Menuju konten utama

Inovasi KMS-PPL dalam Kebijakan Pendanaan Hijau di Indonesia

KMS-PPL didukung The Asia Foundation (TAF) menginisiasi Ecological Fiscal Transfer (EFT) sebagai salah satu inovasi pendanaan lingkungan hidup.

Inovasi KMS-PPL dalam Kebijakan Pendanaan Hijau di Indonesia
Pengembangan Ekowisata Dolli Bungaeja oleh Bumdes di Desa Wisata Tukamasea Kabupaten Maros, membuat desa ini memperoleh skor tinggi dalam indikator kinerja ekologisnya, sehingga mendapat alokasi anggaran yang optimal. foto/istimewa

tirto.id - Sejak 2017, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Perlindungan Lingkungan (KMS-PPL) dengan dukungan The Asia Foundation (TAF) telah menginisiasi penerapan model Ecological FiscalTransfer (EFT) sebagai salah satu inovasi pendanaan lingkungan hidup di daerah.

Model EFT dirumuskan dalam bentuk skema insentif transfer fiskal dari pemerintah daerah kepada pemerintah yang berada di bawahnya dalam jurisdiksi yang sama. Pemberian insentif diberikan berdasarkan kinerja ekologis yang terukur, sesuai kewenangan yang dimiliki, dengan tujuan dan manfaat bagi pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan rendah karbon.

Skema EFT di daerah ada tiga bentuk, yaitu Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE), dan Alokasi Anggaran Kelurahan berbasis Ekologi (ALAKE). Untuk tingkat nasional, skema dikenal sebagai Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE).

Hingga saat ini, sudah 40 pemerintah daerah, baik level provinsi, kabupaten dan kota yang mengadopsi EFT ke dalam kebijakan di daerah. Dari jumlah tersebut, 5 Provinsi telah memiliki peraturan TAPE, 31 Kabupaten memiliki peraturan TAKE, dan 4 Kota telah memiliki peraturan ALAKE.

Anggaran EFT secara agregat yang telah dialokasikan daerah mencapai Rp298 miliar. Selain itu, saat ini terdapat 24 pemerintah daerah yang sedang didorong untuk menerapkan konsep ini ke dalam kebijakan, seperti Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Kabupaten Aceh Besar, Banyuasin, Bulukumba, Sinjai, dan Kota Pekalongan.

Upaya-upaya Teknokratis untuk Adopsi dan Replikasi EFT

Sejak pertengahan 2023, Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah dan Direktorat Jenderal Keuangan Daerah, mengapresiasi inovasi yang telah dilakukan berbagai daerah dan mendorong untuk mereplikasi inovasi ini di daerah lain. Dengan dukungan Ford Foundation dan KMS-PPL, beberapa langkah untuk adopsi yang lebih luas telah dilakukan.

Pertama, praktik-praktik baik yang telah dilakukan didokumentasikan dalam dokumen Petunjuk Teknis tentang Tata Cara Penerapan Insentif Kinerja berbasis Ekologis (IKE) di daerah. Dokumen ini memuat rincian tahapan-tahapan yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menerapkan IKE ke dalam kebijakan. Pemerintah Daerah, baik level Provinsi, Kabupaten dan Kota dapat mempedomani dokumen ini dalam menerapkan kebijakan IKE.

Kedua, Kebijakan Insentif Kinerja berbasis Ekologis melalui skema TAPE, TAKE dan ALAKE dimasukkan menjadi instrumen anggaran Lingkungan Hijau dalam Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Ranpermendagri) tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2025. Permendagri ini akan menjadi acuan bagi Pemda dalam menyusun APBD tahun anggaran 2025.

Body Artikel Paritto 1

Walikota Dumai, H. Paisal, MARS, memberikan penghargaan kepada Kelurahan dengan Kinerja Tinggi, merujuk kepada penghitungan Alokasi Anggaran Kelurahan Berbasis Ekologi (ALAKE) 2023-2024. foto/Dok. Istimewa

Diharapkan, hadirnya dokumen Juknis IKE dan pengaturan dalam Permendagri Pedum APBD dapat mendorong Pemda untuk mengembangkan kebijakan IKE untuk pengelolaan ekologis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Penerapan IKE oleh Pemda juga diharapkan dapat mendorong pengelolaan ekologis yang responsif gender sehingga dapat meningkatkan akses dan partisipasi perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam menerima manfaat pembangunan.

Di level nasional, adopsi EFT dilakukan dengan skema Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE). Skema ini dilakukan melalui kebijakan Insentif Fiskal (dulu namanya Dana Insentif Daerah) serta pengalokasian DBH Dana Reboisasi dan perluasan penggunaannya untuk pemberian insentif lingkungan hidup dan kehutanan. Tidak hanya itu, gagasan insentif kinerja lingkungan hidup telah mendorong arah baru kebijakan transfer ke daerah.

Peluang Pengembangan Skema Baru Pembiayaan Lingkungan

Hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), yang diturunkan dalam Peraturan Pemerintah No 1. Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional (PP HKFN) telah memberikan ruang bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menerapkan Insentif Kinerja berbasis Ekologis.

Mengusung redesain desentralisasi fiskal yang berkeadilan, transparan, akuntabel, dan berkinerja, dalam kedua regulasi itu terdapat beberapa pengaturan yang beririsan dengan isu pembiayaan lingkungan.

Beberapa kebijakan terkait insentif fiskal berbasis ekologi dalam UU HKPD dan PP HKFN di antaranya:

Pertama, penentuan alokasi DAU memperhitungkan karakteristik wilayah daerah konservasi hutan.

Kedua, 10% DBH pajak dan SDA ditransfer berdasarkan kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung, antara lain optimalisasi penerimaan negara (pajak pusat dan PNBP) dan/atau kinerja pemeliharaan lingkungan (pengelolaan lingkungan dan energi ramah lingkungan).

Ketiga, hadirnya jenis DBH baru yaitu DBH Perkebunan Sawit.

Keempat, pemberian insentif fiskal oleh pemerintah pusat kepada Daerah berdasaarkan kriteria tertentu dan pencapaian kinerja Pemerintahan Daerah.

Kelima, Pemerintah Daerah dapat membentuk dan mengelola Dana Abadi Daerah (DAD) melalui badan layanan umum daerah (BLUD).

Di samping itu, UU HKPD juga mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan creative and sustainable financing berbasis kerja sama melalui skema sinergi pendanaan dari APBD (PAD, TKD dan pembiayaan utang daerah) maupun selain dari APBD (pihak swasta, BUMN, BUMD, dan/atau Pemerintah Daerah lainnya).

Selain pendanaan yang bersumber dari APBN dan APBD, instrumen pembiayaan lainnya seperti skema perdagangan karbon yang telah diatur melalui Perpres No. 98 Tahun 2021 dan PermenLHK No. 21 Tahun 2022, berpeluang sebagai pembiayaan lingkungan hidup dan penurunan emisi karbon.

Potensi ekonomi dari perdagangan karbon diperkirakan mencapai US$565,9 miliar atau setara Rp8.000 triliun yang berasal hutan tropis (Rp1.780 triliun), hutan mangrove (Rp2.333 triliun), dan lahan gambut (Rp3.888 triliun).

Berbagai peluang baru skema pembiayaan lingkungan hidup dan penurunan emisi karbon tersebut tentu saja menjadi pemicu sekaligus tantangan baru bagi masyarakat sipil dalam mendorong pengembangan pembiayaan lingkungan hidup dari dana publik dan non publik serta pengintegrasiannya dengan skema EFT di tingkat nasional dan subnasional. Apalagi, Kementerian Dalam Negeri sangat mendukung dan mendorong Kepala Daerah untuk melakukan percepatan penyusunan regulasi terkait kebijakan EFT (TAPE, TAKE dan ALAKE).

Dengan mempertimbangkan berbagai hal penting di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Perlindungan Lingkungan (KMS-PPL) didukung oleh Ford Foundation dan The Asia Foundation akan menyelenggarakan acara Konferensi Nasional Ecological Fiscal Transfer (EFT) ke-5 di tahun 2024 ini dengan mengangkat tema “Memperkuat Kontribusi Masyarakat Sipil dalam Reformasi Kebijakan Pendanaan Hijau di Indonesia”.

Melalui konferensi ini diharapkan dapat menghasilkan berbagai rekomendasi penting mengenai potensi-potensi peluang dan strategi implementasi atas berbagai opsi pendanaan lingkungan hidup, termasuk skema EFT untuk mencapai target perubahan iklim dan pembangunan rendah karbon di Indonesia.

Konferensi dilaksanakan di Jakarta pada 24-26 Juli 2024, yang akan dihadiri oleh 250 peserta yang berasal dari Kementerian maupun Lembaga yang terkait, perwakilan pemerintah daerah dan asosiasi pemerintah daerah, lembaga pembangunan internasional, akademisi dan pusat studi, media massa, dan tentu saja berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk jaringan dari KMS-PPL sebagai motor utama prakarsa ini.

Selain berisi rangkaian lokakarya dan diskusi, Konferensi EFT ditutup dengan Aksi Penanaman Pohon di Ecowisata Mangrove PIK Jakarta, yang akan melengkapi berbagai rekomendasi dalam konferensi, sebagai wujud komitmen dan kepedulian KMS-PPL terkadap upaya-upaya pelestarian.

Anggota aktif dari KMS PPL hingga saat ini adalah Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Pilar Nusantara (PINUS), Indonesia Budget Center (IBC), Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau, JARI Indonesia Borneo Barat, dan Yayasan Sikola Mombine.

(INFO KINI)

Penulis: Tim Media Servis