Menuju konten utama

Ketahanan Pangan Indonesia: Peringkat Jongkok, Rentan Bencana

Stok pangan tercukupi, namun kualitas dan keamanannya tergolong rendah. Pasokan rentan karena bencana alam dan dampak dari perubahan iklim.

Ketahanan Pangan Indonesia: Peringkat Jongkok, Rentan Bencana
Petani memanen padi di desa Limpok, Kecamatan Krueng Baruna Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Selasa (2/2/2021). ANTARA FOTO/Ampelsa/foc.

tirto.id - Ketahanan pangan mulai gencar dikampanyekan sejak dekade 1970-an. Kala itu, krisis pangan terjadi di Ethiopia, Chad dan kawasan Sahel di Sahara Afrika, sampai Bangladesh dan Kamboja. Situasi masih diperkeruh dengan embargo OPEC dan meroketnya harga minyak yang berdampak pada lesunya produktivitas global di sektor industri dan pertanian, termasuk kelangkaan gandum. Pada 1974, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di bawah PBB menyelenggarakan Konferensi Pangan Dunia yang pertama di Roma. Hasilnya, terjalin kesepakatan antara lebih dari 100 negara untuk meningkatkan daya tahan pangan dunia.

Konferensi dibuka dengan Deklarasi Universal tentang Pemberantasan Kelaparan dan Malnutrisi. Isinya menyebutkan, di antaranya, setiap orang berhak untuk bebas dari rasa lapar, dan pemerintah bertanggungjawab dalam produksi serta distribusi pangan. Kemudian disusunlah sebanyak 22 bulir resolusi, yang salah satunya menyatakan prioritas pembangunan desa dan pertanian. Selain itu, rekomendasi diajukan kepada jajaran pemerintah dan komunitas internasional untuk menyusun kebijakan dan program dalam rangka meningkatkan produksi dan pemanfaatan pangan, terutama di negara-negara berkembang. Resolusi terakhir mendorong berdirinya Komite Ketahanan Pangan Dunia, forum FAO untuk meninjau dan menindaklanjuti kebijakan-kebijakan terkait ketahanan pangan dan gizi.

Awalnya, ketahanan pangan dimaknai sebatas sinergi antarbangsa untuk meningkatkan hasil panen dalam rangka memenuhi pasokan pangan nasional dan global. Seiring waktu, konsep ketahanan pangan semakin multidimensional. Melansir Policy Brief FAO 2006 (PDF), KTT Pangan Dunia 1996 menyepakati bahwa, “Ketahanan pangan tercapai apabila setiap saat, semua orang punya akses fisik dan ekonomi terhadap makanan yang cukup, aman dan bergizi, yang memenuhi kebutuhan diet dan sesuai preferensinya, demi kehidupan sehat nan aktif”. Secara sederhana, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan makan pada tingkat individu atau keluarga.

Masih dipetik dari Policy Brief FAO, dimensi-dimensi ketahanan pangan meliputi ketersediaan (adanya pasokan makanan baik berasal dari produksi dalam negeri maupun impor), akses (kemudahan untuk menjangkau makanan), pemanfaatan (bagaimana kesejahteraan gizi juga disokong oleh unsur-unsur non-pangan seperti air bersih, sanitasi, layanan kesehatan) serta kestabilan (sejauh mana akses terhadap pangan terlindungi dari ancaman krisis ekonomi, iklim, fenomena alam musiman).

Cara Mengukur Ketahanan Pangan

Menilik kompleksnya cakupan dimensi ketahanan pangan, bukan hal mudah untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Salah satu usaha sudah dirintis oleh korporat media Inggris The Economist melalui tim riset Economist Intelligence Unit (EIU). Pertama kali pada 2012, EIU disponsori oleh raksasa pabrik kimiawi DuPont asal AS, merilis Global Food Security Index (GFSI) untuk memberi peringkat dan menilai tingkat ketahanan pangan di 105 negara.

GFSI 2012 mengadaptasi dimensi-dimensi konsep ketahanan pangan dari FAO menjadi tiga kategori penilaian utama, yakni keterjangkauan dan akses finansial, ketersediaan, serta pemanfaatan (selanjutnya disebut kualitas dan keamanan makanan). Data yang diolah berasal dari Bank Dunia, badan-badan PBB termasuk FAO, WHO sampai IMF. Tujuan GFSI adalah melengkapi riset-riset ketahanan pangan yang sudah ada, seperti laporan State of Food Insecurity in the World dari FAO, Global Hunger Index oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan Food Security Risk Index dari kantor analis risiko Maplecroft. Dengan menganalisis faktor-faktor input atau pendorong ketahanan pangan, GFSI ingin ikut berkontribusi memupuk dialog tentang solusi praktis dan reformasi kebijakan dalam rangka mengatasi kerentanan pangan di berbagai negara.

Sejak 2017, kategori GFSI bertambah satu lagi, yaitu sumber daya alam berikut ketahanannya. Tujuannya untuk melihat sejauh mana suatu negara mampu menyesuaikan diri dengan risiko-risiko perubahan iklim yang berdampak pada sumber alam dan ketahanan pangan. Selain itu, mulai 2018, sponsor GFSI digantikan oleh Corteva Agriscience, perusahaan pecahan dari DowDuPont yang berkecimpung pada sektor pertanian kimia dan benih.

GFSI 2020 baru saja dirilis. Dari 113 negara, tingkat ketahanan pangan Indonesia secara keseluruhan berada di peringkat ke-65 dengan skor 59,5 poin. Sebelumnya, posisi Indonesia bertengger pada peringkat 62 (2019), 65 (2018), dan 69 (2017).

Pada 2020, negara-negara ASEAN lain yang posisinya di atas Indonesia meliputi Vietnam (ranking ke-63), Thailand (51), Malaysia (43), dan Singapura (19). Peringkat teratas diduduki Finlandia dan Irlandia.

Pencapaian terbaik Indonesia ditemukan pada kategori ketersediaan, yaitu peringkat ke-34 (sama dengan Rusia). Persis di atas mereka ada Swedia dan Norwegia, sementara di bawahnya ada Bangladesh dan India. Dalam kategoriini, indikator yang dipertimbangkan di antaranya meliputi kecukupan stok pangan, infrastruktur pertanian, volatilitas hasil tani.

Sementara itu, Indonesia diganjar peringkat ke-55 pada kategori keterjangkauan (meliputi indikator rata-rata harga pangan, proporsi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, sampai akses terhadap pasar dan layanan keuangan pertanian) dan peringkat ke-89 pada kategori kualitas dan keamanan bahan makanan. Pada kategori sumber daya alam dan ketahanannya, Indonesia masuk ranking ke-109, lima besar peringkat terendah. Ketahanan pangan di Indonesia dinilai sangat rentan apabila sektor pertaniannya terdampak perubahan iklim (kenaikan suhu udara dan level air laut, kekeringan, banjir, badai). Selain itu, kerentanan pangan juga dipengaruhi oleh indikator kualitas dan cadangan air, degradasi lahan, sampai strategi mitigasi bencana pemerintah.

Merangkum pencapaian Indonesia dalam GFSI 2020, tidak bisa dipungkiri bahwa negara kita berjaya dengan ketersediaan bahan pangannya. Artinya, strategi pangan dan sektor pertanian nasional dinilai punya kapasitas cukup untuk menyediakan pasokan makanan buat 270 juta jiwa rakyat. Namun demikian, ketersediaan bahan pangan belum dibarengi dengan daya jangkau, karena mungkin masih terhambat oleh harga bahan makanan dan tingkat kemiskinan, yang dikabarkan meningkat jadi 10,19 persen pada akhir 2020. Pada waktu bersamaan, meskipun stok pangan tercukupi, kualitas dan keamanannya tergolong rendah. Pasokan pangan Indonesia dinilai pula sangat rentan karena bencana alam dan dampak dari perubahan iklim.

Strategi Ketahanan Pangan di Indonesia

Pada era Soeharto, ketahanan pangan diasosiasikan dengan swasembada beras, suatu prestasi yang sempat dirayakan oleh FAO pada 1985. Melansir ulasan Tirto berjudul “Swasembada Beras ala Soeharto: Rapuh dan Cuma Fatamorgana” (2018), Indonesia berhasil memproduksi 27 juta ton beras pada 1984, sementara konsumsi nasional tahun itu tak sampai 25 juta ton.

Masih dilansir dari sumber yang sama, pada zaman Orba, ketahanan pangan dimaknai sebatas pada stabilitas harga beras. Selama harganya terjangkau, ketahanan pangan nasional dinilai aman. Namun demikian, stabilitas harga beras gagal mendorong pemerataan. Swasembada juga hanya mampu bertahan 5 tahun saja. Sepanjang dekade 1990-an, Indonesia kembali mengimpor beras dalam jumlah besar, berkisar 3-6 juta ton per tahun. Pada abad ke-21, Indonesia masih impor beras meski volumenya tidak setinggi di masa lalu.

Sampai sekarang, self-sufficiency (swasembada, kemampuan mencukupi kebutuhan sendiri) memang erat kaitannya dengan strategi ketahanan pangan di Indonesia. Apabila pada zaman dulu fokus pemerintah adalah swasembada beras dan kestabilan harganya, semangat yang sama digaungkan kembali hari ini dalam program food estate alias lumbung pangan: konsep pengembangan pangan terintegrasi meliputi sektor pertanian, perkebunan sampai peternakan.

Dikutip dari situs resmi pemerintah, program food estate diharapkan “dapat meningkatkan nilai tambah produksi sektor pertanian lokal, meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian hingga 34.4 persen, harga pangan lebih murah dengan produksi yang melimpah, dan terbukanya potensi ekspor pangan ke negara lain”. Sekarang, proyek lumbung pangan sedang digencarkan di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur, meliputi pertanian padi, jagung, sampai bawang.

Di balik usaha keras pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional, strategi self-sufficiency demikian sebenarnya tidak sama dengan ketahanan pangan. Ditegaskan oleh Asian Development Bank (ADB) dalam laporan berjudul “At a Glance Food Insecurity in Asia: Why Institutions Matter”, mengejar self-sufficiency yang tinggi merupakan suatu cara untuk mencapai ketahanan pangan lebih baik.

Di samping self-sufficiency, ADB menyorot pentingnya juga meningkatkan kualitas pemerintahan dan membuat kebijakan ekonomi yang lebih bagus di Indonesia dalam rangka mencapai ketahanan pangan tinggi. ADB mencontohkan Jepang dan Korea Selatan. Meskipun kedua negara tersebut memiliki self-sufficiency rendah, distribusi kekayaan ekonomi di sana lebih tinggi dan merata sehingga mereka bisa memiliki ketahanan pangan yang baik, papar ADB.

Infografik Ketahanan Pangan

Infografik Ketahanan Pangan. tirto.id/Quita

Yang Bisa Dipetik dari GFSI 2020

Mengacu pada penjelasan FAO dan Global Food Security Index (GFSI), ketahanan pangan punya sifat multidimensional yang kompleks. Ia tidak sekadar dimaknai sebagai ketersediaan pasokan makanan, seperti nampak dari strategi self-sufficiency yang sekarang tengah diusung dalam proyek food estate pemerintah Indonesia. Menilik lagi temuan GSFI 2020, Indonesia sebenarnya sudah memiliki skor dan ranking yang bagus untuk kategori ketersediaan pangan (peringkat 34 dari 113).

Ada hal-hal lain yang harus diperhatikan pemerintah agar ketahanan pangan nasional bisa lebih optimal, berkualitas dan punya daya keberlanjutan tinggi. Misalnya, GFSI menyoroti bahwa Indonesia belum punya strategi yang matang untuk menghadapi risiko-risiko dari fenomena bencana alam ataupun dampak perubahan iklim. Padahal, risiko tersebut mengancam keberlangsungan sektor pertanian dan sumber daya alam.

Masih diambil dari temuan GFSI, tingkat keterjangkauan pangan serta kualitas dan keamanan makanan di Indonesia masih bertengger pada peringkat tengah bawah. Pada waktu yang sama, prestasi Indonesia jeblok dalam Food Sustainability Index yang diselenggarakan oleh tim riset Economist EIU dan Barilla Center for Food & Nutrition. Food Sustainability Index bertujuan mengukur keberlangsungan sistem pangan di 67 negara berdasarkan tiga kategori, yaitu limbah dan buangan makanan, keberlanjutan pertanian, serta tantangan gizi.

Seperti sudah diulas Tirto, Food Sustainability Index Indonesia 2018 sangat memprihatinkan. Indonesia berada pada peringkat ke-60, jauh tertinggal dari Etiopia (27) dan Zimbabwe (31).

Sebagaimana disampaikan sejumlah ahli kepada Tirto, alasan di balik jebloknya tingkat keberlangsungan sistem pangan Indonesia bisa dikaitkan dengan rendahnya kemampuan ekonomi rakyat ketika terjadi krisis dan penurunan pendapatan. Daya beli rendah ini ikut mendorong rendahnya kualitas atau keamanan makanan, sehingga orang cenderung akan mengonsumsi makanan apapun walaupun nutrisinya rendah. Selain itu, tata kelola limbah makanan di Indonesia juga dinilai masih buruk. Terkait keberlangsungan pertanian, terdapat dugaan bahwa minat bertani mulai menurun, seiring tingginya potensi alih fungsi lahan dan masalah ketergantungan impor pada produk makanan tertentu.

Temuan GFSI 2020 dan Food Sustainability Index 2018 di atas mempertegas bahwa ketahanan pangan perlu disokong oleh usaha-usaha selain peningkatan hasil tani. Kampanye melek gizi, program pengentasan kemiskinan, dan kebijakan untuk menghadapi dampak perubahan iklim juga menjadi poin-poin penting dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional yang lebih baik.

Baca juga artikel terkait KETAHANAN PANGAN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Humaniora
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf