tirto.id - Kepulauan Seribu, dari yang awalnya pulau-pulau terpencil kini menjelma tujuan wisata alternatif bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Pesona keindahan bawah laut mampu menarik wisatawan untuk menjajal snorkeling, maupun beragam permainan laut seperti banana boat, rolling donut, jet ski dan lainnya.
Para pengembang juga tak menyia-nyiakan peluang bisnis di Kepulauan Seribu. Dikutip dari situs resmi pemprov DKI Jakarta, beritajakarta.com, kini terdapat 322 unit homestay yang tersebar di berbagai pulau di dua kecamatan. Data Bank Indonesia Provinsi DKI menyatakan usaha homestay pada tahun 2014 di Kepulauan Seribu sudah mencapai 278 unit pada 2014. Jumlah ini meningkkat pada 2015 menjadi 322 unit.
Tak ayal, setiap jadwal liburan tiba, tempat ini dipenuhi wisatawan lokal maupun luar negeri. Kepadatan para wisatawan ini bahkan sudah dapat dilihat mulai dari Pelabuhan Muara Angke yang sering digunakan sebagai titik penyeberangan dari Jakarta ke pulau-pulau tujuan di Kepulauan Seribu.
Pada musim libur panjang akhir tahun 2016 saja, diperkirakan ada sekitar 10 ribu wisatawan berkunjung ke Kepulauan Seribu. Jika sudah begini, para wisatawan harus rela anti membeli tiket, berdesakan dalam kapal bersama penumpang lain atau bahkan kendaraan roda dua yang ikut ditumpangkan di atas kapal. Juga harus bersabar ketika mendapat posisi duduk yang kurang mengenakkan di dalam kapal, di dek bawah misalnya.
Dalam situasi seperti ini, para pelancong tentu harus terlebih dulu mencari tahu bagaimana kondisi transportasi beserta tempat yang akan dituju. Setidaknya, jika sudah mengenal kondisi transportasi dan tempat, maka Anda dapat meminimalisir kemungkinan-kemungkinan buruk saat berada dalam perjalanan.
Sebagai gambaran saja, biasanya, ketika lonjakan pelancong terjadi, kesulitan lainnya setelah antri tiket adalah wisatawan harus melakukan aksi ala “Benteng Takeshi”. Yakni melompati kapal per kapal untuk sampai pada kapal yang ditumpangi dari Muara Angke. Begitupun yang terjadi saat harus turun dari kapal.
Kondisi ini diperparah dengan menyempitnya jalanan pada kapal karena tumpangan beberapa motor yang ikut dikirimkan ke pulau, juga tidak disediakannya alat bantu menyebrang. Alhasil, beberapa penumpang seperti wanita, anak-anak, dan lansia harus sangat berhati-hati ketika melompat jika tak ingin nyemplung ke laut sebelum waktunya.
Kesulitan selanjutnya, menemukan tempat duduk yang nyaman. Saat musim liburan, kapal penyeberangan seakan berlomba memenuhi ruangan yang ada dengan penumpang. Tak perduli jumlah pelampung atau life jacket tak mencukupi, hal ini seringkali dijumpai pada kapal-kapal penyebrangan yang ada.
Misalnya, sepengalaman penulis sendiri, dalam kapal-kapal kayu yang digunakan untuk menyeberang, hanya terlihat beberapa life jacket dan pelampung tergantung di dinding kapal. Jauh sangat sedikit jumlahnya bila dibandingkan jumlah penumpang.
Lalu, kondisi apa yang harus diperhatikan wisatawan saat pergi melancong ke Kepulauan Seribu?
Pertama, adalah faktor cuaca, jika cuaca kurang bersahabat seperti langit gelap dan ombak tinggi, disarankan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Dalam kondisi seperti ini, biasanya kapal-kapal penumpang juga tidak diperbolehkan untuk berlayar karena terlalu riskan.
Jam-jam keberangkatan kapal juga perlu diperhatikan agar terhindar dari ombak tinggi, Antonius Tonny Budiono, Dirjen Perhubungan Laut kepada Tirto mengungkapkan, idealnya kapal berangkat berlayar sebelum pukul 4 sore.
“Jangan lebih dari 4 sore karena pandangannya jadi terbatas, cuaca juga harus calm tidak boleh ombak besar.”
Sebelum bisa berlayar, Antonius juga menegaskan, setiap kapal jenis apapun yang mengangkut lebih dari 12 orang sudah dapat dikualifikasikan sebagai kapal penumpang, sehingga wajib mendapat Surat Ijin Berlayar (SIB) sebelum keberangkatan. Prosedur kedua yang perlu diperhatikan penumpang adalah mempelajari kondisi kapal, misal posisi duduk mana yang dianggap aman dan cepat untuk melakukan evakuasi saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Pelajari juga alternatif pintu selain pintu keluar dan pintu masuk utama yang dapat dipakai sebagai jalan keluar di saat darurat. Untuk itu, penting bagi penumpang datang setidaknya setengah jam sebelum keberangkatan kapal dan memilih posisi yang sesuai. Sebab, jika Anda datang mepet pada jam keberangkatan, maka hanya posisi “sisa” yang akan ditempati, seperti di dek bawah, dekat tempat mesin yang panas dan kurang pergerakan udara.
Selanjutnya, jangan lupa memakai life jacket. Nah poin ini yang seringkali diabaikan penumpang maupun pengelola kapal. Tak sedikit, pengelola kapal yang mengabaikan ketersediaan life jacket yang jumlahnya lebih sedikit dari jumlah penumpang. Atau, terkadang, ketika life jacket tercukupi, para penumpang malah enggan menggunakannya.
“Idealnya, jumlah life jacket setara dengan jumlah penumpang, lebih banyak lebih baik. Ini memang kemarin-kemarin kurang sosialisasi tentang pentingnya pemakaian life jacket,” kata Antonius.
Penumpang juga perlu memperhatikan adanya bau seperti bensin atau solar sebelum memasuki kapal. Jika mencium bau-bau tersebut, diharap segera melapor ke ABK karena dikhawatirkan telah terjadi kebocoran. Benda-benda yang menyulut terperciknya api juga disarankan tak digunakan, seperti misalnya penggunaan korek atau konsumsi rokok di atas kapal, terutama saat material kapal yang ditumpangi terbuat dari kayu.
Jika musibah yang tak diinginkan terjadi, maka tetaplah berusaha tenang dan bertahan hidup di laut dengan cara memosisikan badan secara telentang agar tidak tenggelam, selagi menunggu bantuan datang. Usahakan berada jauh dari kapal yang ditumpangi untuk menghindari terseret arus kapal.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Zen RS