Menuju konten utama
(17 Juni 1923-15 Juli 1984)

Hasan Basry Dimurkai Sukarno karena Membekukan PKI

Presiden Sukarno pernah murka terhadap Hasan Basry karena membekukan PKI di Kalimantan Selatan. Hasan Basry juga mencetuskan Proklamasi Kalimantan pada 1949.

Hasan Basry Dimurkai Sukarno karena Membekukan PKI
Hasan Basry. ILUSTRASI/Gery

tirto.id - Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pemerintah berselisih paham pada 1960 itu. Situasi politik di tanah air pun memanas, tak terkecuali di Borneo. Tanggal 22 Agustus 1960, Hasan Basry selaku Penguasa Perang Daerah (Peperda) Kalimantan Selatan mengeluarkan surat pembekuan kegiatan PKI dan ormas-ormas pendukungnya.

Presiden Sukarno rupanya tak berkenan dengan tindakan Hasan Basry. Meski hubungan PKI dan pemerintah sedang kurang harmonis, presiden tidak ingin kondisi semakin memburuk. Bung Karno masih membutuhkan PKI yang menjadi salah satu pilar dalam konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) yang dicetuskannya tahun itu.

Presiden pun menegur Hasan Basry. Namun, mantan Pangdam X/Lambung Mangkurat kelahiran 1923 ini enggan menganulir keputusannya. Bahkan tindakannya diikuti oleh otoritas militer di Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Peristiwa inilah yang lantas dikenal dengan sebutan Tiga Selatan (Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan).

Panglima Teguh Pendirian

Saat diselenggarakan rapat Ketua Peperda se-Indonesia pada November 1960, Hasan Basry diminta oleh Presiden Sukarno untuk menjelaskan penolakannya mencabut pembekuan PKI di Kalimantan Selatan. Alex Dinuth (1997) dalam Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI menyebutkan sempat terjadi perdebatan antara kedua tokoh tersebut, tapi Hasan Basry tetap bersikukuh kepada keputusannya.

Selanjutnya, presiden kembali meminta Hasan Basry untuk patuh, sampai dua kali malah, tapi lagi-lagi tidak digubris. Posisinya cukup kuat karena saat itu ia juga duduk sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPR-S) sehingga Sukarno selaku mandataris tampaknya harus berpikir seribu kali jika ingin menindak tegas Hasan Basry.

Akhirnya, diputuskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Peperda Tiga Selatan, termasuk Hasan Basry di Kalimantan Selatan, terkait pembekuan PKI akan diambil-alih sendiri oleh Soekarno selaku Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) untuk penyelesaiannya (Hariyono, Penerapan Status Bahaya di Indonesia, 2008).

PKI akhirnya bisa beraktivitas lagi di tiga daerah itu pada 1961. Namun, Presiden Sukarno tampaknya masih kesal terhadap “pembangkangan” yang ditunjukkan oleh Hasan Basry. Dalam Pidato Kenegaraan saat peringatan hari kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1962, Bung Karno meluapkan kemurkaannya:

“…masih ada satu daerah, yang di situ itu belum dapat dibentuk Front Nasional Daerah karena adanya orang-orang yang Komunisto Phobi. Kepada mereka itu saya berkata: Suatu hari akan datang yang saya melihat segala usahamu gagal. Dan mungkin satu hari akan datang, yang engkau harus menebus kejahatanmu itu di dalam penjara, atau tiang penggantungan!” (Soekarno, Tahun Kemenangan [A Year of Triumph], 1962).

Pencetus Proklamasi Kalimantan

Lantas, bagaimana nasib Hasan Basry selanjutnya lantaran berkonfrontasi langsung dengan Sukarno sang presiden? Ternyata, ia tetap baik-baik saja. Statusnya sebagai anggota MPR-S, ditambah dukungan penuh dari sebagian besar publik Kalimantan, tampaknya menjadi benteng pelindung yang cukup ampuh bagi Hasan Basry.

Tanggal 17 Mei 1961, bertepatan dengan peringatan Proklamasi Kalimantan yang dulu dicetuskan Hasan Basry pada 17 Mei 1949, segenap elemen masyarakat dan militer Borneo menetapkannya sebagai Bapak Gerilya Kalimantan.

Pengangkatan tersebut didukung oleh parlemen daerah yakni DPR-GR Daerah Tingkat II Hulu Sungai Utara, yang pada 20 Mei 1962 mengukuhkan penetapan Hasan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan melalui surat keputusan resmi (Artum Artha & ‎Syamsiar Seman, Hassan Basry Bapak Gerilya Kalimantan Pejuang Kemerdekaan, 1999).

Hasan Basry memang pencetus Proklamasi Kalimantan pada 17 Mei 1949 yang menegaskan bahwa Kalimantan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI. Saat itu, sesuai Perjanjian Linggarjati, Kalimantan dinyatakan tidak termasuk wilayah RI karena yang diakui Belanda secara de facto hanya Jawa, Madura, dan Sumatera.

Hasil kesepakatan di Linggarjati itu ditentang oleh Hasan Basry dengan menyerukan Proklamasi Kalimantan 1949 (Ramli Nawawi, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Kalimantan Selatan, 1991). Isinya adalah sebagai berikut:

PROKLAMASI

Merdeka! Dengan ini kami rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan mempermaklumkan berdirinya Pemerintahan Gubernur Tentara dari “ALRI” melingkungi seluruh daerah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Republik Indonesia, untuk memenuhi isi Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Hal-hal yang bersangkutan dengan pemindahan kekuasaan akan dipertahankan dan kalau perlu diperjuangkan sampai tetes darah yang penghabisan. Tetap merdeka!

Kandangan,17 Mei IV Rep.

Atas nama rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan

Gubernur Tentara

Hasan Basry

Infografik Hasan Basry

Mengabdi Hingga Akhir Hayat

Sebagai seorang tentara dan pejuang republik, Hasan Basry memang sangat teguh mempertahankan prinsip yang diyakininya, termasuk menentang kesepakatan dalam Perjanjian Linggarjati, bahkan berani berpolemik langsung melawan Presiden Sukarno terkait pembekuan PKI di Kalimantan Selatan.

Hasan Basry menuntaskan tugasnya sebagai anggota MPR-S hingga akhir periode, yakni tahun 1966, tidak lama setelah meletusnya tragedi Gerakan 30 September 1965 yang mengakhiri riwayat PKI sekaligus sebagai sinyal mulai runtuhnya rezim Orde Lama pimpinan Sukarno.

Ketika kendali pemerintahan mulai diambil-alih oleh Soeharto dengan Orde Baru-nya, Hasan Basry sudah memasuki masa pensiun kendati ia masih dipercaya menjadi Ketua Umum Harian Angkatan 45 Kalimantan Selatan sekaligus Dewan Paripurna Angkatan 45 Pusat, serta Dewan Paripurna Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia (Artha & Seman, 1999).

Hasan Basry tetap setia pada republik. Di usia yang menjelang senja, ia belum turun panggung karena masih ingin mengabdi untuk negara meskipun bukan lewat jalan militer lagi. Berbekal pengalaman sebagai anggota MPR-S, ia memilih jalur politik. Pada masa Orde Baru, salah seorang pendiri Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin ini menjadi anggota DPR periode 1978-1982.

Setelah masa baktinya sebagai wakil rakyat usai, Hasan Basry mulai sakit-sakitan karena usia yang semakin renta. Tanggal 15 Juli 1984, Bapak Gerilya Kalimantan ini wafat setelah menjalani perawatan intensif di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Hasan Basry dimakamkan tanah leluhur yang selalu diperjuangkannya, Kalimantan Selatan.

Tanggal 3 November 2001, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah Republik Indonesia menganugerahi Hasan Basry dengan gelar Pahlawan Kemerdekaan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani