tirto.id - Insiden kecelakaan dalam pengerjaan proyek kembali terjadi, Minggu (4/2/2018). Kali ini, insiden terjadi di proyek pembangunan double-double track (DDT) atau jalur dwiganda kereta api Jakarta-Cikarang dan menewaskan empat orang.
Kecelakaan ini merupakan yang kesekian kali terjadi di proyek-proyek infrastruktur era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Sebelumnya girder Tol Depok-Antasari roboh dan beton jatuh di Tol Becakayu, juga kecelakaan konstruksi proyek LRT dan lainnya.
Insiden ini membuat pihak konsorsium kontraktor proyek atau penanggung jawab (PJ) penyedia jasa konstruksi proyek yakni PT Hutama Karya, PT Modern Surya Jaya, dan PT Mitra Engineering Grup, mendapat sorotan lantaran. Kecelakaan proyek ini berpotensi menjadi masalah pidana bila terbukti ada unsur kelalaian.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai kecelakaan di proyek infrastruktur ini mirip dengan robohnya mezanin di Bursa Efek Indonesia atau dinding roboh di Apartemen Pakubuwono Spring. Menurut Fickar, insiden ini bisa jadi dipicu human error atau engineeringerror. Bila ada perencanaan yang baik potensi bencana bisa dihindari.
Pada pasal 59 UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur "dalam setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, pengguna Jasa dan Penyedia Jasa wajib memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan."
Fickar menyebut, penanggung jawab penyedia jasa konstruksi bisa pidana jika terbukti ada kelalaian. Namun, Fickar menyebut, hukuman buat penanggung jawab bisa lepas jika memang insiden itu murni tanpa kesengajaan.
“Kalau bukan human error berarti kecelakaan kerja [tidak bisa dipidana],” ucap Fickar.
Aturan Hukum dan Bukti
Pernyataan Fickar soal potensi pidana bukan isapan jempol. Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan soal kelalaian yang bisa menyebabkan kematian orang lain. Dalam aturan itu disebutkan, siapa pun yang karena kesalahannya menyebabkan kematian orang lain, maka bisa dihukum penjara paling lama lima tahun.
Selain pasal 359, ada pasal 201 KUHP yang mengatur soal rusaknya bangunan yang menyebutkan bahwa seseorang dapat dipidana penjara 4 bulan 2 minggu jika karena kesalahannya menyebabkan gedung atau bangunan dihancurkan.
Selain KUHP, ada Pasal 60 UU Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi pengganti UU 18/1999. Dalam pasal 60 disebutkan penyelenggaraan jasa konstruksi yang tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan, pengguna jasa atau penyedia jasa (kontraktor) dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap kegagalan bangunan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara Mahmud Mulyadi sependapat dengan Fickar, tapi harus ada bukti kuat supaya potensi pidana diungkap. Ia menegaskan, kecelakaan kerja yang terjadi karena bencana alam tentu tidak bisa dikenakan pidana, tapi apabila ada kesalahan manusia, harus ada pihak yang dimintai pertanggungjawaban hukum.
“Polisi harus berdasar keterangan dari ahli bangunan,” katanya.
Menurutnya, kecelakaan kerja bisa dikategorikan kesalahan manusia ketika terjadi kesalahan prediksi saat pembangunan.
“Ini harus dilihat penyebabnya dulu,” katanya.
Secara dasar hukum, insiden proyek DDT memang bisa ditarik ke ranah pidana. Namun, polisi masih menyelidiki insiden ini. Polisi butuh sedikitnya tiga hari, buat menentukan ada tidaknya tindak pidana dalam kecelakaan yang menewaskan empat orang.
Hingga hari ini, Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri masih mengambil barang bukti dan menggelar olah tempat kejadian perkara dengan dibantu Polres Jakarta Timur. Dalam penyelidikan ini, kepolisian juga sudah memeriksa delapan saksi untuk memastikan penyebab kecelakaan. Tersangka yang dianggap bertanggungjawab juga belum ditemukan.
“Kami [masih] melihat, adakah kelalaian yang dilakukan pekerja, atau pimpinannya,” kata Kasat Reskrim Jakarta Timur, Sapta Maulana Marpaung di tempat kejadian.
Rangkaian Kecelakaan
Insiden sejenis sudah terjadi beberapa kali. Dengan demikian kasus terbaru ini harusnya jadi pelajaran bagi otoritas terkait untuk mengevaluasi proyek infrastruktur secara menyeluruh. Jangan sampai kejadian serupa terulang dengan memperhatikan betul seluruh aspek.
Pada 22 Januari lalu, konstruksi bangunan Light Rapid Transit (LRT) yang menghubungkan Kelapa Gading-Velodrome di Kayu Putih, Jakarta Timur juga roboh. Lima orang terluka tertimpa reruntuhan. Pada 20 hari sebelumnya, atau pada 2 Januari 2018, girder atau balok beton di jalan Tol Antasari-Depok juga mengalami kejadian serupa, untungnya tak ada korban.
Ini belum termasuk kejadian-kejadian di luar Jakarta, seperti kasus robohnya beton ketika sedang dipasang di proyek Tol Pemalang-Batang, Desember tahun lalu.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih