Menuju konten utama
Hari Kebangkitan Nasional

Kiprah Keturunan Arab dalam Pergerakan Nasional

Persatoean Arab Indonesia (PAI) pelan tapi pasti bisa mewedarkan nasionalisme di kalangan orang Arab di Hindia Belanda.

Kiprah Keturunan Arab dalam Pergerakan Nasional
Eksponen PAI dalam pertemuan umum di Palembang dan Bandung, 1939. FOTO/Arsip Keluarga AM Alkaff

tirto.id - Jika di kalangan Indo-Eropa punya Indo Europeesch Verbond (IEV) yang berdiri pada 1919, di kalangan Arab pun ada Indo Arabische Verbond (IAV) yang berdiri sejak 1930.

Menurut Hamid Algadri dalam Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia (1988), Indo Arabische meniru Indo Europeesch. IAV kemudian dianggap gagal karena terlalu tergantung pada dukungan orang-orang kaya dan tak mau melepaskan diri dari ikatan dan sistem sosial di Hadramaut, Yaman Selatan, tanah kelahiran mayoritas peranakan Arab yang menetap di Hindia Belanda.

Dalam bukunya, Hamid mengutip J.M. Pluvier dalam Overict van de Nationalistische Bewaging in Indonesie (1942): “Gerakan IAV ini bertujuan memperkuat perasaan ras, di dalam dan luar negeri, bahwa Arab adalah orang Arab dan harus tinggal Arab.”

Hamid menambahkan komentarnya lagi: “Mereka kurang mengaitkan diri dengan kenyataan dalam masyarakat Indonesia sendiri yang sebagian besar keturunan Arabnya sudah membaur dan sesungguhnya sudah terlepas dari sistem sosial Hadramaut.”

Masyarakat Arab di Indonesia yang tak bisa lepas dari Hadramaut itu mirip dengan orang-orang Tionghoa di Indonesia yang tak bisa lepas dari daratan Cina. Juga kebanyakan orang Indo-Eropa yang tidak sudi mengakui Hindia Belanda sebagai tanah kelahiran dan selamanya menganggap Eropa sebagai tanah air.

Namun, situasi terus berkembang. Sejarah bergerak dengan dinamis. Banyak orang Arab yang tergabung dalam IAV merasa tidak puas lagi dengan sepak terjang IAV. Abdul Rahman Baswedan, pendiri Persatoean Arab Indonesia (PAI), adalah salah satu dari mereka itu.

Sebelum Baswedan mendirikan PAI pada 4 Oktober 1934, ia sempat berguru pada Liem Koen Hian. Liem pemimpin Sin Tit Po dan salah satu pendiri Partai Tionghoa Indonesa (PTI) pada 25 September 1932. Menurut Natalie Mobini Kesheh dalam The Hadrami Awakening: Community and identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942 (1999), “Gagasan Liem punya pengaruh penting dan kemudian PTI menjadi model dari PAI yang didirikan Baswedan dua tahun setelahnya.”

PTI sendiri ialah organisasi yang didirikan peranakan Tionghoa yang menganggap Hindia Belanda sebagai tanah airnya. Kesetiaan layak diberikan kepada Hindia Belanda bukan semata sebagai tempat kelahiran tetapi juga tempat penghidupan. Sikap PAI senada: Hindia Belanda adalah tanah kelahiran dan tempat penghidupan sehingga pada tanah ini pula kesetiaan layak disandarkan, bukan lagi pada tanah asal nenek moyang di Hadramaut sana.

“Nama PAI sejak berdirinya adalah Persatoean Arab Indonesia. Memang pada waktu itu belum tampak PAI akan menjadi partai politik,” tulis Hamid Algadrie dalam Mengarungi Indonesia: Memoar Perintis Kemerdekaan Mr. Hamid Algadri (1999). Baru pada tahun 1940, PAI mengubah namanya dari Persatuan menjadi Partai.

Di masa awal berdiri, usaha PAI adalah “menyatukan kembali keturunan Arab yang pecah-belah”. Menurut Hamid, orang-orang Arab itu “sebelumnya terpecah belah dalam pertentangan di antara dua golongan Arab dan keturunan Arab, golongan Al Irsyad dan Ar Rabithah."

"Sejak berdirinya, PAI diisi banyak orang keturunan Arab yang berada di kedua golongan tadi meninggalkan kedua golongan itu dan bergabung dengan PAI dan oleh karenanya pertentangan di antara kedua golongan tadi mereda,” tulis Hamid.

Di kalangan masyarakat Arab di Indonesia, PAI berseberangan dengan Indo Arabische Beweging (IAB). IAB adalah kelanjutan dari IAV. IAB berpendirian sangat berbeda dari PAI. Ketua IAB adalah M.B.A. Alamudi, yang dulu mendirikan IAV, bahkan menyebut "nasionalisme adalah berbahaya dan tidak sehat." Belakangan Alamudi bahkan menjadi semakin dekat dengan Belanda.

Menurut Suranta Abdul Rahman dalam tulisannya, "Diplomasi RI di Mesir dan Negara-negara Arab" di jurnal Wacana (Volume 9 No. 2 Oktober 2007), setelah Indonesia merdeka, Alamudi dijadikan mata-mata oleh Belanda di Timur Tengah. Bersama Ali bin Sungkar, Abdul Kadir Audah, Ahmad Martak, dan Zein Bajeber, Alamudi mengintai bagaimana dukungan negara Timur Tengah kepada Indonesia.

Apa yang dilakukan Baswedan tentu saja tidak ringan. Tak semua orang Arab di masa kolonial antusias dan masuk PAI. Seperti halnya orang-orang Tionghoa, belum tentu sepaham dengan PTI yang didirikan Liem Koen Hian.

Dalam disertasi Husein Haikal, Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1986), dikisahkan bagaimana Baswedan menerima ancaman karena perjuangannya, termasuk ancaman fisik. Niat menganiaya Baswedan mudah terlaksana karena tubuh Baswedan yang kurus.

Infografik HL Hari Kebangkitan Nasional

PAI sebagai partai yang hidup setelah dibungkamnya PKI dan PNI sebelum 1930, tentu saja bukan organisasi pergerakan nonkoperatif. PAI bahkan punya wakil di Volksraad (Dewan Rakyat).

Di Volksraad, terdapat A.S. Alatas yang, menurut Hamid Algadri, adalah Penasehat Pengurus Besar PAI. Seperti banyak organisasi pergerakan lain pada 1937, PAI termasuk kelompok yang mendukung Petisi Soetardjo dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang menuntut adanya persamaan di parlemen antara Indonesia dan Belanda, dan diadakannya pemerintahan yang otonom dalam lingkungan kerajaan Belanda. Alatas mewakili PAI sebagai salah satu penanda tangan petisi tersebut.

Militer Jepang masuk ke Indonesia dan berkuasa sejak 8 Maret 1942. Invasi ini mengakibatkan PAI bubar.

“Setelah bermanis-manis dengan Indonesia beberapa waktu, semua partai politik dibubarkan oleh Jepang, di antaranya PAI,” tulis Hamid.

Meski begitu, Baswedan kemudian dijadikan anggota Cuo Sangi In. Ada juga anggota PAI yang tergabung dalam Gerakan Anti Fasis Jepang—yang dipimpin Amir Sjarifoeddin lalu Sutan Sjahrir. Setelah Jepang kalah dan angkat kaki, PAI tak hidup lagi.

“PAI yang tidak bersedia membentuk partai baru, para pemimpinanya kemudian masuk berbagai parpol. Seperti A.R. Baswedan (Masyumi) dan Mr. Hamid Algadri (PSI). Banyak pula yang berkiprah di NU, PNI, bahkan PKI. Seperti Baraqbah, yang menjadi ketua PKI Kalimantan Timur,” tulis Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi (2004).

PAI hilang sudah dalam sejarah, tetapi jejaknya menyebar ke mana-mana dalam politik Indonesia. Dan dengan itulah andil PAI menyublim dalam ingatan dan kenangan.

“Untuk nasionalisme Indonesia, perkumpulan Indo-Arab, PAI adalah perkumpulan terpenting, juga yang paling penting dari perkumpulan minoritas Indo pada umumnya. PAI mengakui Indonesia sebagai tanah air keturunan Arab. Keturunan Arab harus memenuhi kewajiban mereka sebanyak mungkin terhadap tanah air mereka dan terhadap masyarakat Indonesia,” tulis J.M. Pluvier.

“Kesadaran bangsa Indonesia keturunan Arab pada 4 Oktober 1934 [….] menurut kami memang suatu peristiwa yang sangat penting, yang sudah sepatutnya mendapat perhatian secukupnya. Peristiwa tersebut tidak saja penting bagi saudara bangsa kita yang berketurunan Arab, namun amat penting pula untuk kita semua,” kata Ki Hajar Dewantara dalam peringatan 20 tahun Persatoean Arab Indonesia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS