Menuju konten utama

Indonesia Butuh 'Jembatan Penghubung' Menuju Energi Hijau

Muhammad Kholid Syeirazi mengatakan, Indonesia memerlukan 'jembatan penghubung' untuk mendorong transisi energi dari fosil ke energi hijau (green energy).

Indonesia Butuh 'Jembatan Penghubung' Menuju Energi Hijau
Anak-anak bermain dipantai Bohay dengan latar belakang PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur, Selasa (7/7/2020). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/hp.

tirto.id - Direktur Center For Energy Policy Muhammad Kholid Syeirazi mengatakan, Indonesia memerlukan 'jembatan penghubung' untuk mendorong transisi energi dari fosil ke energi hijau (green energy). Sebab, mayoritas konsumsi energi Indonesia saat ini adalah fosil.

“Kita 89 persen konsumsinya fosil, tiba-tiba ujuk-ujuk mau langsung loncat kepada energi hijau. Perlu jembatan, mestinya jembatannya paling tidak dari fosil yang relatif paling bersih, yakni gas,” ujarnya dikutip Antara, Jakarta, Kamis (17/11/2022).

Saat ini, pemerintah sudah terikat dengan berbagai macam kontrak gas jangka panjang mengingat jenis energi tersebut masih tersedia. Masalahnya, infrastruktur gas masih terbatas di Indonesia sehingga menciptakan jarak yang jauh antara sumur gas dengan end user.

Sebagai contoh, Indonesia memiliki gas di bagian timur, tetapi end user-nya paling banyak di bagian barat. “Gimana caranya menyalurkannya? Sehingga daripada repot-repot (mengirim gas), gas diekspor sekalian (misalnya) ke Fujian, Meksiko, Korea, dan lainnya,” ucap Kholid.

Meskipun demikian, ia tetap menekankan pengarusutamaan gas sebagai jembatan penghubung ke energi hijau.

“Kita tidak bisa ujuk-ujuk kayak orang kebelet, orang-orang kebelet tuh tiba-tiba langsung ‘ayo kita transisi ke green energy’. Ngomongnya itu ya pas energi fosil itu lagi tinggi, tiba-tiba bicara soal green energy, tapi kalau harga fosil murah ya balik lagi ke fosil,” kata Kholid.

Menurut dia, 89 persen supply energi global masih didominasi oleh fosil meskipun sudah ada kampanye transisi menuju energi hijau. Dominasi fosil disebabkan harga komoditas tersebut yang murah, memiliki infrastruktur yang sudah mapan, dan tersambung dengan industri.

“Mereka (para pelaku usaha di sektor energi) bisnisnya jangka pendek (dengan cara berpikir) ‘kalau ada yang murah, kenapa bikin yang mahal’, sementara energi hijau itu terus terang masih sangat mahal, biaya investasi masih sangat mahal,” ungkapnya.

​​​​​​Kholid mencontohkan Norwegia yang memiliki visi jangka panjang dengan mengelola minyak dan gas untuk generasi masa depan.

Negara itu hanya menyisihkan 5 persen penerimaan migas untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), selebihnya ditabung di Sovereign Wealth Fund (SWF) guna kebutuhan antara lain investasi di sektor energi hijau.

Begitu pula, Timor Leste yang menyisihkan 10 persen penerimaan migas untuk APBN negara tersebut, dan sisanya ditabung untuk kepentingan anak-cucu di masa depan.

Berbeda dengan Indonesia yang menggunakan perspektif miopik (rabun dekat). Ketika memperoleh keuntungan dari migas, pemerintah secara langsung menghabiskannya setiap tahun.

Karena itu, Kholid menilai Indonesia harus memiliki visi jangka panjang untuk menabung keuntungan dari penjualan migas guna membangun jembatan penghubung menuju energi hijau.

Baca juga artikel terkait TRANSISI ENERGI

tirto.id - Ekonomi
Sumber: Antara
Editor: Anggun P Situmorang