tirto.id - Kelompok Abu Sayyaf (ASG) yang beroperasi di Filipina Selatan dikenal sebagai organisasi garis keras yang kerap melakukan penyanderaan untuk mendapatkan pendanaan. Kelompok ini kerap melakukan aksi penculikan kemudian meminta uang tebusan pada negara yang warga negaranya diculik.
Australian National Security melansir penculikan menjadi merk dagang sejak pertama kali organisasi ini dibentuk. Selain mengandalkan dana dari melakukan penculikan dan penyenderaan, ASG juga menerima dana dari organisasi teroris global.
Situs nationalsecurity.gov.au melansir, ASG dikaitkan dengan oraganisasi teroris lainnya, terutama Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI). Sejak terdaftar menjadi oraganisasi teroris pada 29 Oktober 2010, ASG telah memberikan perlindungan bagi jihadis asing tersebut. ASG juga mempertahankan hubungan operasional dan logistik dengan jaringan lain yang berbasis di Filipina yang secara aktif terlibat dalam kegiatan teroris, seperti Front Pembebasan Islam Moro dan Front Pembebasan Nasional Moro.
Selama beberapa tahun belakangan ini, setidaknya ASG telah bertanggung jawab dalam perencanaan dan pelaksanaan serangan teroris serta penculikan terhadap berbagai target, termasuk pasukan keamanan Filipina dan kepentingan asing, di Mindanao Barat, Kepulauan Sulu, dan Sabah.
Selain itu, ASG juga telah dikaitkan dengan berbagai penculikan di Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga City dan daerah lainnya di Mindanao Barat. Barat (Amerika dan Eropa, red) dan warga negara asing kaya lainnya, politisi lokal, orang-orang bisnis, dan warga sipil menjadi sasaran penculikan. Aksi penculikan atau penyanderaan ini dikaitkan dengan ASG sejak masuk list Pemerintah Australia sebagai organisasi teroris pada 29 Oktober 2010.
Seperti diberitakan, kelompok garis keras Abu Sayyaf di Filipina Selatan telah menculik 10 awak kapal tunda asal Indonesia pada akhir pekan lalu, kata pejabat di Manila, Senin (28/3/2016). Kantor Berita Antara, Selasa (29/3/2016) melaporkan, dua pejabat militer Filipina menyatakan kelompok garis keras itu menuntut sejumlah uang tebusan, dengan jumlah yang masih dirahasiakan oleh pemilik perahu. Pejabat itu juga menolak disebutkan namanya karena tidak berwenang berbicara kepada media.
Untuk diketahui kesepuluh orang itu mengawaki kapal tunda Taiwan milik swasta dalam perjalanan dari Jakarta ke Manila ketika dibajak di dekat perbatasan Malaysia. Para awak kapal itu berhasil menghubungi majikan mereka untuk memberitahu bahwa mereka dibajak, tapi tempat tepat pembajakan itu belum diketahui.
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso membenarkan jika kapal Indonesia Brahma 12 dibajak kelompok Abu Sayyaf di perairan Filipina setidaknya ada 10 WNI ditawan kelompok tersebut.
Menurut Sutiyoso, seperti dilansir Antara, Selasa (29/3/2016), setidaknya kelompok Abu Sayyaf meminta uang tebusan ke Pemerintah Indonesia sebesar 50 juta peso atau setara Rp15 miliar untuk menebus 10 WNI tersebut yang disandera. Menurut dia, BIN akan berkoordinasi lebih dahulu dengan Kementerian Luar Negeri, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait uang tebusan tersebut.