tirto.id - PSSI telah memutuskan laga semifinal leg pertama AFF 2016 antara Timnas Indonesia melawan Vietnam hari Sabtu (3/12/16) yang digelar di stadion Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor.
Meski Pakansari bisa menampung 30.000 penonton, PSSI hanya menyediakan 27 ribu lembar tiket untuk masyarakat karena sisanya untuk undangan. PSSI menyatakan semua tiket itu akan dijual secara online.
"Penjualan 100 persen online, tidak ada penjualan tiket di hari H. Thai Ticket Major (TTM) bekerja sama dengan kiostix,” ujar Ketua Panitia Pelaksana PSSI, Yeyen Tumena saat jumpa pers di Gedung Epicentrum, Kuningan, Jakarta.
Yeyen menuturkan alokasi tiket itu nantinya dibagi ke dalam tiga kategori yakni VIP, kategori 1 dan kategori 2. Soal harga, para penggemar sepakbola kelas menengah-bawah di Indonesia harus sedikit menghela napas. Tiket VIP akan dijual Rp300 ribu, kategori 1 (tribun barat samping VIP) berharga Rp200 ribu, dan kategori 2 (tribun utara, selatan dan timur) dilepas Rp100 ribu.
Lalu bagaimana jika dibandingkan dengan harga tiket pada pertandingan semifinal lain?
Berdasarkan penelusuran Tirto, pada semifinal leg pertama antara Myanmar versus Thailand, 4 Desember nanti Myanmar selaku tuan rumah akan menjual tiket seharga 160 baht (THB) ditambah biaya administrasi 20 baht. Jika dikalkulasikan ke dalam rupiah menjadi Rp68 ribu.
Di Myanmar, harga tiket dipukul rata, tidak disekat-sekat per kelas laiknya negara lain. Orang bebas mau duduk di tribun manapun: barat, timur, utara, atau selatan. Berkaca pada setiap turnamen yang digelar di Myanmar, tribun VIP biasanya tidak dijual kepada umum dan hanya untuk undangan saja.
Lalu bagaimana dengan Thailand? Saat Thailand gantian jadi tuan rumah harga tiket yang dijual bervariasi, mulai dari 600 baht, 500 baht, 300 baht, 200 baht, hingga 100 baht. Dalam rupiah, harga termahal adalah Rp220 ribu dan termurah Rp38 ribu.
Angka sama juga dipatok Vietnam saat kelak menjamu Indonesia pada leg kedua. Tiket termahal dilepas 400 ribu dong atau Rp240 ribu, turunannya yaitu 300 ribu dong (Rp180 ribu), 250 ribu dong (Rp150 ribu) dan termurah 150 ribu dong (Rp90 ribu).
Dari data-data di atas, jika dirata-rata harga jual termahal dan termurah didapati harga tiket di Myanmar Rp68 ribu, Thailand Rp115 ribu, Vietnam Rp165 ribu, sedangkan Indonesia Rp200 ribu. Dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Indonesia memang mematok harga paling tinggi dibandingkan negara lain.
Tapi menjadikan harga rata-rata harga sebagai acuan bahwa pertandingan tersebut terjangkau/tidak sebenarnya tidak cukup. Sebab, klasifikasi tiket lazim menganut sistem piramida—semakin mahal maka semakin sedikit pula alokasi tiket yang diberikan.
Misal, jika tiket termurah dijual Rp50 ribu dengan alokasi kursi sampai 80 persen kapasitas stadion dan tiket termahal dihargai Rp500 ribu namun dengan alokasi 10 persen saja. Apakah kita adil jika menyebut tiket pertandingan ini amat mahal karena rerata harganya Rp 275 ribu? Tentu saja tidak, karena untuk memandang tiket itu mahal atau tidak, bisa juga melihat berapa harga yang dilepas dan jatah peruntukan bagi kelas ekonomi.
Di Thailand, jika merujuk dari ThaiTicketMajors.com, jatah bagi kelas ekonomi mencapai 70 persen kapasitas stadion. Kategorinya terbagi menjadi tiga dengan rerata harga 200 Bath atau Rp76 ribu. Persentase sama juga didapat Vietnam yang menjual tiket termurah Rp90 ribu.
Di Indonesia, berdasarkan denah map dari KiosTix, kategori 3 yang merupakan tiket paling murah dapat jatah sekitar 57 persen. Jika menilik dari data-data ini, lagi-lagi harga tiket yang dijual Indonesia yang paling mahal. Rasio untuk tiket paling murah, alias kategori 3, juga yang paling rendah.
Padahal, saat timnas menghadapi lawan sama, Vietnam, pada 9 Oktober lalu di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta, harga tiket yang dilepas relatif murah ketimbang semifinal AFF 2016. Untuk harga tiket termurah berkisar Rp 30 ribu sampai yang paling mahal Rp 150 ribu. Harga sama juga dipatok ketika melawan musuh bebuyutan Malaysia di Stadion Manahan, Solo pada sebulan sebelumnya.
Tapi pertandingan-pertandingan di atas memang pertandingan ujicoba, bukan AFF. Jika kita menengok kembali AFF 2010 lalu, harga tiket ternyata mahal juga. Tim Indonesia yang bermain bagus di semifinal dan lolos ke final membuat harga tiket naik sampai dua kali lipat. Sampai-sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Pemuda dan Olahraga kala itu, Andi Mallarangeng, menegur PSSI.
"Memang tadi pagi banyak yang SMS tentang harga tiket naik, saya harap PSSI dengan semangat kebersamaan, demi rakyat, tiket diatur jangan terlalu tinggi, jangan kejar keuntungan semata," kata SBY. SBY bahkan menyebut kenaikan ini sebagai sebagai kado pahit Natal dan Tahun Baru.
"Kasihan rakyat kalau harganya naik, terlalu mahal," timpal Menpora dalam lain kesempatan.
Pada waktu itu, kenaikan harga tiket terjadi di semua kategori, setidaknya 50 persen. Tiket tribun termurah yang biasa dijual Rp50 ribu naik jadi Rp75 ribu, dan VVIP yang semula 500 ribu jadi 1 juta rupiah.
Sang Sekjen PSSI, Nugraha Besoes, kala itu berkilah kenaikan ini masih wajar. Alasannya kenaikan: selama penyelenggaraan turnamen, PSSI mengalami defisit dan tidak mendapat kompensasi apapun dari keuntungan komersil baik itu dari iklan atau televisi. Alasan ini ganjil, sebab saat menjadi tuan rumah babak penyisihan dan semifinal, PSSI menangguk untung sampai Rp24 miliar.
Kepiawaian PSSI dalam mengkapitalisasi nasionalisme dan animo masyarakat terhadap sepakbola sudah terjadi sekian kali. Tidak peduli di level tim senior atau junior, jika pertandingannya sukses memantik nasionalisme, harga tiket akan menggila. Pada kelompok U-23, kita bisa mengingat kenaikan harga tiket pada Final Sea Games 2011.
Pada turnamen U-19, ketenaran Evan Dimas, dkk juga berujung pada harga tiket yang sama dengan pertandingan timnas senior: mulai dari Rp50 ribu, Rp100 ribu, Rp250 ribu, Rp500 ribu hingga VVIP mencapai Rp1 juta.
Yang mengenaskan, Stadion GBK yang berkapasitas 77 ribu itu selalu terlihat kosong melompong. Saat ditegur untuk menurunkan harga tiket, Eddy Prasetya, ketua panitia bagian tiket pertandingan, menjawab dengan enteng. "Itu sudah murah karena pertandingan kali ini levelnya Asia," katanya kepada Tempo.
Andaikan nanti Indonesia sukses menggasak Vietnam dan lolos ke babak final, kemungkinan besar harga tiket akan naik lagi.
Tapi, ada hal yang membuat keuntungan PSSI tak akan bisa sebesar pada AFF 2010 atau Final Sea Games 2011: Stadion Gelora Bung Karno yang dulu dijadikan tambang uang itu kini sedang dalam tahap renovasi dan tak bisa dipakai.
Mahalnya tiket plus kapasitas Stadion Gelora Bung Karno yang mencapai 80 ribu penonton adalah kombinasi yang membikin PSSI untung besar. Saat babak final melawan Malaysia pada AFF 2010, keuntungan PSSI dari penjualan tiket bisa mencapai 14 miliar.
Tapi dengan kapasitas stadion Pakansari yang hanya 30.000 penonton, Tirto.id memprediksi PSSI hanya bisa meraup laba kotor hingga Rp4,7 miliar, dengan asumsi semua tiket laku terjual dan rerata harga tiket sama dengan tahun 2010.
Setelah Indonesia lolos ke final, lantas stadion manakah yang mumpuni untuk mengeruk untung lebih banyak? Stadion Manahan, Solo, bisa dijadikan opsi. Namun selain banyak yang mengeluhkan perkara akses, kapasitas Manahan pun hanya 25.000 penonton.
Opsi lainnya adalah Gelora Bung Tomo, Surabaya. GBT amat ideal selain akses mudah, kapasitasnya pun cukup besar, bisa memuat 50.000 penonton. Tapi, apakah PSSI berani menggelar laga di sana? Siap-siap saja mereka disambit oleh para Bonek yang selama ini memang selalu keras terhadap PSSI.
Bagaimana dengan Gelora Bandung Lautan Api di Bandung? Lupakan saja. GBLA saat ini sedang beralih fungsi menjadi tempat bercocok tanam karena keadaannya rusak berat pasca-PON XIX lalu.
Opsi lainnya adalah Stadion Jakabaring, Palembang. Ini sepertinya adalah opsi terakhir, sebab dalam 5 tahun terakhir, timnas senior tidak pernah bermain di Palembang. Jakabaring terakhir kali dipakai pada 26 November 2010, saat ujicoba melawan Taiwan.
Pada akhirnya, andaikan kita lolos ke final, penentuan stadion tidak akan jauh-jauh dari Jakarta. Dan, lagi-lagi kalau lolos, harga tiketnya akan naik lagi atau tidak?
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Zen RS & Maulida Sri Handayani