tirto.id - Pengalaman seorang berlatih puasa sejak dini dan kebiasaan unik di bulan Ramadan sebagian bisa menjadi memori yang membekas hingga dewasa. Pengalaman-pengalaman ini pula dirasakan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PKB Abdul Kadir Karding.
“Saya mulai berpuasa sebelum masuk Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD),” kata Karding kepada Tirto, Sabtu (11/6/2017).
Seperti kebanyakan anak-anak Muslim lain yang baru belajar berpuasa, Karding mengaku hanya mampu menahan lapar dan haus hingga siang hari. Setelah mulai terbiasa barulah ia coba meningkat durasi berpuasa dari subuh hingga maghrib. Hasilnya? “Waktu itu saya lemas dan tidak bisa bangun,” kenang Karding.
Untungnya saat itu di rumah orang tuanya tengah mengadakan acara buka puasa bersama dengan seluruh keluarga besar. Sebagian saudara coba memberinya semangat agar terus berpuasa hingga azan maghrib. “Untung ada mereka menyemangati jadi saya bisa lanjut [puasa] sampai berbuka di tengah godaan makanan enak-enak,” ujar pria yang lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, 25 Maret 1973.
Sang ibu, Hj Nurjannah dan ayah H. Karding yang berprofesi sebagai pedagang. Karding tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Kebanyakan keluarga dekatnya berprofesi sebagai ustaz. Karding mengatakan dirinya kerap diminta oleh orang tua atau para saudaranya mengumandangkan azan dan menabuh bedug saat waktu shalat tiba. Kebetulan saat itu rumah neneknya berdekatan dengan masjid. Dari sini lah kesadaran berpuasa bertumbuh di jiwa Karding.
“Tidak sedikit keluarga dekat kami adalah ustaz kampung. Jadi lingkungan mendorong kita dibuat malu kalau tidak puasa,” katanya.
Namun hal yang paling disukai Karding saat Ramadan tiba adalah membangunkan orang sahur sambil keliling kampung bersama teman-temannya. Anak-anak bisa menciptakan keriuhan sesuka hati yang tak mungkin didapat pada bulan lain. Pengalaman yang juga dialami oleh anak-anak pada umumnya.
“Dibiarkan keliling kampung untuk bangunkan sahur dengan alat sederhana seperti botol dan belanga yang ditabuh. Kadang kami jalan kaki dan kadang juga pakai gerobak,” katanya.
Saat hari mulai petang, Karding senang menghabiskan waktu dengan bermain bersama teman-temannya. Mereka biasanya bermain kelereng, karet, atau petak umpet. Menurut Karding, anak-anak di kampungnya saat itu belum mengenal video game atau apalagi online.
Sehingga permainan yang dimainkan tidak hanya menyehatkan tapi juga membangun ikatan keakraban. Ada pun saat berbuka puasa dia paling suka dengan hidangan pisang goreng.
“Saya paling hobi pisang goreng. Menu wajib,” ujarnya tertawa.
Baginya pengalaman beribadah selama ramadan di massa kecil selalu memberikan warna yang berbeda. Dahulu, orang lebih gampang berkumpul bersama keluarga saat waktu buka puasa, sahur. Orang juga lebih bersemangat melaksanakan shalat tarawih dan shalat subuh berjamaah di masjid. Hal-hal ini menurutnya menciptakan kehangatan yang ingin diulang kembali di saat ini.
“Suasana buka bersama, suasana tarawih dan suasana shalat subuh berjamaah biasanya pulang jalan kaki sambil mengobrol dengan teman dan keluarga menikmati keindahan kampung,” kenangnya.
Pengalaman menjalani puasa di kampung turut berpengaruh terhadap dirinya dalam menanamkan nilai agama di keluarga. Ia mengatakan selalu berupaya melaksanakan shalat tarawih berjamaah bersama istri dan anak-anaknya di rumah. Hal ini baginya tidak saja penting untuk menjaga kebersamaan namun juga untuk melestarikan tradisi ibadah di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).
“Alhamdulillah saya juga mengupayakan jadi imam tarawih paling tidak jaga kebersamaan dan mendidik anak. Termasuk membiasakan mereka tarawih 20 rakaat dan sesuai tradisi kami di NU,” katanya.
Bagi Karding puasa merupakan momentum bagi dirinya untuk belajar dan meningkatkan kualitas diri. Di sepanjang Ramadan, ia lebih banyak merenung tentang beragam hal yang telah dilakukan untuk keluarga dan masyarakat. Dari situ ia merasa berkah puasa untuk meningkatkan kualitas diri terasa lebih bermakna.
Ketua Fraksi PKB MPR RI ini percaya puasa dapat memberi dampak positif bagi kehidupan masyarakat. Esensi dari puasa bukanlah sekadar menahan lapar dan haus, tapi bagaimana seseorang mengendalikan diri dan hawa nafsunya secara seksama.
“Semoga puasa berdampak bagi kebersamaan, kemampuan menahan diri, kemauan menyebarkan kebaikan di media sosial, serta meningkatkan peduli kepada masyarakat yang duafa dan yatim,” katanya.