Menuju konten utama

Gula Rafinasi Langka di Jatim, APEI Minta Permenperin Dikaji Ulang

Sejumlah industri makanan dan minuman mengalami kelangkaan gula rafinasi, APEI meminta Permenperin No.3/2021 dikaji ulang.

Gula Rafinasi Langka di Jatim, APEI Minta Permenperin Dikaji Ulang
Ilustrasi industri makanan, ANTARA FOTO/Adeng Bustomi.

tirto.id - Sejumlah industri makanan dan minuman mengalami kelangkaan gula rafinasi hingga membuat sistem produksi terpaksa berhenti. Ketua Asosiasi Pesantren Entrepreneur Indonesia (APEI) Muhammad Zakki menjelaskan pabrik gula rafinasi di Jatim tidak bisa memasok industri makanan minuman karena ketidaktersediaan bahan baku gula mentah.

Industri makanan minuman di Jawa Timur harus membeli gula rafinasi pada pabrik-pabrik gula rafinasi yang berlokasi di luar Jatim, seperti di Banten dan Lampung dengan biaya yang tinggi. Hal itu disebabkan pabrik-pabrik gula di Jawa Timur tidak ada satu pun yang mendapatkan kuota impor gula. Sebab, terkendala dengan ketentuan yang ada pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional.

"Kalau saya amati, peraturan ini dipaksakan. Karena ada klausul dalam pasal tersebut diberlakukan impor raw sugar untuk rafinasi sebelum tanggal 25 Mei 2010. Ini menurut saya pemaksaan, jadi tidak fair dan akan terjadi monopoli, oligopoli, keberpihakan, persaingan tidak sehat," kata Zakki dalam webinar Kebijakan Impor Gula dan Nasib Industri Makanan dan Minuman Jawa Timur, yang dipantau di Jakarta, Rabu (7/4/2021).

Dia menerangkan saat ini banyak UMKM di sektor makanan dan minuman yang dijalankan oleh para santri mengalami kesulitan mendapatkan gula sebagai bahan baku utama produksi.

Terlebih lagi, kata Zakki, di masa bulan suci Ramadhan dan menjelang Idul Fitri biasanya permintaan terhadap produk makanan dan minuman meningkat. Dia menyebutkan pelaku UMKM akan kehilangan momen tersebut karena langkanya gula rafinasi di Jawa Timur. Ia meminta kebijakan ini perlu dikaji ulang.

"Aturan itu harus dikaji kembali. Ini pemicu awal sehingga pergolakan industri gula dan untuk suplai di Jawa Timur tidak lagi sekadar langka, tapi tidak ada gula rafinasi," ujar Zakki.

Zakki menilai Permenperin Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional hanya mengizinkan perusahaan gula kristal rafinasi yang memiliki izin usaha industri (IUI) dan persetujuan prinsip sebelum 25 Mei 2010 melakukan importasi gula mentah impor.

Hal senada dikatakan Ketua Kelompok Kajian Interdependensi dan Penguatan Komunitas Lokal Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Cholichul Hadi dalam sambutannya mengatakan, perubahan Permenperin No 3/2021 sama sekali tidak mencerminkan esensi utama dari peraturan tersebut tentang jaminan ketersediaan bahan baku industri gula dalam rangka pemenuhan kebutuhan gula nasional.

Peraturan tersebut justru mematikan industri pengguna karena tidak memperoleh jaminan pasokan gula rafinasi sebagaimana yang terjadi sebelumnya.

“Jika industri mamin Jawa Timur harus mengupayakan pasokan gula rafinasi dari luar Jawa Timur, biaya operasionalnya akan membengkak, waktu yang dibutuhkan untuk supply-nya lebih lama dan tidak kompetitif,” ujar dia.

Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan ada sejumlah pasal dalam aturan tersebut kurang tepat. Yaitu isi dari pasal 10 Permenperin tersebut dimana penyusunan rencana kebutuhan raw sugar sebagai bahan baku untuk jangka waktu satu tahun dapat dikoordinasikan dengan kementerian/lembaga terkait.

Padahal setidaknya dibutuhkan koordinasi antar 3 kementerian yakni Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian BUMN dan Kementerian Pertanian. Dengan substansi pasal 10 Permenperin akan melemahkan fungsi koordinasi.

"Penyusunan kebutuhan yang dilakukan oleh Dirjen yang bersangkutan di Kementerian Perindustrian akan tidak ada kewajiban untuk melakukan [pembahasan bersama]. Harusnya ini ada kata wajib, bukan dapat, sehingga ini membuka celah koordinasi dan impor kapan saja bisa tidak terkendali tanpa ada koordinasi," ujar Tauhid diskusi yang sama.

Kemudian isi pasal 3, terdapat perubahan tempat pemasukan impor gula kristal mentah, tidak diperlukan perubahan rekomendasi. Hal ini dinilai membuka celah rembesan dan celah mal administrasi.

Isi dari pasal 3 sebaiknya direvisi dengan mempertimbangkan aspek persaingan usaha yang sehat hingga tertib administrasi dan koordinasi antar kebijakan. Pelaku usaha juga bisa mengajukan keberatan ke KPPU dan Ombudsman sehingga terdapat kepastian usaha yang berkeadilan bagi semua pihak.

Baca juga artikel terkait GULA RAFINASI atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri