Menuju konten utama

Ibu Nurlaila, Guru Tanpa Tanda Jasa

Ibu Guru Nurlaila adalah salah satu guru SMP 56 yang paling keras melakukan perlawanan terhadap upaya ruislag atau tukar guling bangunan sekolah yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Tata Disantra, anak perusahaan Abdul Latief Corporation, pada tahun 2000.

Ibu Nurlaila, Guru Tanpa Tanda Jasa
undefined

tirto.id - Ibu Guru Nurlaila (57) duduk tersimpuh di depan lahan kosong, di Jalan Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dulu, di atas lahan yang berada di areal strategis dekat pertokoan Blok M itu, berdiri SMP Negeri 56 yang menjadi tempat mengajarnya. Kini, sebuah papan nama bertuliskan nama developer dari salah satu grup konglomerasi, telah menunjukkan siapa pemilik barunya.

“Tanah ini dulu oleh pengadilan dinyatakan status quo, Kenapa sekarang menjadi milik konglomerat?” kata Nurlaila sembari berlinang air mata kepada Andrey Gromico dari tirto.id, yang mengantarnya ke bekas lokasi sekolah, pada Selasa (10/5/2016).

Ibu Guru Nurlaila adalah salah satu guru SMP 56 yang paling keras melakukan perlawanan terhadap upaya ruislag atau tukar guling bangunan sekolah yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Tata Disantra, anak perusahaan Abdul Latief Corporation, pada tahun 2000.

Bagaimana tidak? Harga lahan saat itu yang sesuai NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) seharga Rp 9,6 juta per meter persegi, hanya dijual Rp 2,6 juta per meter persegi. Sebagai ganti, SMP 56 mendapat lahan baru jauh di selatan Jakarta, di Jalan Jeruk Purut, Cilandak.

Hal yang paling menyedihkan, Nurlaila harus menerima SK Pemecatan yang ditandatangani Gubernur Sutiyoso pada tahun 2004. Akibatnya, dia dimasukkan daftar hitam dan tidak bisa lagi mengajar di seluruh sekolah di Jakarta. Tak hanya itu, gajinya sejak saat itu tak lagi diterima. “Kalau mau mengajar, harus minta maaf dulu ke gubernur. Nah, Ibu tidak mau,” tegasnya.

Kini, Nurlaila tinggal sendiri di rumahnya yang hanya menyisakan ruang kamar tidur, di Kawasan Blok A. Sementara ruangan lainnya sudah roboh karena lapuk. Dia hidup mengandalkan uang pensiun almarhum suami sebesar Rp 670 ribu per bulan. Plus sedikit tambahan dari putri semata wayangnya yang baru saja menjadi asisten bidan di Bantar Gebang, Kota Bekasi.

Teks & Foto : Andrey Gromico

Baca juga artikel terkait GURU atau tulisan lainnya

Artikel Terkait