Menuju konten utama

Jokowi Mau Kunjungi Papua, Bagaimana soal Keamanan?

Jokowi berencana mengunjungi Papua pada awal September mendatang. Jika kunjungan itu benar terjadi, berarti Jokowi mendatangi Papua tak lama usai situasi di sana memanas. 

Jokowi Mau Kunjungi Papua, Bagaimana soal Keamanan?
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan kepada awak media di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (22/8/2019). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/pd

tirto.id - Presiden Joko Widodo dikabarkan berencana mengunjungi Papua pada awal September mendatang untuk meresmikan jembatan Holtekamp di Jayapura.

Apabila kunjungan itu benar terealisasi, berarti Jokowi mendatangi Papua tidak lama setelah situasi di daerah itu memanas.

Selama sepekan belakangan gelombang aksi massa memprotes persekusi dan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya merebak. Aksi massa juga memicu kerusuhan di sejumlah kota di Papua dan Papua Barat.

Jokowi tercatat setidaknya 11 kali telah menyambangi Papua dan Papua Barat selama menjabat presiden. Akan tetapi, ia belum pernah mendatangi dua provinsi paling timur Indonesia itu saat situasi keamanan di sana memanas.

Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra menyatakan berkaitan dengan pengamanan, kepolisian akan menyesuaikan dengan kondisi setempat.

"Ya, pastinya nanti kami akan menyesuaikan. Saat ini di Papua Barat sudah dalam kondisi yang normal, masyarakat bisa beraktivitas," kata Asep di Mabes Polri, Jumat (23/8/2019).

Polri telah mengirim 12 Satuan Setingkat Kompi (SSK) atau 1.200 personel untuk bersiaga di Papua dan Papua Barat dan mengantisipasi jika kerusuhan kembali terjadi.

Sementara Kapuspen TNI, Mayjen TNI Sisriadi mengaku belum ada penambahan personel tentara di Papua dan Papua Barat.

"Belum ada. [Jika presiden jadi ke Papua], Kodam setempat yang akan mengamankan," kata dia ketika dihubungi Tirto, Jumat (23/8/2019).

Sisriadi enggan memberitahukan cara pengamanan TNI terhadap kedatangan orang nomor satu di Indonesia itu di Papua.

"Itu tidak bisa saya sampaikan, takut melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008," ujar dia.

Sedangkan Peneliti dari Human Rights Watch, Andreas Harsono menilai rencana Jokowi tersebut tidak berisiko meskipun belum ada presiden Indonesia yang mendatangi Papua ketika provinsi itu sedang dilanda gelombang demonstrasi dan kerusuhan.

"Tidak ada kebiasaan orang Papua untuk melukai siapa pun pemimpin yang datang. Tidak ada tradisi mempermalukan tamu," kata Andreas saat dihubungi Tirto, Jumat (23/8/2019).

Namun, Andreas menilai Jokowi melakukan kesalahan karena tidak mengecam lontaran kata-kata 'monyet' ke mahasiswa Papua di Surabaya.

Jokowi seharusnya tidak hanya meminta Polri menindak tegas pelaku pelontaran makian rasisme di asrama Papua di Surabaya, melainkan juga mengecam hinaan 'monyet'.

"Itu salahnya Jokowi. Dia harus mengecam kata monyet. Tidak ada satu pun pemimpin Indonesia yang mengecam kata monyet, mengecam rasialisme," ucap Andreas.

"Orang kulit hitam dibilang monyet, itu menyakitkan," imbuh dia.

Andreas menyarankan Jokowi meniru langkah Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang meminta maaf kepada korban peristiwa 1965.

"Dia dikecam oleh orang Indonesia, tapi kini orang ingat yang dia lakukan. Dia meminta maaf," ujar Andreas.

.

Baca juga artikel terkait RASISME PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom