tirto.id - Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo Soekartono masih mempertanyakan manfaat terukur dari holding BUMN, baik untuk korporasi dan publik secara luas. Ia juga meminta Kementerian BUMN untuk merincikan mekanisme dan keuntungan dari agenda itu.
Bambang menilai Holding BUMN merupakan upaya pemerintah untuk menghindar dari mekanisme yang diatur dalam UU No.19/2003 tentang BUMN. Peraturan Pemerintah No.72/2016 sebagai payung hukum penerapan holding dinilai memangkas kewenangan DPR untuk mengawasi setiap kinerja atau perubahan aset di BUMN.
Ketimbang menjadi holding, menurutnya lebih baik melakukan revaluasi untuk memperbesar aset. “Revaluasi sebenarnya jauh lebih baik karena aset dari negara yang lama harganya masih kecil sekali, kalau direvaluasi bisa harganya naik lebih dari 10 sampai 100 kali lipat. Kalau ini dilakukan enggak perlu holding karena BUMN ini sudah punya aset yang besar untuk mengakuisisi PTFI,” ujar Bambang di Jakarta pada Senin (27/11/2017).
Ia juga menyatakan, berdasarkan pengalaman holding BUMN di masa lalu, seperti yang terjadi di PT Perkebunan Nusantara pada 2013, maka hasilnya memberikan defisit perdagangan. Sebelum holding diterapkan, produksi gula cukup besar, impor gula tidak sampai 2 juta ton. Setelah holding, produksi gula justru merosot dan impor gula hingga 3 juta ton.
"Ada 18 pabrik gula di 2016 terpaksa tutup karena sisi kualitasnya berantakan. Jadi, apa manfaatnya holding ini? Holding harusnya bertambah bagus, tapi malah rugi," ungkapnya.
Senada dengan Bambang, Pengamat Ekonomi-Politik Faisal Basri menilai pembentukkan holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terlalu tergesa-gesa dan kurang perhitungan.
Kinerja BUMN dinilai Faisal semakin menurun pengaruhnya kepada produk domestik bruto (PDB). Dibandingkan kontribusi cukai rokok, laba BUMN lebih kecil.
“Laba BUMN enggak sampai separuh cukai rokok yang sebesar Rp150 triliun, BUMN hanya Rp42 triliun,” kata Faisal.
Singapura yang dijadikan contoh penerapan holding BUMN Indonesia dinilainya salah kaprah karena karakteristik BUMN di Indonesia lebih beragam dari negara lain. Ia juga membandingkan dengan Cina yang memiliki wilayah besar, tidak menggunakan holding.
"Perusahaan besar Cina bersaing sendiri. Yang benar kita pakai acuan Cina. Singapura bisa karena dia negara kota yang sebesar Jakarta Selatan. Kalau di sana enggak pakai holding dia kalah dengan negara multinasional," ungkapnya.
Sementara itu, Mantan Direktur Utama PT Timah (Persero) Tbk Erry Riyana Hardjapamekas menyatakan bahwa sebetulnya holding BUMN tetap bisa berjalan. Fungsinya untuk memperkuat internal korporasi; optimasi sinergi dalam logistik, maintenance, pemasaran; dan memperluas rasio utang (leverage) untuk menarik modal.
"Syaratnya harus transparan, tidak melanggar hukum, dan tidak lepas kontrol dari pemerintah,"
Namun, yang menjadi ganjalannya adalah terkait akuisisi PT Freeport Indonesia yang status perusahaannya bukan terbuka (Tbk) hendak dimasukan sebagai bagian dari holding tambang BUMN. Ditambah rencana akuisi tersebut 10 persen akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda).
"Akuisisi itu bisa diselesaikan kalau saham Freeport go public dan pemerintah membelinya di pasar saham," ucapnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto