Menuju konten utama

Hidup Mati Final Fantasy

Final Fantasy tak sekadar permainan untuk bersenang-senang. Ia menyelinap sebagai kesadaran bagi para penggemarnya. Final Fantasy masih berlanjut, tapi tantangannya sangat besar.

Hidup Mati Final Fantasy
Final Fantasy [Foto/playbuzz/square-enix]

tirto.id - Mana yang lebih baik? Manchester United atau Liverpool? Indomie Goreng atau Mie Sedap? Lords of The Rings atau Game of Thrones? Bagi para penggemar fanatik, pertanyaan di atas dapat memicu perdebatan yang gawat. Fanatisme selera jamak membuat para penggemar bertikai.

Coba saja bertanya pada para penggemar permainan digital Play Station, mesin permainan yang melahirkan banyak game, soal mana yang lebih baik: Silent Hill atau Resident Evil? Gran Turismo atau Need For Speed? Bagi para penggemar game bergaya naratif, sodorkanlah pertanyaan lain: lebih baik Suikoden II atau Final Fantasy VII?

Perdebatan terakhir sepertinya tidak akan berlanjut karena Suikoden tak akan pernah dirilis lagi sementara Final Fantasy telah mencapai episode ke XV. Situasi terakhir inilah yang membuatnya menjadi salah satu seri game RPG terpanjang dan terlama dalam sejarah konsol.

Seri game tersebut barangkali hanya bisa dikalahkan ragam game yang dibuat Nintendo melalui Mario Bros. Dan Starkey dari Kotaku.com menyebut ada 79 seri Final Fantasy. Tiga belas dari narasi game utama dan sisanya adalah spin off. Bahkan Square Enix menyebut akan secara bertahap merilis Final Fantasy untuk ponsel. Beberapa merupakan game lama yang dirilis ulang seperti Final Fantasy Tactics. Sementara beberapa yang lain merupakan seri baru yang dikembangkan khusus, seperti Final Fantasy Brave Exvius.

Final Fantasy sebagai Terobosan

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu memahami faktor yang membuat Final Fantasy dianggap sebagai terobosan penting dalam genre game dunia. Jika selama ini game melulu hanya mengutamakan unsur bersenang-senang dan ketangkasan, maka Final Fantasy menekankan pentingnya jalan cerita. Banyak yang percaya fitur role playing game atau permainan yang membuat kita memerankan tokoh, pertama kali diperkenalkan Dungeons & Dragons. Namun baru pada Final Fantasy ia dikembangkan menjadi permainan layaknya film petualangan.

Game ini mulanya diciptakan dan dikembangkan Hironobu Sakaguchi serta diproduksi Square Soft (yang kemudian merger dengan Enix menjadi Square Enix). Produk pertama seri ini diluncurkan di Jepang pada 18 Desember 1987. Dari sanalah kemudian permainan tersebut berkembang ke seluruh dunia.

Final Fantasy adalah seri produk Squre Enix yang paling sukses berdasarkan laporan resmi Square pada 2014. Disebutkan bahwa dari 48 judul, Final Fantasy telah berhasil menjual lebih dari 110 juta paket game ke seluruh dunia.

Final Fantasy bukan sekadar permainan. Kamu tak akan menangis selama seminggu setiap malam ketika SMP hanya karena satu karakter favoritmu mati. Final Fantasy VII, salah satu puncak kefasihan game RPG sepanjang masa, menjadi bukti bahwa game sungguh-sungguh dapat menyelinap sebagai bagian penting kehidupan para penggemarnya.

Infografik Final Fantasy

Kat Bailey, analis dari Usgamer.net, menyebut bahwa RPG yang dihadirkan Final Fantasy VII telah menjelma kesadaran kolektif para penggemarnya. Ia tetap eksis di kepala para penggemarnya, bahkan ketika sedang melakukan kegiatan yang lain sekali pun.

Dalam game ini kita mengenal tokoh-tokoh seperti Sephiroth, Cloud, dan Aeris. Penderitaan Sepiroth membuat kita menyadari bahwa terlahir sempurna tidak membuatmu bahagia, masa lalu Cloud mengajarkan kita bahwa kadang penting untuk jujur pada diri sendiri, dan pengorbanan Aeris mengajarkan kita bahwa ada hal-hal yang tak bisa ditukar hanya dengan bersikap diam.

Maka ketika Square Enix memutuskan kembali membuat Final Fantasy VII, kita tahu game ini akan menghadirkan kembali masa lalu yang pernah hilang.

Sementara menunggu Final Fantasy VII hadir, para penggemar bisa lebih dulu menikmati game terbaru Square Enix melalui Final Fantasy XV. Seri game ke 15 ini merupakan usaha Square memenangkan hati para penggemarnya. Banyak gamer dunia yang menganggap seri Final Fantasy sebenarnya telah selesai pada seri ke XII. Beberapa menyebut era klasik game Final Fantasy berhenti pada seri ke IX saat Zidane dan Vivi mengalahkan kegelapan abadi Necron. Sementara seri final Fantasy X dan X-2 hanya sekedar nina bobo yang menonjolkan sensualitas minus cerita yang kuat. Tentu hal ini masih bisa diperdebatkan.

Kualitas Final Fantasy dianggap kian menurun ketika Hironobu Sakaguchi, pencipta dan konseptor awal game ini, pecah kongsi dengan Square. Kualitas cerita dan game kian menurun, meski game ini tetap memiliki pesona karena masih ada Nubuo Uematsu, komposer langganan, dan Tetsuya Nomura, desainer karakter berbagai Final Fantasy.

Lima Elemen dan Tantangan Baru

Pada 2012, Enix pernah merumuskan apa itu Final Fantasy. Dalam konferensi bertajuk Agni's Philosophy: Final Fantasy, Square Enix mendedah apa saja elemen yang membuat sebuah game layak menjadi Final Fantasy.

Ada lima elemen minimal yang membuat sebuah game layak dilabeli Final Fantasy dari Square Enix. Satu, unsur magic atau sihir yang membuat permainan menjadi lebih segar. Dua, elemen summoning yaitu monster pembantu untuk melawan musuh. Tiga, gorgeous beauty yang menghadirkan elemen sinematik yang membuat game ini tampak seperti film. Empat, elemen refinement yaitu perbaikan sistem permainan yang dianggap sebagai perkembangan dari game sebelumnya. Lima, elemen change and challenge berupa cerita baru, narasi baru, dan tantangan baru yang berbeda dengan game sebelumnya.

Tapi John Robertson dari Ars Technica UK menyebutkan bahwa seri terbaru Final Fantasy XV akan mengembalikan semua yang hilang dari game ini. Sambil berkelakar, juga setengah retoris, ia mempertanyakan kemungkinan seri ke 15 akan membuat Final Fantasy menjadi hebat kembali.

Jawabannya, menurut Hajime Tabata, sutradara Final Fantasy 15, adalah bagaimana Square Enix mau mendengar dan beradaptasi dengan penggemar mereka di Barat. Selama ini, game Final Fantasy selalu berporos pada jalan berpikir orang Jepang. Maka untuk bisa diterima oleh khalayak lebih luas, mereka mesti mengerti apa keinginan para penggemar game ini di luar Jepang.

Ambil contoh seri Final Fantasy XIII yang sangat Jepang-sentris. Meski mencatat penjualan yang cukup baik dengan 7 juta unit dengan nilai $693,5 juta, namun banyak kritik menyebutnya sebagai buruk, baik secara cerita maupun game play. Cerita yang susah dipahami, sistem permainan yang berganti, dan kualitas desain summoning monster dianggap jadi salah satu hal yang membuatnya kurang diterima.

Hajime Tabata menyebut masih ada ada pemain game yang tidak mengenal apa itu seri Final Fantasy. Ini merupakan peringatan yang penting. Selama ini Square Enix menganggap waralaba game Final Fantasy telah dikenal dunia, padahal game terus tumbuh, permainan baru berkembang, dan jika mereka masih bermalas-malasan maka niscaya akan disalip yang lain.

Ini yang membuat Hajime Tabata merasa bahwa perlu ada perubahan total paradigma bermain. Final Fantasy XV menghadirkan open world, sistem permainan yang lebih ramah dengan pemain pemula, dan tentu saja tanpa meninggalkan elemen Final Fantasy seperti summon dan magic.

Final Fantasy XV menjadi pertaruhan bagi Square Enix untuk merebut pasar gamer muda. Mereka akan bersaing dengan game ikonik lain seperti Red Dead Redemption II dan God of War. Sementara game generasi baru seperti Horizon Zero Dawn dan Resident Evil VII yang mengandalkan teknologi virtual reality juga sedang mengintai. Jika Final Fantasy XV tak bisa merebut hati para gamer generasi baru ini, bukan tak mungkin game ini akan tamat.

Baca juga artikel terkait FINAL FANTASY atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Teknologi
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS