Menuju konten utama

Isi Fatwa MUI tentang Haji & Bahan Vaksin dari Sel Diploid Manusia

Sidang Komisi Fatwa dalam Munas MUI ke-10 menetapkan empat fatwa tentang haji dan satu fatwa mengenai bahan vaksin. 

Isi Fatwa MUI tentang Haji & Bahan Vaksin dari Sel Diploid Manusia
Logo MUI. FOTO/wikipedia

tirto.id - Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menlaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) ke-X pada pekan ini, yakni 25-27 November 2020. Munas di Hotel Sultan, Jakarta yang digelar daring serta luring itu menetapkan KH Miftachul Akhyar sebagai Ketua Umum MUI periode 2020-2025, atau pengganti Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang semula duduk di posisi tersebut.

Selain membentuk kepengurusan baru, Munas tersebut juga menjadi ajang bagi Komisi Fatwa MUI untuk membahas 5 fatwa baru. Empat fatwa terkait dengan ibadah haji yang merupakan pertanyaan dari Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) dan Kementerian Kesehatan.

Pimpinan Sidang Komisi C Munas X MUI 2020, KH Sholahuddin Al Aiyub, menjelaskan empat fatwa terkait haji itu terdiri dari: Fatwa Masker Bagi yang sedang Ihram; Fatwa Pendaftaran Haji saat Usia Dini; Fatwa Pembayaran Setoran Awal Haji dengan Utang dan Pembiayaan; serta Fatwa Penundaan Pendaftaran Haji bagi yang Sudah Mampu.

Sementara satu fatwa lainnya membahas soal penggunaan human diploid cell (sel diploid manusia) untuk bahan vaksin dan obat. Tema ini dibahas MUI karena human diploid cell merupakan bagian dari tubuh manusia.

Menurut Aiyub, Komisi Fatwa MUI semula mencatat ada 9 masalah. Namun, topik pembahasan lalu mengerucut menjadi lima setelah melalui diskusi dan pembobotan.

"Ada proses yang kemudian direspons, kemudian disaring, dan kemudian dilihat bobot masalahnya," kata Aiyub dikutip dari laman resmi MUI.

Sebagai contoh, masih mengutip penjelasan Aiyub, tata cara manasik haji pada masa pandemi virus corona (Covid-19) memunculkan pertanyaan, khususnya soal hukum menjalankan protokol kesehatan, yakni memakai masker yang penting dilakukan saat berada di kerumunan banyak jemaat. Pertanyaan muncul karena saat sedang berihram, hukum menutup wajah tidak diperbolehkan bagi jemaat haji.

Sidang Komisi Bidang Fatwa Munas MUI ke-10 telah menetapkan keputusan mengenai lima fatwa tersebut pada tanggal 26 November 2020.

Sesuai dengan keterangan tertulis dari Juru Bicara Sidang Komisi Bidang Fatwa Munas MUI ke-10, Asrorun Ni'am Sholeh, berikut ini isi ringkasan 5 fatwa tersebut.

I. Fatwa tentang Penggunaan Human Diploid Cell untuk Bahan Produksi Obat dan Vaksin

1. Pada dasarnya penggunaan sel yang berasal dari bagian tubuh manusia untuk bahan obat atau vaksin hukumnya haram, karena bagian tubuh manusia (juz’u al-insan) wajib dimuliakan;

2. Dalam hal terjadi kondisi kedaruratan (dharurah syar’iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah), penggunaan human diploid cell untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh, dengan syarat:

  • Tidak ada bahan lain yang halal dan memiliki khasiat atau fungsi serupa dengan bahan yang berasal dari sel tubuh manusia;
  • Obat atau vaksin tersebut hanya diperuntukkan untuk pengobatan penyakit berat, yang jika tanpa obat atau vaksin tersebut maka berdasarkan keterangan ahli yang kompeten dan terpercaya diyakini akan timbul dampak kemudaratan lebih besar;
  • Tidak ada bahaya (dharar) yang mempengaruhi kehidupan atau kelangsungan hidup orang yang diambil sel tubuhnya untuk bahan pembuatan obat atau vaksin;
  • Apabila sel tubuh manusia yang dijadikan bahan obat atau vaksin bersumber dari embrio, maka harus didapatkan melalui cara yang dibolehkan secara syar’i, seperti berasal dari janin yang keguguran spontan atau digugurkan atas indikasi medis, atau didapatkan dari sisa embrio yang tidak dipakai pada inseminasi buatan atau IVF (in vitro fertilization);
  • Pengambilan sel tubuh manusia harus mendapatkan izin dari pendonor;
  • Dalam hal sel tubuh berasal dari orang yang sudah meninggal harus mendapatkan izin dari keluarganya;
  • Sel tubuh manusia yang menjadi bahan pembuatan obat atau vaksin diperoleh dengan niat tolong-menolong (ta’awun), tidak dengan cara komersial.
  • Kebolehan pemaanfaatannya hanya sebatas untuk mengatasi kondisi kedaruratan (dharurah syar’iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah).

II. Fatwa tentan Pendaftaran Haji saat Usia Dini

1. Pendaftaran haji pada usia dini untuk mendapatkan porsi haji hukumnya boleh (mubah), dengan syarat sebagai berikut:

  • uang yang digunakan untuk mendaftar haji diperoleh dengan cara yang halal.
  • tidak mengganggu biaya-biaya lain yang wajib dipenuhi.
  • tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • tidak menghambat pelaksanaan haji bagi mukallaf yang sudah memiliki kewajiban ‘ala al-faur dan sudah mendaftar.

2. Hukum pendaftaran haji pada usia dini yang tidak memenuhi syarat yang disebut pada angka 1 adalah haram.

III. Fatwa tentang Pemakaian Masker Bagi Orang yang Sedang Ihram

1. Memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya haram, karena termasuk pelanggaran terhadap larangan ihram (mahdzurat al-ihram), sedangkan memakai masker bagi laki-laki yang berihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah).

2. Dalam keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (al-hajah al-syar’iyah), memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah).

3. Dalam hal seorang perempuan yang memakai masker pada kondisi sebagaimana pada angka 2, terdapat perbedaan pendapat, yakni: (a) wajib membayar fidyah; dan (b) tidak wajib membayar fidyah.

4. Keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (al-hajah al-syar’iyah) sebagaimana dimaksud pada angka 2 antara lain:

  • adanya penularan penyakit yang berbahaya;
  • adanya cuaca ekstrim/buruk;
  • adanya ancaman kesehatan yang apabila tidak memakai masker dapat memperburuk kondisi kesehatan.

IV. Fatwa tentang Pembayaran Setoran Awal Haji dengan Utang dan Pembiayaan

1. Pembayaran Setoran Awal Haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah), dengan syarat: (a) bukan utang ribawi; dan (b) orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.

2. Pembayaran Setoran Awal Haji dengan uang hasil pembiayaan dari lembaga keuangan, hukumnya boleh dengan syarat:

  • ​menggunakan akad syariah.
  • ​tidak dilakukan di Lembaga Keuangan Konvensional; dan
  • ​nasabah mampu untuk melunasi, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.

3. Pembayaran setoran awal haji dengan dana utang dan pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2 adalah haram.

V. Fatwa tentang Penundaan Pendaftaran Haji Bagi yang Sudah Mampu

1. Ibadah haji merupakan kewajiban ‘ala al-tarakhi bagi orang muslim yang sudah istitha’ah atau mampu, namun demikian disunnahkan baginya untuk menyegerakan ibadah haji.

2. Kewajiban haji bagi orang yang mampu (istitha’ah) menjadi wajib ‘ala al-faur jika:

  • sudah berusia 60 tahun ke atas;
  • khawatir berkurang atau habisnya biaya pelaksanaan haji; atau
  • qadla’ atas haji yang batal.

3. Mendaftar haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada angka 2, hukumnya wajib

4. Menunda-nunda pendaftaran haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada angka 2, hukumnya haram.

5. Orang yang sudah istitha’ah (mampu), tetapi tidak melaksanakan haji sampai wafat, wajib dibadalhajikan.

6. Orang yang sudah istitha’ah (mampu) dan sudah mendaftar haji, tetapi wafat sebelum melaksanakan haji, sudah mendapatkan pahala haji dan wajib dibadalhajikan.

Baca juga artikel terkait FATWA MUI atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH