakan di Madiun. Mereka juga dicurigai punya hubungan dekat dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang bikin geger Madiun.
Meski hubungan itu masih sumir dan sebagian besar berasal dari tuduhan-tuduhan yang tak berdasar, KPPS terlanjur dicap pembangkang. KPPS juga dianggap tidak tertib dan terlebih ia kini kehilangan panglimanya. Hal-hal itu sudah cukup jadi alasan bagi Perdana Menteri Hatta untuk melikuidasi KPPS.
KPPS benar-benar tamat usai TNI berhasil mengakhiri Peristiwa Madiun. Beruntung, Letkol Suadi tak ikut tergulung dan kemudian merapat kepada Panglima Besar Jenderal Sudirman. Dia jadi pengawal setia Jenderal Sudirman kala bergerilya usai Belanda melancarkan Agresi Militer II dan menduduki Yogyakarta.
Setelah 1949, hanya ada Divisi III Diponegoro pimpinan Kolonel Gatot Subroto yang eksis di Jawa Tengah. Divisi ini kemudian menjadi inti dari Komando Tentara dan Teritorium III yang berpusat di Semarang.
Setelah Revolusi berakhir, karier militer Suadi melesat hingga dia mencapai pangkat Letnan Jenderal. Suadi pun sempat mengikuti pendidikan di dua lembaga bergengsi: Fort Leavenworth di Amerika Serikat dengan dukungan Seskoad dan Staff College, Quetta, Pakistan. Selama 1959-1961, Suadi pun dipercaya KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk memimpin Seskoad di Bandung. Sebelum kariernya memudar di era Orde Baru, Suadi pernah pula menjadi Gubernur Lemhanas.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi