Menuju konten utama

Incel: Ketika Para Jomblo AS Jadi Misoginis & Ekstremis Sayap Kanan

Incel telah berkembang dari sekumpulan jomblo kesepian ke sub-kultur internet yang menganjurkan kekerasan.

Incel: Ketika Para Jomblo AS Jadi Misoginis & Ekstremis Sayap Kanan
Aksi gerakan nasionalis supremasi kulit putih. REUTERS

tirto.id - Tidak semua orang cukup beruntung punya hubungan romantis, meski tak punya hubungan juga tak selalu jadi masalah besar. Status jomblo, bagaimanapun, bisa jadi kemewahan luar biasa bagi mereka yang gemar menghabiskan waktu dengan buku, musik, dan film—atau sekadar bersosialisasi.

Namun, belakangan ini muncul fenomena incel alias "involuntary celibacy" di kalangan pria Amerika Serikat. Involuntary celibacy bisa diterjemahkan sebagai sebagai "jomblo terpaksa". Meski sepintas menyedihkan, akan tetapi incel telah berkembang menjadi ‘gerakan’ yang mematikan.

Pada Senin, 23 April 2018, Alek Minassian, seorang pemuda berusia 25 tahun tanpa catatan kriminal, tiba-tiba berubah menjadi pelaku teror. Ia sengaja menabrakkan mobil van yang dikemudikannya ke pejalan kaki di sepanjang Yonge Street. Akibat aksi keji itu, 10 orang meninggal dunia.

Tidak ada yang tahu motif di balik aksi keji Minassian hingga keesokan harinya. Dilansir Vox, sehari setelah peristiwa, Facebook mengonfirmasi sebuah unggahan yang dibuat atas nama akun Alek Minassian. Dalam unggahan itu, ia menyatakan sumpah setianya pada gerakan yang disebut dengan “Incel Rebellion” atau pemberontakan Incel.

“Pemberontakan Incel telah dimulai!” tulisnya dalam unggahan tersebut, seperti dilaporkan oleh BBC, sembari turut menyebut nama Elliot Rodger, seorang pemuda asal Amerika Serikat.

Rodger memang dipandang sebagai ‘pahlawan’ oleh kaum incel. Bukan karena hal baik, namun karena aksi yang tak kalah mengerikan. Ia melakukan penusukan dan penembakan massal di Isla Vista, California pada Mei 2014. Enam orang dikabarkan tewas. Menutup aksinya, Rodger menembak dirinya sendiri ketika berada di dalam mobil. Usianya kala itu masih berusia 22 tahun.

Sebelum bunuh diri, Rodger mengunggah sebuah video ke YouTube dan mengirim email berisi sebuah dokumen kepada sejumlah orang yang ia kenal. Dalam video tersebut, ia duduk di dalam mobil BMW sembari mengeluhkan statusnya yang masih perjaka di usia kepala dua. Masih dari BBC, Ia bahkan mengaku tidak pernah mencium gadis seumur hidupnya.

Dokumen digital sepanjang 114 halaman yang ia kirimkan menyebutkan betapa frutasinya Rodger terhadap statusnya sebagai perjaka kendati ia memiliki harta yang berlimpah. Sebagai catatan, Rodger adalah anak dari seorang pembuat film di Hollywood. Ia mendaku dirinya “ideal magnificent gentleman” dan menyatakan keheranannya kenapa tak ada perempuan yang mengajaknya berkencan.

Masih dari dokumen yang sama, Rodger menyebut tindakan keji yang dia lakukan sebagai "Hari Pembalasan". Ia menyatakan tidak memiliki pilihan lain selain melakukan pembalasan dendam kepada masyarakat yang ia tuding telah mengkhianatinya dalam urusan seks dan cinta.

Oleh para pemujanya di internet, dan oleh Minassian dalam unggahan Facebooknya, Rodger dipuji-puji sebagai "The Supreme Gentleman".

"Chad" dan "Stacy"

Dilansir Vox, Incel telah berkembang dari sebuah lingkaran remaja laki-laki kesepian pada akhir 1990-an menjadi komunitas dan akhirnya sebuah sub-kultur di forum-forum internet seperti reddit dan 4chan yang juga telah menyuburkan fenomena gerakan sayap kanan alt-right.

Tak semua yang mendaku incel memiliki pandangan ekstrem seperti Rodger dan Minassian. Namun, mereka memiliki satu kesamaan: frustrasi dengan kehidupan seksual. Mayoritas dari mereka laki-laki kesepian, menderita depresi, dan dihantui kecemasan sosial hingga tingkat yang ekstrem. Vice dalam laporannya bahkan menunjukkan sejumlah incel melakukan tindakan bunuh diri akibat tak bisa mengatasi gangguan-gangguan psikis tersebut. Tidak hanya itu, beberapa incel yang ‘moderat’ bahkan aktif melaporkan para ekstremis dalam komunitas mereka.

Sayangnya, incel yang memiliki pemikiran jahat layaknya Rodger dan Minassian juga tidak sedikit. Masih dari Vox, Southern Poverty Law Center menyebut incel seperti Rodger dan Minassian ini sebagai tren radikalisasi laki-laki secara online. Kaum incel terobsesi membenci orang-orang yang mereka personifikasikan sebagai "Chad" (untuk laki-laki) dan "Stacy" (untuk perempuan).

Masih dari Vox, Chad dalam semesta imajinatif incel adalah sosok laki-laki maha sempurna yang tidak hanya menarik, namun juga ‘sukses’ secara seksual. Mereka mudah menjalin hubungan personal dan seksual dengan perempuan mana pun. Stacy, sementara itu, adalah perempuan yang sangat menarik bagi lawan jenis. Masih dalam semesta Incel, sosok Stacy hanya berkenan untuk menjalin hubungan personal dan intim dengan Chad, atau "Chang" (Chad versi Asia Timur), "Chaddam" (versi Arab), "Chadpreet" (versi Asia Selatan) ataupun "Tyrone" (versi kulit hitam).

Kaum incel percaya sekitar 20 persen populasi dunia terdiri dari laki-laki seperti Chad dan sekitar 80 persen perempuan hanya tertarik pada cowok jenis ini. Sementara itu, 20 persen wanita lainnya akan memberikan persetujuan untuk menjalin hubungan personal dan seksual kepada mayoritas laki-laki yang berada pada kategori "daya tarik tingkat menengah" yang disebut “betas”, ”cucks” dan “normies”. Incel sendiri berada di kasta terbawah dalam piramida seksual yang mereka imajinasikan itu.

Walhasil, kaum incel ini sangat membenci perempuan secara umum yang dianggap telah menyebabkan mereka selibat. Entah mengapa, kebencian yang sama tidak ditujukan kepada "Chad". Bahasa yang mereka gunakan dalam forum-forum internet pun juga kerap secara blak-blakan menunjukkan sikap misoginis, rasis dan anti-semit.

“Seumur hidup kita kita harus menanggung rasa sakit karena memiliki fisik tidak menarik bagi perempuan sehingga mereka bahkan tidak pernah berpikir untuk memberi kita kesempatan. Kita sebenarnya inferior secara genetis sehingga mereka membenci kita,” tulis salah seorang Incel di situs incels.co, masih dari Vox.

“Mereka perlu menderita ... Kemunafikan mereka adalah kejahatan [yang bisa dihukum] dengan penyiksaan seumur hidup untuk kehidupan mereka yang seperti pelacur.”

Jeff Sparrow dalam esainya berjudul “From misery to misogyny: incels and the far rights” di overland.org.au, menuliskan bahwa sikap mereka yang membenci wanita namun tidak kepada laki-laki memperlihatkan bahwa mereka masih memandang pria, seburuk apa pun itu, lebih baik daripada wanita.

Gelombang Baru Pergerakan Laki-laki Sayap Kanan?

Joshua Roose, direktur Institut for Religion, Politics dan Society dari Australian Catholic University, mengatakan bahwa incel merupakan wujud nyata dari tren bangkitnya politik sayap kanan yang serba maskulin dan misoginis di seluruh dunia.

Dalam opininya di ABC News, Roose menyatakan gerakan misoginis ini bertujuan memulihkan "hak" laki-laki dan posisi sosialnya yang dianggap tergerus oleh perjuangan kaum perempuan. Lebih lanjut, dalam taraf yang paling ekstrim, gerakan ini mampu mendorong kekerasan ala sayap kanan dalam bentuk teror.

Infografik Jomblo Sayap kanan yang misoginis

undefined

Jika menilik kasus Minassian dan Rodger, apa yang dikatakan Roose memang sungguh-sungguh terjadi. Jason Wilson, kolumnis dan reporter Guardian, menyatakan bahwa percakapan dalam forum-forum Incel memang sangat agresif dan menganjurkan tindak kekerasan. Bagi Wilson, incel dan fasis dipersatukan oleh kebencian terhadap perempuan.

Incel memandang feminisme sebagai serangan terhadap laki-laki. “Laki-laki dipandang sebagai korban yang status tradisionalnya dirampas oleh hak-hak perempuan,” tulis Roose.

Salah satu tokoh konservatif sayap kanan yang terang-terangan memiliki pandangan tersebut, tulis Roose, adalah ketua partai UKIP di Inggris, Nigel Farage. Dalam sebuah kesempatan, Farage mengklaim feminisme “telah dibajak oleh sejumlah orang yang tampaknya memiliki agenda anti-laki-laki.”

Tapi Farage tentunya tak sendirian dalam pasang politik sayap kanan yang terus menyerang perempuan. Dengan atau tanpa incel, kebencian kaum ultra-konservatif terhadap perempuan nampaknya akan terus terpelihara.

Baca juga artikel terkait INCEL atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf