Menuju konten utama
B.M. Diah & Harian Merdeka

Harian Merdeka Bersiasat Meniti Revolusi & Menyongsong Era Baru

Di masa Revolusi, Merdeka harus berkelit dari teror Belanda. Memilih tetap independen di masa damai.

Harian Merdeka Bersiasat Meniti Revolusi & Menyongsong Era Baru
Pengunjung mengamati koleksi koran yang dipamerkan saat pameran titi mongso koran dan majalah tempo dulu di Bentara Budaya Yogyakarta, Rabu (4/7/2018). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

tirto.id - (Bagian kedua dari empat serial. Sebelumnya bisa dibaca di sini: Revolusi Butuh Pelantang, Lahirlah Harian Merdeka)

=====

Di tahun pertama beroperasi, harian Merdeka sudah harus menghadapi kemelut internal. Koran yang edisi perdananya terbit pada 1 Oktober 1945 ini masih pula harus berhadapan dengan badai Revolusi.

Sejak akhir 1945, Jakarta praktis terkepung dan dikuasai administrasi NICA. Orang-orang Belanda yang dulu melarikan diri atau ditawan Jepang di berbagai kamp kini bebas dan mulai mengambil kembali aset-asetnya yang ditinggalkan saat pendudukan. Tak kecuali Metzelaar, empunya percetakan De Unie yang sejak Oktober telah digunakan B.M. Diah dkk. secara sepihak untuk mencetak Merdeka.

Ini jelas merepotkan. Setelah diusir Metzelaar, Diah terpaksa memindahkan proses pencetakan Merdeka ke Percetakan Negara di Gang Tengah, Salemba. Namun, masalah tak berarti selesai.

Perubahan politik pasca-Perundingan Linggardjati ikut berdampak pada Merdeka yang gigih membela Republik. Bersamaan dengan Agresi Militer Belanda I, kantor Merdeka di Salemba Tengah diduduki dan disegel pada 21 Juli 1947. Tiga bulan lamanya Merdeka tidak terbit, sampai dapat meluncur kembali pada 1 Oktober 1947.

Meski pernah merasai hantaman Belanda, Merdeka tetap keras terhadap Belanda. Tentu tidak secara terang-terangan. Awak redaksi berkelit dengan memberi porsi pemberitaan yang lebih banyak mengulas tekanan-tekanan luar negeri terhadap tindakan Belanda yang dinilai kelewat batas.

Awak Merdeka lagi-lagi terpaksa berpindah ke percetakan milik R.H.O. Djoenaedi di bilangan Senen. Djoenaedi sendiri merupakan penerbit surat kabar Pemandangan yang ditutup saat Jepang masuk.

Selama periode berpindah-pindah percetakan ini, teror NICA pun turut menghantui. Lama-lama, awak Merdeka jadi kesulitan bekerja. Namun, mereka bertahan.

Situasi yang panas, revolusi menentang penindasan yang mengawali ide penerbitan ini ternyata membuat Merdeka makin kuat dalam mempertahankan garis dan misinya sebagai koran perjuangan, koran rakyat, sesuai dengan cita-cita proklamasi,” catat Soebagijo I.N. dalam bunga rampai Jagat Wartawan Indonesia (1981, hlm. 473).

Karena situasi yang kian runyam, awak Merdeka musti bersiasat. Salah satunya dengan membentuk unit cadangan untuk mengantisipasi kemungkinan diberedel Belanda. Harian Merdeka kemudian terbit dalam dua edisi, yakni edisi Jakarta dan edisi Yogyakarta.

Edisi Yogyakarta diterbitkan dari Surakarta. Di kota itu, redaksi Merdeka berkegiatan di sebuah bekas asrama di Jalan Setjojudan nomor 70 dan 70A.

Kantor berupa toko. Tidak besar. Pekerjaan set dilakukan di pinggir sumur di belakang toko. Membuat klise harus melalui studio foto milik seorang Tionghoa. Mesin cetak memakai percetakan Boedi Oetama yang dimiliki Karesidenan Surakarta. Kalau listrik mati, terpaksa mesin diputar dengan tangan,” catat Toeti Kakiailatu dalam biografi B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa (1997, hlm. 143).

Meniti Revolusi

Mujur, dalam dua bulan, Merdeka edisi serep itu berhasil meraih tiras 15.000 eksemplar per hari. Meski demikian, Merdeka edisi serep tidak pernah tampil prima karena keadaan serba terbatas. Dari sisi teknis, pencetaknya sering kehabisan tinta sehingga terpaksa menggantinya dengan abu lampu teplok dicampur minyak serai.

Kala stok kertas koran habis, awak Merdeka menggunakan kertas merang sebagai gantinya. Warnanya pun tak seragam, mulai dari putih, biru, sampai abu-abu. Maka jangan heran perwajahan Merdeka edisi pedalaman ini belang-bonteng.

Kualitas cetak yang ala kadarnya itu sempat menuai komentar negatif dari pembacanya. Namun, bukan wartawan namanya kalau kehabisan akal. Penampakan koran yang tidak karuan itu dikompensasi dengan penambahan foto-foto sebagai pengganti tulisan yang kabur. Paling tidak, itu membuat isi koran tidak terlalu suram.

Dari daerah pendudukan, Merdeka tekun mengikuti dan mengomentari lintasan peristiwa yang dilewati bayi Republik. Dengan tetap memihak Republik, garis editorial yang garang diatur naik-turun sesuai irama kebijakan Belanda agar jangan diberangus.

Pada masa inilah, Merdeka ikut membela dwitunggal Sukarno-Hatta dalam Peristiwa Madiun 1948, mengkritik konstruksi Perundingan Roem-Roijen yang dianggap kurang signifikan dibandingkan Linggardjati dan Renville, hingga merayakan kembalinya Sukarno-Hatta ke Yogyakarta.

Pada paruh akhir 1949, Diah selaku pemimpin redaksi pun ikut serta dalam rombongan delegasi Indonesia ke Belanda. Dia meliput jalannya Konferensi Meja Bundar di Bangsal Ksatria (Ridderzaal), Binnenhof, Den Haag.

Infografik Merdeka di Era Revolusi

Infografik Merdeka di Era Revolusi. tirto.id/Fuad

Memasuki Zaman Baru

Sesudah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada akhir 1949, Merdeka kembali bernapas. Ia memasuki alam baru yang ditandai ramainya pasar koran di Indonesia, baik di Jakarta maupun di daerah.

Merdeka memiliki cukup banyak kompetitor di lingkup nasional, seperti Pedoman, Indonesia Raya, Keng Po, dan Sin Po. Koran berbahasa Belanda, Java Bode, yang waktu itu masih diperkenankan beredar pun ikut meramaikan belantika pers di Indonesia.

Menyadari tidak bisa bertahan dengan satu sayap koran, Diah lantas menerbitkan harian berbahasa Inggris The Indonesian Observer. Kepemimpinan redaksinya diserahkan pada istrinya, Herawati Diah. Tak hanya itu, Diah juga merambah segmen baru dengan menerbitkan majalah Keluarga dan majalah Merdeka.

Semuanya diterbitkan di bawah naungan N.V. Merdeka Press yang berkantor di Jalan A.M. Sangaji nomor 11, Petojo, Jakarta Pusat. Demi menyangga semua penerbitan itu, unit percetakan Massa Merdeka ikut didirikan. Massa Merdeka juga menjadi percetakan langganan beberapa harian ibu kota pada masanya.

Pertumbuhan pasar surat kabar kompetitor itu berlangsung serempak dengan kebangkitan jurnalisme politik yang segenderang-sepenarian dengan gemuruh Demokrasi Parlementer era 1950-an.

Koran waktu itu mengemban fungsi ganda: menjadi media informasi dan komunikasi, sekaligus sarana propaganda partai-partai yang secara langsung maupun taklangsung ikut mendanai penerbitan koran.

Ini terlihat dari gambaran kuantitatif pasaran surat kabar 1950-an: 22,22 persen dikuasai oleh surat kabar independen, sisanya dibagi antara surat kabar partai berkecenderungan komunis (28,57 persen), sosialis (18,14 persen), Islam (11,56 persen), dan nasionalis (19,5 persen),” tulis Evi Mariani dalam artikel “Vox Pers, Vox Partai” yang dimuat majalah Pantau (Juli 2001).

Di tengah situasi tersebut, harian Abadi yang dieditori Suardi Tasrif menjadi surat kabar pertama yang menyatakan afiliasinya pada Partai Masjumi. Saat iklim politik menghangat mendekati Pemilihan Umum 1955, koran-koran ini mulai mendengungkan suara partai masing-masing, dari Harian Rakjat yang mengibarkan panji Partai Komunis Indonesia; Pedoman dan Keng Po yang melantunkan langgam politik Partai Sosialis Indonesia; Duta Masjarakat yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama; dan Suluh Indonesia yang diongkosi Partai Nasional Indonesia.

Merdeka memilih melawan arus zaman dengan tidak mempautkan diri pada satu partai, meski Diah secara pribadi adalah simpatisan PNI. Independensi ini menjadi kemewahan untuk ukuran saat itu. Satu-satunya kawan Merdeka waktu itu hanyalah Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis dan dianggap dekat dengan korps Angkatan Darat.

Maka tidak mengherankan saat koran-koran partisan mengalami pertumbuhan tiras sangat cepat, Merdeka yang independen membesar secara pelan-pelan. Ia tidak sungkan menjadi koran alit di antara koran-koran lain yang cepat membesar.

Bersambung...

Baca juga artikel terkait SURAT KABAR atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi