Menuju konten utama

Kata Koalisi Masyarakat Sipil atas Penjemputan Fatia & Haris Azhar

Rivanlee sebut proses hukum yang dijalankan polisi harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan prinsip HAM yang berlaku secara universal.

Kata Koalisi Masyarakat Sipil atas Penjemputan Fatia & Haris Azhar
Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar berjalan keluar Gedung Ditreskrimum usai memenuhi undangan mediasi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (21/10/2021). ANTARA FOTO/Reno Esnir/wsj.

tirto.id - Sekitar pukul 07.45 WIB, Selasa (18/1/2022), kediaman Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti didatangi oleh lima polisi. Pun dengan tempat tinggal Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar, yang disambangi oleh empat polisi.

Kedatangan mereka untuk menjemput keduanya agar memberikan keterangan dalam kasus dugaan pencemaran nama baik dan fitnah yang diadukan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.

“Atas kedatangan kepolisian, Fatia dan Haris menolak untuk dibawa tanpa didampingi oleh pihak kuasa hukum dan mereka memilih untuk datang sendiri ke Polda Metro Jaya siang ini, pukul 11.00,” kata Wakil Koordinator II Kontras Rivanlee Anandar, Selasa (18/1/2022).

Pada perkara ini, Fatia dan Haris telah berniat kooperatif menunaikan panggilan kepolisian. Beberapa kali mereka melalui kuasa hukumnya mengirimkan surat permohonan penundaan pemeriksaan dikarenakan berhalangan hadir pada waktu yang telah ditentukan. Tapi penyidik tidak merespons permintaan tersebut.

Rivanlee menyatakan proses hukum yang dijalankan polisi harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal. Pemanggilan dan proses hukum terhadap Fatia dan Haris terkesan dipaksakan dan terburu-buru.

“Jika dibandingkan dengan banyak kasus lainnya, kepolisian kerap menunda laporan masyarakat sehingga membuat kasus tersebut mangkrak. Bahkan tak jarang kepolisian menolak laporan sehingga memicu tagar #PercumaLaporPolisi,” sambung dia.

Sementara dalam kasus Fatia dan Haris, polisi begitu cepat memproses dan menindaklanjuti laporan Luhut. Hal ini mencerminkan dugaan konflik kepentingan terhadap kasus yang melibatkan pejabat publik. Kedatangan polisi ke kediaman dua aktivis HAM itu menunjukkan Korps Bhayangkara dijadikan alat negara untuk menakuti masyarakat yang mengkritik pemerintah atau pejabat publik atas kebijakan yang dikeluarkan.

Situasi ini dianggap semakin memperparah kondisi demokrasi dan ruang kebebasan sipil di Indonesia. Terlebih dalam kasus Fatia dan Haris, upaya kriminalisasi ditujukan kepada ekspresi, kritik dan riset yang dilakukan masyarakat sipil sebagai bagian dari pengawasan publik. Polisi pun merespons isu penjemputan paksa ini.

“Untuk kepentingan penyidikan, saksi HA dan FA dua kali tidak hadir dengan alasan yang tidak patut dan wajar. Sesuai mekanisme KUHAP, penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya membawa surat perintah untuk membawa dan menghadirkan saksi,” ujar Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Auliansyah Lubis.

Haris dan Fatia dua kali tidak hadir pada pemeriksaan sebagai saksi yang mestinya berlangsung pada 23 Desember 2021 dan 6 Januari 2022. Mereka mengajukan surat permohonan berhalangan tidak memenuhi panggilan penyidik. Tapi kata Auliansyah, pemanggilan pada 6 Januari sudah disesuaikan dengan jadwal dan waktu yang ditentukan para saksi.

Kemudian mereka mengajukan lagi surat permohonan pemeriksaan pada 7 Februari 2022, kali ini dengan alasan tidak dapat meninggalkan pekerjaan. “Penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya telah melakukan tindakan persuasif dan dialog kepada keduanya. Disepakati, saksi HA dan FA akan hadir ke Polda Metro Jaya hari ini, pukul 11.00, sehingga penyidik tidak membawa paksa keduanya,” imbuh Auliansyah.

Baca juga artikel terkait KASUS HARIS AZHAR atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz