tirto.id - Sebelum konsep Islam Nusantara bergulir, sudah banyak tokoh yang menegakkan Islam dengan damai dan toleran. Ajaran itulah yang melandasi Hasjim Asy'ari melahirkan Islam Nusantara.
Indonesia akan menjadi tuan rumah acara yang mempertemukan para pemimpin Islam moderat. Adalah Nahdatul Ulama (NU) yang akan panitia hajatan pertemuan pemimpin-pemimpin Islam moderat dunia pada 9 – 11 Mei 2016. Tak hanya untuk mempertemukan para pemimpin Islam moderat, acara itu juga ditujukan untuk memperkuat Islam Nusantara di Indonesia dan juga dunia. Presiden Joko Widodo sudah memberikan konfirmasi akan membuka acara tersebut.
Islam Nusantara sendiri pernah didengungkan oleh Ketua Nahdatul Ulama (NU) Said Agil Siradj, pada 14 Juni 2015 dalam Musyawarah Nasional Ulama NU di Masjid Istiqlal, Jakarta. Konsep Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam yang damai di Indonesia dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras.
Islam sudah hadir di Indonesia sejak ratusan tahun, tepatnya pada abad ke-7. Dakwah Islam masuk melalui perdagangan, perkawinan, seni budaya, dan juga pesantren dengan damai. Perlahan-lahan, Islam mulai diterima masyarakat Indonesia, berkat usaha penuh sabar dan damai para ulama atau para wali. Termasuk Wali Songo yang menyebarkan Islam di Jawa.
Ratusan tahun silam, masuknya Islam tidak berarti segala sisi kehidupan masyarakat Indonesia berubah total seperti di Arab, tempat Islam berasal. Mereka memang sudah percaya Allah SWT adalah Tuhan dan Muhammad adalah Rasul. Mereka tidak lagi makan babi yang diharamkan. Namun, mereka tidak meninggalkan budaya asli Indonesia yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Orang-orang Jawa yang sudah Islam masih suka wayang dan gamelan. Kesenian ini bahkan punya jasa penting dalam penyebaran Islam yang damai. Sunan Kalijaga menggunakannya untuk menyebarkan Islam melalui kesenian yang mengakar di Jawa itu.
Setelah ratusan tahun, nilai-nilai Islam yang dulu dibawa para wali itu tetap tumbuh. Pesantren, sistem pendidikan klasik Indonesia yang sudah ada sejak zaman Hindu, juga menjadi wadah penting dalam menjaga dan menyebarkan Islam di Indonesia. Ada banyak pesantren yang tersebar di Jawa. Tiap pesantren punya Kiai yang dihormati para santrinya. Hasyim Asyhari adalah salah satunya. Kakek dari mantan Presiden Indonesia keempat, Abdurahman Wahid (Gus Dur) adalah orang yang ikut menjaga hubungan Islam dengan budaya lokal Indonesia.
Hasyim Asyhari tentu identik dengan pesantrennya, Tebuireng, yang dia dirikan di Jombang. Sebagian kisah perjuangannya yang membela umat Islam dan Indonesia pernah difilmkan dalam Sang Kiai (2013).
Kiai Tebuireng
Hasyim Asyhari tidak dilahirkan di Jombang. Dia lahir di Demak, 10 April 1875 atau 140 tahun silam. Dia belajar mengaji dari ayah dan juga kakeknya. Sang kakek, Kiai Utsman adalah pimpinan Pesantren Nggedang, Jombang. Dia tergolong cerdas. Sejak usia 12 tahun dia ikut serta mengajari santri lain di pesantren yang dipimpin ayahnya. Sejak usia 15 tahun, Hasyim sudah berkelana, dari pesantren ke pesantren. Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Langitan (Tuban), Trenggalis (Semarang), Siwalan (Sidoarjo) dan juga Kedemangan (Bangkalan) pernah jadi tempat dia berguru.
Setelah menikahi putri salah satu gurunya, Hasyim naik haji, melengkapi rukun Islam yang kelima. Hasyim kemudian tinggal di Mekah selama tujuh tahun untuk memperdalam Islam. Hasyim setidaknya berguru pada: Syech Abbas Maliki, Syech Muhamad Mahfudz at Tarmisi, Syech Ahmad Amin Al-Athathar, Syech Said Yamani, Syech Rahmaullah, Syech Sholeh Bafadlal, juga Syech Ahmad Khatib yang asli Minangkabau.
Selain Hasyim tentu ada banyak orang Indonesia lain yang pergi ke Mekah untuk berhaji dan menimba ilmu-ilmu dari para syech di Mekah. Berhaji di zaman kolonial bukan hal mudah. Berlayar ke Mekah tidaklah sebentar, butuh waktu berminggu-minggu.
Calon jamaah haji harus membayar uang 110 gulden pada pemerintah kolonial sebelum berangkat. Peraturan itu termaktub dalam peraturan pemerintah besluit no 9 tahun 1825. Jika waktu berangkat mereka belum membayar, sepulang dari Mekah mereka akan dikenai denda dua kali lipatnya. Angka 110 Gulden, di tahun 1892, ketika Hasyim naik haji, bukan angka yang kecil. Aturan ini diterapkan untuk mencegah pengaruh-pengaruh dari luar yang bisa membahayakan pemerintah kolonial di Indonesia.
Sepulang dari Mekah, pada 1899, Hasyim mendirikan pesantrennya sendiri di desa Cukir, Jombang. Pesantren itu tak jauh dari areal perkebunan tebu yang berkembang. Awalnya, Pesantren Tebuireng sering dapat gangguan. Para santri sering diancam agar tidak menyantri dengan Kiai Hasyim lagi di tempat itu. Dalam situs tebuireng.org, disebutkan Hasyim lalu mengutus muridnya ke Kiai Benda di Cirebon. Beberapa kiai lain dikirim ke Tebuireng untuk mengajari para santrinya silat.
Meski sudah berguru ke Arab, bukan berarti Hasyim adalah orang yang dengan mudah terpengaruh oleh gerakan pembaruan Islam yang mulai berkembang di Arab Saudi. Hasyim pun akhirnya berusaha mempertahankan ajaran dari empat Mazhab Islam (Syafi'i, Hambali, Maliki, Hanafi) yang sudah lama mengakar di Indonesia. Hasyim bersama kiai lain akhirnya mendirikan Nahdatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926. NU punya basis masa yang loyal dan besar di sekitar Jawa Timur. Orang-orang NU di daerah itu bisa hidup rukun dengan penganut Kristen, Katolik, Kong Hu Cu, juga pada penganut kepercayaan lainnya, termasuk kejawen abangan (kepercayaan Asli Jawa).
Pewaris dan Penjaga Islam Nusantara
Menjelang akhir abad XIX, jumlah haji Indonesia semakin banyak. Dalam buku Sejarah Tokoh Islam (2004) disebutkan, pada tahun 1887, sekitar 43.000 desa di Indonesia telah memiliki 49.819 haji. Setidaknya ada satu haji tiap desanya. Sementara jumlah ulama mencapai 21.500 orang. Ini artinya, ada satu ulama di setiap dua desa.
Rupanya pemerintah kolonial melihat itu sebagai sebuah bahaya. Beberapa pemberontakan ternyata dipimpin oleh pemimpin bergelar haji. Misalnya pemberontakan petani Banten 1888. Sejarawan legendaris Indonesia, Sartono Kartodirjo, meneliti hal itu dan menjadikannya disertasi. Setelah Banten, pemberontakan yang terjadi di Cimareme, Garut tahun 1919, juga dipimpin seorang haji bernama Hasan. Sejumlah pemimpin yang bergelar haji juga ada yang dibuang ke Boven Digoel.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tak tinggal diam. Pengaruh Pan Islamisme yang kemungkinan besar dibawa para haji itu harus ditangkal oleh pemerintah kolonial. Seorang Orientalis pakar Islam Belanda, yang sudah naik haji dan hafal Al Qur'an, bernama Christian Snouck Horgronje pun dipekerjakan. Snouck merupakan penasihat pemerintah kolonial untuk urusan Islam dan pribumi di Indonesia. Ia juga pernah jadi mata-mata Belanda yang mencari cara mengalahkan orang-orang Aceh dalam Perang Aceh.
Snocuk pernah memberi nasehat pada pemerintah kolonial, bahwa pendidikan barat sangat diperlukan untuk menangkal pengaruh Islam dari para haji. Itulah mengapa kemudian pemerintah kolonial membangun banyak sekolah Belanda bagi anak-anak pribumi.
Sekolah-sekolah itu tampaknya bermaksud membaratkan orang-orang Indonesia. Beruntung, orang Islam di Indonesia punya orang macam Kiai Haji Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah pada 1912. Dahlan berhasil membuat sekolah yang mirip dengan sekolah Belanda. Namun, ada ajaran Islam yang diajarkan bersama dengan ilmu-ilmu modern. Sekolahnya punya meja dan kursi, tak lesehan seperti di pesantren. Akhirnya muncul orang-orang Islam di perkotaan yang terdidik secara modern.
Hasyim Asyhari terus dengan pesantrennya. Bukan berarti kolot, tapi menjaga tradisi. Belakangan, pesantren berkembang dengan memperluas kurikulum pelajaran mereka yang tak hanya pada pelajaran agama Islam semata. NU bahkan akhirnya punya sekolah juga, seperti yang pernah dibuat Muhammadiyah. Baik NU dan Muhammadiyah termasuk kelompok Islam yang toleran pada budaya abangan yang sudah berabad-abad hidup di Indonesia. Dua kelompok ini membuktikan Islam sebagai agama yang dibawa dengan damai, seperti yang dilakukan Wali Songo dan lainnya.
Hasyim Asyhari seperti juga cucunya yang pernah jadi Presiden RI, lebih menekankan toleransi pada yang berbeda. Cucunya adalah presiden yang membiarkan orang-orang Tionghoa merayakan hari besar mereka setelah dilarang Orde Baru. Ada beberapa tokoh Islam Indonesia yang berusaha bersikap toleran seperti cucu Hasyim, sebut saja Buya Syafi'i Ma'arif juga Kiai Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Mereka sering mengajak orang-orang Islam untuk toleran. Barangkali itulah bentuk semangat Islam Nusantara keluarga Hasyim Asyhari. Hidup damai di tengah perbedaan itu bukan mustahil, di samping juga sangat indah.