tirto.id - “Keluar dari barisan itu sebelum terlambat,” teriak demonstran yang menolak pemutaran The Last Temptation of Christ pada Agustus 1988. Film itu dibuat oleh sutradara Amerika Martin Scorsese yang bicara tentang bagaimana kehidupan Yesus sebagai manusia. Sebagian umat Katolik saat itu menganggap film Scorsese menista doktrin gereja.
Namun, di hari pertama peluncurannya, film itu membikin orang mengantri dan bioskop penuh sesak. Apa yang sebenarnya membuat film itu istimewa?
Film ini menyajikan bagaimana Yesus sebagai sosok yang demikian manusiawi. Roger Ebert, salah seorang kritikus film terbaik dunia, menyebut bahwa dalam film ini Yesus memenuhi ekspektasi sisi manusia daripada sisi ketuhanan.
“Untuk menjadi manusia seutuhnya, Yesus harus memiliki segala kelemahan manusia, ia harus menjadi mangsa dari segala godaan, sebagaimana manusia ia memiliki berkah terkutuk tuhan, kehendak bebas,” katanya. Sebagai anak Tuhan, Yesus harus menjadi teladan bagaimana melawan godaan setan.
Film ini memang menyajikan bagaimana Yesus sebagai manusia merasakan segala godaan, siksaan, dan bertahan menjaga iman untuk menjadi juru selamat umat. Menghadirkan Willem Dafoe sebagai Jesus, Harvey Keitel sebagai Judas, dan Barbara Hershey sebagai Mary Magdalene, film ini diprotes karena membuat Yesus menjadi sosok yang lemah dan dianggap mendiskreditkan sosok Yesus sebagai manusia yang bisa digoda.
Gilda Sutradara Amerika pun membela Scorsese saat film ini hendak dilarang dengan argumen bahwa doktrin Gereja telah bertahan selama 2000 tahun. Dan, ia akan tetap bertahan dengan adanya film Scorsese.
The Last Temptation of Christ bukan usaha terakhir Scorsese untuk bicara tentang iman, Gereja Katolik, dan kemanusiaan. Usaha terbarunya adalah Silence. Film anyar ini adalah antitesis dari The Last Temptation of Christ yang menghadirkan Yesus sebagai entitas suci menghadapi godaan dari umat untuk menyerah.
Sebagai teladan, Yesus mesti menjaga keimanan di hadapan manusia. Dalam Silence, usaha itu dihadirkan kembali dengan narasi yang berbeda: bagaimana jika manusia dihadapkan pada pilihan bersetia pada iman atau menjaga kemanusiaannya?
Peter Bradshaw, kritikus film Guardian menyebut bahwa Silence adalah usaha manusia untuk menerjemahkan sunyi iman. Bagaimana manusia memaknai diamnya doa yang dipanjatkan pada tuhan? Bagaimana manusia bersikap jika dipaksa menyerahkan iman untuk menyelamatkan manusia lain?
Silence adalah tentang memilih kebaikan yang lebih besar, bagaimana sikap kita kepada musuh kita, apakah kesyahidan umat bisa dimaknai sebagai iman yang tulus, dan bagaimana iman semestinya dijalani?
Kesyahidan yang ditawarkan dalam Silence terasa sangat berbeda dari film Carl Dreyer berjudul The Passion of Joan of Arc (1928), atau karya Fred Zinnemann berjudul A Man for All Seasons (1966). Kedua film itu bicara dari sudut orang besar, Silence bicara dari kacamata pendeta yang melihat iman dari umat biasa.
Bisakah umat jelata menjadi martir, juru syahid yang memberi teladan bahkan pastur Jesuit? Di sini, kita melihat keteguhan iman umat jelata. Bahkan bisa membuat malu mereka yang belajar dan memiliki iman sebagai sesuatu yang terberi.
Film ini mengisahkan dua pastur Jesuit dari Lisbon, Portugis di abad 17, yang berusaha mencari guru mereka di Jepang. Dalam film ini, Romo Rodrigues yang diperankan oleh Andrew Garfield dan Romo Garrupe yang diperankan oleh Adam Driver, berusaha mencari tahu tentang guru mereka yang hilang di Jepang.
Berdasar kabar dari Romo Valignano yang diperankan oleh Ciarán Hinds, mereka mengkhawatirkan kabar murtadnya Romo Ferreira yang diperankan oleh Liam Neeson. Silence menghadirkan usaha mencari Romo Ferreira di Jepang, dan mereka harus bergelut dengan penyiksaan, pengorbanan, dan kesyahidan yang membuat para pastur muda tadi mempertanyakan kembali tentang makna iman mereka.
Romo Rodrigues dan Romo Garrupe datang ke Jepang dan melihat persekusi, penyiksaan, dan pembunuhan umat Katolik di negara itu. Umat katolik di Jepang pada abad ke-17 disiksa dan ditangkap. Mereka yang dilabeli sebagai Kakure Kirishitan atau umat kristen tersembunyi, menyimpan iman mereka dari ancaman Inquisitor Inue yang menangkap siapa pun yang beragama kristen karena dianggap merongrong Jepang. Di tengah perjalanan, keduanya menemukan bahwa guru mereka Romo Ferreira telah murtad dan menikahi orang Jepang.
Dalam catatan sejarah, misionaris awal di Jepang adalah Fransiskus Xaverius yang datang pada 1540. Agama Kristen pada mulanya diterima dan berkembang dengan 100 ribu pengikut baru, termasuk penguasa di Kyushu. Namun, seiring berjalannya waktu, Kristen dianggap mengancam budaya Jepang, lalu pemerintah setempat melarang penyebaran agama tersebut, yang berlanjut menjadi pelarangan agama tersebut. Siapa pun yang dianggap Kristen dipaksa murtad dan menghina doktrin gereja dengan menginjak simbol-simbol agama.
Penampilan penting dalam film disuguhkan aktor Jepang yang berperan sebagai Inquisitor Inoue, Issey Ogata, dan penerjemahnya: Tadanobu Asano. Keduanya adalah tipe aktor yang bisa memerankan penjahat tapi mustahil membencinya. Inquisitor Inoue adalah sosok pejabat feodal Jepang yang efektif dan taktis. Ia menyadari bahwa membunuh pastor Katolik hanya akan membuat mereka jadi martir. Lantas daripada membunuh mereka, ia mencari cara agar para pastor tadi bisa memurtadkan para pengikutnya dengan cara yang keji.
Film ini menghadirkan visual yang indah. Nyaris gambar-gambar yang ada membuat mata kita termanjakan. Logika cerita juga dijaga dengan sangat ketat. Pastor Rodrigues selalu berada dalam ketakutan, kecemasan, dan keterancaman. Mereka menjadi paranoid, terganggu dengan berbagai visi tentang Yesus, hingga akhirnya nyaris gila karena mesti menyembunyikan keyakinan mereka. Sayang, menjelang cerita berakhir kepadatan dan konflik cerita kendor karena resolusi konflik yang tak perlu.
Silence merupakan film dari adaptasi novel dengan judul serupa terbitan 1966 yang dikarang oleh novelis Jepang Shūsaku Endo. Silence bukan yang pertama. Kisah ini sudah beberapa kali diadaptasi pertama kali oleh Masahiro Shinoda pada 1971 yang diberi judul Chinmoku, dan yang kedua oleh João Mário Grilo dalam judul The Eyes of Asia (1996).
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani