Menuju konten utama

Kemampuan van de Beek & Pressing Jadi Kekuatan Ajax Lawan Juventus

Ajax pernah kalah dari Juventus pada final Liga Champions 1995-1996. Setelah 23 tahun, Ajax punya kesempatan balas dendam musim ini.

Kemampuan van de Beek & Pressing Jadi Kekuatan Ajax Lawan Juventus
Ilustrasi Ajax Amsterdam. FOTO/REUTERS

tirto.id - Pada pertengahan tahun 90-an lalu, Ajax Amsterdam pernah menjadi salah satu tim yang memiliki kekuatan utama dalam sepakbola Eropa. Bahkan saking hebatnya Ajax, mereka pernah berpeluang besar menjadi tim pertama yang berhasil membawa pulang tropi Liga Champions Eropa dalam dua edisi secara berurutan. Namun, Ajax gagal melakukannya.

Setelah berhasil memenangi gelar Liga Champions 1994-1995, mereka kalah adu penalti dari Juventus di laga final Liga Champions 1995-1996. Dan setelah kekalahan itu, kehebatan Ajax bahkan menguap di udara: mereka tak pernah lagi mampu berbicara banyak dalam gelaran Liga Champions Eropa.

Sekitar 23 tahun setelah kejadian itu, Ajax lantas mencoba mengingatkan kepada orang-orang bahwa mereka sebetulnya masih patut diperhitungkan dalam gelaran Liga Champions Eropa. Tergabung di Grup E bersama Bayern Munchen, Benfica, dan AEK Athens, tim besutan Erik ten Hag itu berhasil lolos ke babak 16 besar tanpa tersentuh kekalahan.

Kemudian, datanglah penampilan luar biasa pada babak 16 besar: menghadapi sang juara bertahan Real Madrid, Ajax unggul agregat 5-3. Tak main-main, dalam pertandingan leg kedua di Santiago Bernabeu, Matthijs de Ligt dan kawan-kawan mampu mempermalukan Real Madrid dengan skor 1-4.

Penampilan Ajax dalam pertandingan itu pun mendapatkan pujian dari banyak orang. Jonathan Wilson, analis sepakbola Inggris, bahkan berani menyebut bahwa "penampilan Ajax di Bernabeu adalah penampilan terbaik mereka sejak era Louis van Gaal pada pertengahan tahun 90-an silam."

Meski begitu, untuk kembali menjadi salah satu kekuatan besar di Eropa, Ajax jelas masih perlu pembuktian lebih. Maka saat mereka akan 'adu pukul' dengan Juventus pada babak perempat-final, Juventus yang pernah mengalahkan mereka pada pertandingan final Liga Champions tahun 1996, jelas bisa menjadi tantangan yang sangat dahsyat.

Dan, tantangan itu akan dimulai saat Ajax akan menjamu Juventus di Amsterdam Arena, Amsterdam, pada Kamis (11/4/2019) dini hari nanti.

Tetap Bermain Agresif

Menurut catatan Whoscored, di antara kontestan babak perempat-final Liga Champions lainnya, Ajax ialah tim paling agresif. Berani menerapkan pressing saat bertahan, mereka rata-rata melakukan 20,1 kali di dalam setiap pertandingan. Meski begitu, pressing yang mereka lakukan ternyata tak membuat organisasi pertahanan mereka bolong-bolong: pemain-pemain Ajax rata-rata melakukan 13,8 intercept di dalam setiap pertandingan, terbanyak di antara kontestan babak perempat-final lainnya.

Untuk mengalahkan Juventus, Ajax tentu dapat kembali menerapkan cara tersebut, terlebih Juventus seringkali kesulitan saat menghadapi tim yang bermain secara agresif. Setidaknya, kekalahan Juventus dari Atletico Madrid pada pertandingan leg pertama babak 16 besar bisa contoh.

Kala itu, pemain-pemain Atletico memang bertahan dengan garis pertahanan rendah. Namun, saat pemain-pemain Juventus menguasai bola, mereka akan mulai mem-pressing secara lateral (memaksa Juventus menyerang dari sisi lapangan). Karena pemain-pemain sayap Juventus tak mendapatkan dukungan dari dua full-back Juventus, Mattia de Sciglio dan Alex Sandro, pressing itu pun membuat Juventus tak berkembang. Alhasil: Juventus hanya mampu melakukan 2 kali tembakan tepat sasaran di sepanjang pertandingan.

Sayangnya, Atletico kemudian memilih bertahan secara pasif pada pertandingan kedua. Mereka lantas kalah dan Ajax Amsterdam jelas tak boleh mengulangi kesalahan anak asuh Diego Simeone tersebut.

Memaksimalkan Peran Donny van de Beek

"Mengalahkan Real Madrid [di Santiago Bernabeu] adalah pertandingan terbaik di sepanjang hidupku."

Dusan Tadic, penyerang tengah Ajax, berkata seperti itu setelah Ajax mengalahkan Real Madrid 1-4 di Santiago Bernabeu. Melihat bagaimana tingkah polahnya di sepanjang pertandingan, pernyataan mantan pemain Southampton tersebut tentu benar belaka: ia menjadi bintang pertandingan, mencetak 1 gol dan mencatatkan 2 assist.

Namun, Tadic yang saat itu bermain sebagai false nine, jelas tidak mampu tampil seperti itu tanpa bantuan Donny van de Beek, yang bermain di posisi nomor 10 dalam formasi 4-2-3-1 yang diterapkan Ajax. Dan saat Juventus besar kemungkinan akan mengawasi gerak-gerik Tadic dalam pertandingan nanti, Ajax bisa memaksimalkan peran van de Beek untuk mengacaukan pertahanan Si Nyonya Tua.

Menurut Cheuk Hei Ho, analis sepakbola dari situs Tactics Platform, Donny van de Beek bukanlah tipe pemain nomor 10 biasa. Daripada menjadi pusat permainan, ia justru sering menjadi fasilisator bagi Tadic: saat Tadic turun jauh ke belakang untuk menjemput bola, van de Beek akan maju ke depan mengisi ruang yang ditinggalkan Tadic.

Dari sana, karena pergerakan yang dilakukan Tadic dan van de Beek, Ajax kemudian sering terlihat bermain tanpa pemain nomor 10 dan penyerang depan. Alhasil, lawan-lawan mereka seringkali terlihat bingung dalam bertahan.

Yang menarik, jika pertahanan Juventus benar-benar fokus terhadap pergerakan yang dilakukan Dusan Tadic, Ajax bisa berharap lebih terhadap van de Beek. Meski ia bukan pemain nomor 10 murni, kemampuannya dalam menciptakan peluang tak bisa dianggap remeh; di Eredivise sejauh ini, ia sudah mencatatkan 8 assist dan rata-rata mencatatkan 1,2 kali umpan kunci di dalam setiap pertandingan. Itu artinya, ia juga bisa menjadi kreator utama serangan Ajax.

Saat memainkan van der Beek sebagai kreator utama serangan, Ajax bisa mendapatkan keuntungan tambahan; Juventus kemungkinan besar akan memainkan Miralem Pjanic di pos gelandang bertahan. Daripada berperan sebagai pelindung pertahanan, Pjanic jelas lebih terampil dalam mengatur tempo permainan.

Baca juga artikel terkait LIGA CHAMPIONS atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Mufti Sholih