tirto.id - Ada yang spesial dari cara bertutur film horor Jepang. Alih-alih membangkitkan kengerian melalui bantuan visual efek, horor Jepang cenderung bermain kesan untuk membangun rasa takut. Seri Ju-On buatan sineas Takashi Shimizu yang mengudara sejak tahun 2000 adalah salah satu contohnya.
Pertama kali dirilis pada tahun 2002, Ju-On: The Grudge langsung diakui keistimewaannya di antara horor Jepang klasik lainnya. Kisahnya berputar di sekitar kutukan hantu Kayako Saeki dan putranya Toshio yang terbunuh akibat ulah suami yang mengamuk. Dendam Kayako yang termanifestasi ke dalam bentuk rumah kemudian menghantui penghuni-penghuni lainnya dan menghasilkan rantai tragedi berpola serupa.
Setelah berulang kali diadaptasi, maha karya Shimizu kembali diangkat ke layar kaca dengan judul Ju-On: Origins. Tayang perdana di saluran streaming Netflix, sidequel dari seri aslinya ini menuai beragam kritik karena dianggap sengaja mempertontonkan adegan pemerkosaan, kekerasan terhadap anak-anak, hingga pertunjukan yang berdarah-barah berupa pembedahan perut perempuan hamil. Nampaknya, para sineas yang bertugas merakit bahasa visual kali ini tidak sudi menahan diri.
Ju-On: Origins mengikuti perjalanan penyelidik peristiwa paranormal bernama Yasuo Odajima (Yoshiyoshi Arakawa) dalam menguak misteri rumah berhantu di Tokyo. Demi keberhasilan risetnya, Yasuo berusaha mengorek informasi dari Haruka Honjo (Yuina Kuroshima), seorang aktris pemula yang baru saja mengalami serangkaian gangguan gaib di apartemennya.
Belakangan baru diketahui gangguan berupa penampakan perempuan berbaju putih dan langkah kaki di malam hari hanya mengikuti pacar Haruka yang bernama Tetsuya Fukazawa (Kai Inowaki). Sebelumnya, Tetsuya diam-diam ingin membeli rumah sebagai bekal jika kelak menikah dengan Haruka. Tanpa sepengetahuan Tetsuya, agen properti malah membawanya ke sebuah rumah tua bekas lokasi pembunuhan seorang perempuan hamil.
Mengikuti gaya bertutur Takashi Shimizu, Ju-On: Origins dibawakan dengan alur cerita non-linear. Di dalamnya terkandung kisah dari beragam tokoh yang dibawakan berselang-seling dari tahun 1988 sampai 1990-an. Kendati pada awalnya membingungkan, keragaman sudut pandang itu saling berkaitan dan mengerucut ke titik yang sama: misteri rumah berhantu.
Momok itu Bernama Kekerasan Domestik
Selain investigasi yang dilakukan Yasuo, penonton juga disuguhi kisah tragis remaja perempuan bernama Kiyomi Kawai (Ririka). Kiyomi berasal dari keluarga broken home. Ayah Kiyomi tidak jelas keberadaannya, sementara ibunya suka berselingkuh. Di hari pertamanya bersekolah, dia diperkosa oleh pemuda bernama Yudai Katsuragi (Koki Osamura) di dalam rumah kosong yang sebelumnya dikunjungi Tetsuya.
Melalui tokoh Kiyomi, premis tentang gangguan supernatural terhadap kejiwaan manusia pun semakin jelas. Usai melihat penampakan hantu perempuan berbaju putih dari dalam lemari dinding, sifat Kiyomi berubah drastis. Dia bahkan berani membunuh ibunya lalu kawin lari bersama pemuda yang memperkosanya. Namun, hubungan Kiyomi dan Yudai malah menghasilkan keluarga disfungsional baru alih-alih berakhir bahagia.
Kekerasan yang menghantui perempuan pada akhirnya merugikan anak-anak dan menjebak laki-laki ke dalam pusaran amarah yang tidak ada habisnya. Ju-On: Origins dengan konsisten mengeksploitasi tema siklus kekerasan dalam rumah tangga dengan jalan menampilkan tokoh-tokoh yang silih berganti tinggal atau memasuki rumah terkutuk. Layaknya peristiwa yang menimpa Kiyomi, kemalangan itu lantas diwariskan kepada anak-anak mereka.
Adaptasi teranyar dari seri Ju-On ini terang-terangan membeberkan ketakutan masyarakat akan siklus penindasan dan kekerasan domestik yang disebabkan gangguan kejiwaan. Lupakan penampakan hantu yang tiba-tiba muncul dari balik daun pintu atau gangguan poltergeist. Segala macam klise yang bertebaran dalam film horor kebanyakan tidak akan dijumpai dalam Ju-On: Origins.
Ju-On: Origins menunjukkan sosok paling mengerikan adalah manusia sendiri.
Terkait kegelisahan sosial yang menggangu kejiwaan, sutradara Sho Miyake berkolaborasi dengan penulis naskah Hiroshi Takahashi; keduanya secara cerdik menggunakan beberapa trik yang membuat Ju-On: Origins terlihat menonjol di antara adaptasi Ju-On lainnya. Pertama, Miyake dengan percaya diri menyebut film ini sebagai “kisah nyata”. Plot dan karakter yang seluruhnya fiksi dikombinasikan dengan cita rasa historis dengan jalan menyisipkan reportase peristiwa-peristiwa besar seperti Chernobyl, serangan gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo, dan pembunuhan Junko Furuta yang sempat menghebohkan Jepang.
Keputusan memilih Jepang di pengujung 1980-an sampai awal 1990-an sebagai latar cerita pun punya peran besar membangun kedekatan realitas. Usai lepas dari periode economic boom, Jepang sempat melangkah ke dalam masa-masa suram yang dikenal dengan sebutan Lost Decade. Memasuki tahun 1990-an, pasar saham Jepang anjlok dan harga properti meluncur jatuh. Akibat pendapatan yang stagnan, semakin banyak orang gelisah akan masa depan mereka.
Kasus pelecehan terhadap perempuan dan anak-anak sempat menjadi topik utama sepanjang dekade 1990-an. Sayangnya, semakin banyak pula perempuan Jepang yang memilih bungkam karena tidak tahan dengan rasa malu. Sikap demikian tercermin dari sikap tokoh Kiyomi yang bersikukuh menolak bantuan balai perlindungan anak kendati menyadari anaknya, Toshiki (Atsuki Yamada), dipukuli orang yang seharusnya menjadi figur bapak hingga cacat permanen.
Premis-premis Ju-On: Origins dibangun di atas rantai kegelisahan akan kekerasan yang berujung pada penurunan tingkat populasi anak-anak. Rasa takut itu direpresentasikan ke dalam adegan ketika seorang istri yang tengah hamil tua dibunuh oleh suaminya sendiri karena ketahuan berselingkuh. Dalam keadaan kacau pun sang suami masih sempat berpikiran membuka perut istrinya demi menyelamatkan si jabang bayi.
Tidakkah dunia sosial selalu lebih menakutkan ketimbang kisah-kisah demit?
Editor: Windu Jusuf