Menuju konten utama

Ironis, Hanya Sedikit Orang tua Tahu Tahap Kemampuan Bicara Anak

Gejala keterlambatan atau gangguan bicara atau bahasa pada anak kecil, mayoritas tidak dikenali orang tua selama 1 hingga 2 tahun.

Ironis, Hanya Sedikit Orang tua Tahu Tahap Kemampuan Bicara Anak
Ilustrasi Speech Delay. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada bulan Maret 2023, American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) melakukan survei terhadap ahli patologi bahasa-bicara bersertifikat yang bekerja dengan anak-anak kecil di seluruh dunia.

Sebanyak 41% terapis dalam survei tersebut mengatakan bahwa gejala keterlambatan atau gangguan bicara atau bahasa pada anak kecil tidak dikenali oleh orang tua selama 1 hingga 2 tahun. Hanya 28% terapis mengatakan bahwa sebagian besar orang tua dari anak kecil menyadari tanda-tanda peringatan dini keterlambatan bicara dan bahasa.

Padahal, speech delay yang dibiarkan, akan berpengaruh pada kecerdasan dan perilaku anak di masa depan. Menurut dr. Herbowo Soetomenggolo, Sp.A(K), Dokter Spesialis Anak Konsultan Saraf Anak, “Gangguan bicara dan bahasa yang dibiarkan atau yang terlambat diterapi sangat dapat memengaruhi anak hingga dewasa dan bersifat menetap.”

Speech delay atau keterlambatan bicara adalah kondisi yang dapat dialami bayi dan anak-anak, yang menyebabkan mereka mengalami keterlambatan bicara dan berbahasa.

Melansir laman idai.or.id (Ikatan Dokter Anak Indonesia), keterlambatan bicara dapat disebabkan karena gangguan pendengaran, gangguan pada otak (misal, retardasi mental, gangguan bahasa spesifik reseptif dan/atau ekspresif), autisme, atau gangguan pada organ mulut yang menyebabkan anak sulit melafalkan kata-kata (dikenal sebagai gangguan artikulasi).

Walaupun hanya sebagian kecil saja, faktor keturunan juga berperan sehingga anak lambat bicara. Sebutannya, gangguan bahasa familial.

Untuk menegakkan diagnosis penyebab keterlambatan bicara, perlu pemeriksaan teliti oleh dokter, yang terkadang membutuhkan pendekatan multidisiplin oleh dokter anak, dokter THT, psikolog atau psikiater anak, dan terapis wicara.

Herbowo juga mengungkapkan, “Sampai saat ini belum ada data terbaru di Indonesia untuk jumlah keterlambatan bicara pada anak. Tetapi diperkirakan di beberapa daerah di Indonesia angka kejadian berkisar 5-20% dan di berbagai negara terbukti jumlah selama pandemi cenderung meningkat.”

Tahapan Kemampuan Bicara Anak

Dalam survei yang telah disebutkan di atas, sebagian besar terapis wicara (70%) mengatakan bahwa menurut pengalaman mereka, orang tua tidak mengetahui tonggak yang diharapkan untuk usia anak mereka.

Saat lahir, bayi hanya dapat menangis untuk menyatakan keinginannya. Pada usia 2-3 bulan, bayi mulai dapat membuat suara-suara seperti aah atau uuh yang dikenal dengan istilah cooing.

Mendekati usia 6 bulan, bayi dapat merespons namanya sendiri dan mengenali emosi dalam nada bicara. Cooing berangsur menjadi babbling atau mengoceh dengan suku kata tunggal. Misal, papapapapa, dadadadada, bababababa, mamamamama.

Pada usia 6-9 bulan, bayi mulai mengerti nama-nama orang dan benda serta konsep-konsep dasar seperti ya, tidak, habis. Saat babbling, ia menggunakan intonasi atau nada bicara seperti bahasa ibunya. Ia pun dapat mengucapkan kata-kata sederhana seperti mama dan papa tanpa arti.

Di usia 9-12 bulan, ia sudah dapat mengucapkan mama dan papa (atau istilah lain yang biasa digunakan untuk ibu dan ayah atau pengasuh utama lainnya) dengan arti. Usia 12 bulan, bayi sudah mengerti sekitar 70 kata.

Pada usia 12-18 bulan, ia biasanya sudah dapat mengucapkan 3-6 kata dengan arti. Kosakata anak bertambah dengan pesat. Usia 15 bulan ia mungkin baru dapat mengucapkan 3-6 kata dengan arti, namun pada usia 18 bulan kosakatanya telah mencapai 5-50 kata. Pada akhir masa ini, anak sudah bisa menyatakan sebagian besar keinginannya dengan kata-kata.

Di usia 18-24 bulan, anak mengalami ledakan bahasa. Ia dapat membuat kalimat yang terdiri atas dua kata (mama mandi, naik sepeda) dan dapat mengikuti perintah dua langkah. Pada fase ini anak akan senang mendengarkan cerita. Pada usia dua tahun, sekitar 50% bicaranya dapat dimengerti orang lain.

Setelah usia 2 tahun, hampir semua kata yang diucapkan anak telah dapat dimengerti oleh orang lain. Anak sudah biasa menggunakan kalimat 2-3 kata. Mendekati usia 3 tahun bahkan 3 kata atau lebih. Dan mulai menggunakan kalimat tanya.

Di usia 3-5 tahun, anak menggunakan kalimat-kalimat panjang (>4 kata) saat berbicara. Usia 4 tahun, bicaranya sepenuhnya dapat dimengerti oleh orang lain. Anak sudah dapat menceritakan dengan lancar dan cukup rinci tentang hal-hal yang dialaminya.

Infografik Speech Delay

Infografik Speech Delay.

Pandangan Berbeda Orang tua Menyikapi Keterlambatan Bicara Anak

Hampir setengah (48%) terapis mengatakan bahwa orang tua menunggu 6 bulan hingga 1 tahun untuk mengambil tindakan setelah melihat gejala masalah bicara atau bahasa pada anak mereka. Banyak keluarga mungkin tidak mengetahui betapa pentingnya intervensi dini, atau mengapa pendekatan “tunggu dan lihat” tidak ideal.

Padahal idealnya, setiap orang tua dapat memantau perkembangan anak sesuai dengan tahapan perkembangan bicara normalnya.

“Ah, biasa itu. Dulu saya juga ngomongnya telat, kok. Pas masuk SD baru lancar. Nah, benar kan, anak saya akhirnya juga diterima di SD. Walaupun terlambat setahun, sih. Ya mau gimana, nggak bisa ngomong. Bahasa Indonesia aja susah, bisanya Inggris. Itu pun nggak bermakna. Sebenarnya saya dan istri nyesel banget, ternyata anak kami sebutannya speech delay dan malas ngomong."

"Memang sih, salah kami orang tuanya. Kami berdua bekerja, pulang malam sudah capek. Kakaknya kelas 1 SMA sudah sibuk sendiri. Biar anteng, kami kasih ponsel aja, eh malah makin malas ngomong. Untung diterima di SD. Mudah-mudahan di SD nanti, jadi bisa ngomong. Nanti anak saya di kelasnya dikasih guru pendamping. Bayarnya jadi lebih mahal daripada yang lain, deh.” cerita Dimas dari Jakarta, yang memiliki anak dengan keterlambatan bicara berusia 8 tahun.

Dea Prastyca, dari Malang, punya prinsip berbeda dengan Dimas. Ibu dari Ismail (Mail) yang berusia 2 tahun ini berpendapat bahwa, kondisi anaknya yang mengalami keterlambatan bicara adalah sesuatu yang sangat penting dan harus segera diintervensi dan diatasi.

“Kami tidak mau menyesal dan membuat golden age anak kami terbuang sia-sia. Jadi ketika dokter spesialis anak sudah bilang kalau anak kami memang speech delay, pikiran kami sebagai orang tua adalah tidak boleh menyerah mengejar keterlambatan agar nantinya anak bisa tumbuh dan sekolah seperti anak yang tumbuh kembangnya normal, tidak berbeda,” ungkapnya.

Dea juga menambahkan, awalnya mulai noticed saat Mail berusia 20 bulan, karena kosakata Mail tidak bertambah dan belum bisa menunjuk sesuatu yang diinginkan. Sukanya merengek dan tantrum kalau meminta sesuatu, Kalau diajak berkomunikasi, cuek tidak eye contact, takut dan jijik dengan tekstur tertentu.

Selain itu, yang membuatnya akhirnya segera konsultasi ke dokter spesialis anak, adalah karena Mail terlalu sering jatuh. Tiba-tiba benjol atau mengalami luka di lutut. Dan benar, ternyata Mail juga dideteksi kurang fokus. Mudah teralihkan oleh hal yang dianggapnya menarik. Jadi ia kurang peka akan bahaya di sekitarnya.

Oleh dokter spesialis anak, Dea dan suami disarankan untuk melakukan terapi okupasi dan terapi wicara untuk Mail di klinik tumbuh kembang.

Selain dengan terapi, Dea dan suami juga memberikan stimulus di rumah. Seperti bermain sensory play, mengajak ke playground dan berkegiatan outdoor. Mereka juga mengajak Mail untuk tes STIFIn (Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, Instinct) agar mereka paham metode belajar tepat untuk anak.

Progres sekarang, Mail sudah lulus terapi okupasi. Terapi wicara berkurang jadi 2 minggu 1 kali. Ia juga sudah paham bahasa dan kosakatanya sudah banyak. Tidak suka tantrum, lebih ceria, dan mau bermain bersama teman.

“Ternyata penyebab speech delay yang dialami Mail ini karena jarang terlibat interaksi dengan orang sekitarnya dan pemberian screen time (YouTube melalui televisi) sejak usia 7 bulan,” terangnya.

Herbowo juga mengatakan, banyak penelitian memang menunjukkan penggunaan gadget berlebihan pada usia dini dapat menyebabkan gangguan bicara dan bahasa. Apalagi bila memang sudah ada gangguan yang mendasari, maka penggunaan gadget berlebihan akan memperparah kondisi keterlambatannya.

Setuju dengan Herbowo, Hanlie Muliani, M.Psi., Psikolog Anak, Remaja dan Pendidikan, juga mengatakan, “Betul, penggunaan gadget dapat menjadi salah satu penyebab anak speech delay. Ini karena interaksi nyata dengan orang nyata adalah stimulasi yang dibutuhkan untuk perkembangan bicara dan bahasa pada anak. Gadget meniadakan hal ini.”

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2019 lalu, telah mengeluarkan pedoman tentang screen time pada anak usia balita.

Screen time adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan jumlah waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan televisi, komputer, ponsel pintar, tablet digital, hingga permainan video.

Menurut pedoman WHO, bayi di bawah usia 1 tahun tidak boleh terpapar layar elektronik. Sedangkan anak-anak usia 2-5 tahun tidak boleh melihat layar gawai selama lebih dari satu jam setiap harinya.

Membatasi atau bahkan dalam beberapa kasus menghilangkan waktu bermain dengan gawai pada anak-anak di bawah usia 5 tahun menjadi salah satu bentuk perhatian agar orang tua paham proses kemampuan berbicara anak.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Glenny Levina

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Glenny Levina
Penulis: Glenny Levina
Editor: Lilin Rosa Santi