Menuju konten utama

Hakim Adhi Diharapkan Bisa Menangkan Gugatan Nelayan

Hakim Ketua Adhi Budhi Sulistyo kembali didapuk untuk memutuskan gugatan proyek reklamasi Pulau F, I, dan K. Dianggap jujur dan berpihak pada nelayan, penggugat berharap Hakim Adhi dapat memenangkan gugatan dan memberikan keadilan.

Hakim Adhi Diharapkan Bisa Menangkan Gugatan Nelayan
Seorang nelayan Muara Angke yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) mengikuti aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Kamis (3/11). Aksi nelayan tersebut menuntut agar pemerintah mencabut izin lingkungan reklamasi Teluk Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

tirto.id - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) akan membacakan putusan sidang gugatan proyek reklamasi Pulau F, I, dan K. ‎Hakim Ketua Adhi Budhi Sulistyo pun kembali didapuk untuk memutuskan gugatan bernomor 15/G/LH/2016/PTUN.JKT itu. Belum diketahui pasti, gugatan itu akan dimenangkan penggugat yakni Komunitas Nelayan Tradisional Indonesia dan Walhi atau Pemprov DKI Jakarta selaku tergugat.

Menanggapi hal itu, Ketua Komunitas Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Iwan Carmidi berharap hakim mengabulkan gugatan mereka. Ia tidak memungkiri ingin agar hakim memberikan putusan yang sama dengan keputusan PTUN tahap pertama tentang Pulau G.

"‎Mudah-mudahan hakim ini konsisten. Jadi mudah-mudahan dia jujur dan berpihak pada nelayan dan pihak tertindas," ujar Carmidi di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara, Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur‎, Kamis (16/3/2017).

Carmidi menuturkan, ia optimistis memenangkan gugatan Pulau F, I, dan K karena saksi para nelayan lengkap selama proses persidangan. Sementara itu, saksi dari pengembang tidak lengkap. Dalam proses persidangan gugatan, saksi pengembang dan gubernur hanya dihadiri oleh saksi ahli dan saksi peneliti.

"Kalau nelayan dikalahkan, dasarnya dari mana?" tegas Carmidi.

Ia mengungkapkan pihaknya akan terus menolak reklamasi baik menang maupun kalah. Penolakan reklamasi dinilai penting karena nelayan telah dirugikan selama dua tahun.‎ Ia mengklaim, mata pencarian para nelayan di Teluk Jakarta sudah dirampas.

Budidaya kerang mereka juga tidak berkembang. Carmidi mengklaim hanya bisa membawa 3-4 kilogram akibat reklamasi. Padahal, pria yang sudah melaut 20 tahun ini mengatakan, nelayan bisa mendapat 15 sampai 65 kilogram ikan.

"Setelah reklamasi ini terhenti lama, agak mendingan. Ada yang dapat 15-20 [kilogram]. Biota laut agak subur. Nggak diaduk-aduk lautnya," kata Carmidi.

Tak hanya merampas mata pencaharian, air pun menjadi semakin keruh akibat reklamasi. ‎Kehadiran reklamasi membuat limbah yang sudah mengalir ke Teluk Jakarta diklaim menjadi lebih buruk.

"Adanya reklamasi membuat limbah itu tidak bisa dicerna," klaim Carmidi.

Meskipun limbah sudah ada di lingkungan Teluk Jakarta, Carmidi menerangkan limbah tersebut masih bisa dicerna oleh air laut. Biota-biota laut pun masih bisa hidup‎ saat belum ada reklamasi. Berkaca dari dampak itulah, KNTI akan tetap menggugat hingga reklamasi terhenti.

"Tetap akan menolak sampai nanti terhenti reklamasi," tegas Carmidi.‎

Sementara itu, Legal Officer Kiara Rosiful Amirudin berharap, majelis hakim yang dipimpin Adhi Budhi Sulistyo ini bisa memberikan putusan yang adil dan sesuai fakta.

‎"Saya berharap majelis hakim ‎memberikan keadilan yang seadil-adilnya dengan melihat kondisi masyarakat di Muara Angke khususnya," kata Rosiful saat ditemui di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara, Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur‎.

Senada dengan KNTI, Rosiful juga berharap kemenangan gugatan F, I, dan K. Optimisme KIARA beserta tim Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta berasal dari jumlah bukti dan saksi yang hadir. Mereka membawa bukti kurang lebih 109 bukti, menghadirkan 5 orang saksi ahli, dan 6 orang nelayan.

Selain itu, objek sengketa, yakni SK Reklamasi dinilai cacat hukum karena tidak berdasarkan ketentuan hukum. Pemprov DKI Jakarta dinilai overlap karena izin reklamasi dipegang Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ia beralasan, reklamasi tidak sekadar masalah Jakarta sehingga pemerintah pusat yang harusnya mengeluarkan izin tersebut.

Kalau keputusan Hakim Adhi berbeda dengan gugatan sebelumnya, Rosiful mengaku mereka akan tetap memproses hukum gugatan terhadap Pulau F, I, dan K.

‎"Kita akan melawan kembali. Kita akan melanjutkan proses itu kembali," kata Rosiful.

Sebelumnya di tahun 2016 silam pernah diadakan pula sidang gugatan reklamasi untuk Pulau G. Saat itu, KNTI mendaftarkan gugatan terkait SK Pemberian Izin reklamasi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 15 September 2015 lalu. Mereka menggugat Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.

Dalam gugatan yang diberikan kepada PTUN, pihak penggugat menyatakan bahwa Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 tanggal 23 Desember 2014 objek gugatan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 40/PRT/M/ 2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai.

Kemudian di tahun 2016, Hakim Ketua Adhi Budhi Sulistyo memberikan keputusan dalam sidang yang digelar di PTUN, Selasa (31/5/2016). Hakim menetapkan bahwa tergugat harus menunda pelaksanaan keputusan Gubernur DKI Jakarta sampai berkekuatan hukum tetap.

Hakim juga membebankan biaya perkara Rp315 ribu kepada tergugat dan tergugat intervensi, yakni PT Muara Wisesa Samudra.

Namun kemenangan para nelayan di persidangan tersebut sebelumnya diwarnai dengan aksi penyegelan Pulau G oleh para nelayan. Tepatnya hari Minggu 17 April 2016, Ketua KNTI Riza Damanik mengungkapkan alasan nelayan hanya menyegel Pulau G. Salah satu alasannya ialah karena aksi penyegelan kali ini merupakan aksi simbolik.

Baca juga artikel terkait REKLAMASI TELUK JAKARTA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari