Menuju konten utama

Gali Lubang Tutup Lubang Akibat Beban Utang Masa Silam

Persoalan utang pemerintah jadi isu yang sensitif bagi suatu pemerintahan yang berkuasa. Padahal jumlah utang yang terjadi sekarang bagian dari rangkaian panjang masa lalu, yang tak terpisahkan dari pemerintahan sebelumnya.

Gali Lubang Tutup Lubang Akibat Beban Utang Masa Silam
Mahasiswa Universitas Syiah Kuala dan Universitas Islam Negeri (UIN) Aceh membentangkan spanduk saat berunjuk rasa di gedung DPRA, Banda Aceh, Senin (24/10). Mereka mengecam keputusan DPRA dalam sidang pleno yang menyetujui usulan pemerintah Aceh melakukan pinjaman atau utang sebesar Rp1,3 triliun dari salah satu bank di Jerman untuk pembangunan rumah sakit regional. ANTARA FOTO/Ampelsa.

tirto.id - Sehari setelah DPR menetapkan RUU APBN 2017 menjadi UU, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengeluhkan soal pembayaran bunga dan pokok utang hingga Rp500 triliun yang harus disiapkan pemerintah tahun depan. Artinya hampir 25 persen lebih APBN 2017 digunakan untuk membayar utang pokok dan bunganya.

Singkat kata, postur APBN 2017 menurut JK tidak bisa jadi harapan besar untuk menggerakkan perekonomian, selain dari ekspor-impor, investasi, dan konsumsi masyarakat. Ini terlihat dari target pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya 5,1 persen, sedangkan tahun ini dipatok 5,2 persen. Padahal total APBN 2017 dengan APBNP 2016 hanya terpaut tipis.

"20 persen dari anggaran untuk bayar utang dan cicilan. APBN yang disetujui tidak mampu mendorong ekonomi jadi sektor pembangunan yang lebih akseleratif, itu keadaan yang kita hadapi artinya maka solusinya adalah semua harus berhemat," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dikutip dari Antara.

Apa yang disampaikan JK sebenarnya bukan hal yang baru. Sudah sejak lama APBN harus memanggul pembayaran pokok dan bunga utang. Apalagi sejak Indonesia dilanda krisis dan ada beban surat utang dalam rangka rekapitalisasi perbankan. Yang membedakannya, angka bunga utang memang makin besar karena akumulasi pokok utang yang makin bertambah.

Ini juga dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai defisit neraca keseimbangan primer atau defisit yang sakit, yaitu realisasi pendapatan negara dikurangi dengan realisasi belanja negara, di luar pembayaran utang termasuk bunga. Defisit keseimbangan primer menunjukkan adanya utang yang digunakan untuk membayar utang yang jatuh tempo pada tahun tersebut. Bahasa pendeknya, gali lubang tutup lubang.

Pada 2017, defisit keseimbangan primer mencapai Rp109 triliun, meningkat dibandingkan 2016 sebesar Rp105,5 triliun. Pada 2015 bahkan sempat mencapai defisit Rp142,5 triliun, dan 2014 sebesar Rp93,3 triliun. Kejadian gali lubang tutup lubang ini juga sudah terjadi pada 2012, waktu itu defisit keseimbangan primer mencapai Rp72,3 triliun.

Tahun depan, bunga utang yang harus dibayarkan dan ditanggung APBN sebesar Rp221,2 triliun. Jumlah ini lebih besar dibandingkan APBN-P 2016, pembayaran bunga utang masih Rp191,2 triliun. Di sisi lain, catatan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan per 30 September 2016, profil jatuh tempo utang di 2017 sebesar Rp215 triliun.

"Defisit primer yang negatif artinya pemerintah telah pada titik di mana kita meminjam untuk melakukan pembayaran interest rate (bunga utang). Jadi sebetulnya itu merupakan indikator bahwa kita meminjam bukan untuk investasi tapi meminjam untuk keperluan men-service utang masa lalu," kata Sri Mulyani, Agustus lalu.

Warisan Masa Lalu

Siapa pun pemerintahan yang berkuasa masa kini mau tak mau harus memanggul utang akibat kebijakan masa lalu. Pemerintah masih menanggung beban utang merupakan dampak krisis ekonomi 1997-1998, yang menghasilkan BLBI dan rekapitalisasi perbankan. Jumlahnya terus bergulir, bunga berbunga.

Biasanya bila tak mampu bayar, pemerintah melakukan refinancing sehingga jatuh tempo lebih panjang dan bunga lebih rendah. Sehingga jumlah utang tetap tidak berkurang secara signifikan, ini yang menjadi beban APBN saat ini, saat pemerintah berutang untuk menambal sebagian utang masa lalu.

Beban utang masa lalu, ditambah beban menutup defisit dalam APBN di pemerintahan saat ini, maka hasilnya adalah utang pemerintah di posisi terkini. Utang pemerintah ini hanya sebagian kecil dari beban total utang Indonesia. Secara nasional, utang luar negeri (ULN) Indonesia lebih besar lagi. Utang luar negeri ini mencakup utang pemerintah, Bank Indonesia (BI), serta swasta.

Posisi terakhir utang pemerintah saat transisi pemerintahan per September 2014 masih Rp2.601,72 triliun, hingga 30 Juni 2016 sudah mencapai Rp3.362,74 triliun. Pada 30 September 2016, total utang pemerintah sudah menembus angka Rp3.444 triliun.

Infografik Utang Indonesia

Kebijakan Defisit

Bertambahnya utang di masa pemerintahan Presiden Jokowi maupun pada masa lalu karena penerimaan negara belum bisa membiayai seluruh pengeluaran, ini yang disebut sebagai defisit. Kebijakan defisit anggaran sebelum era pemerintahan Presiden Jokowi, sebagian untuk mendanai subsidi energi yang dianggap tidak tepat sasaran. Selama kurun 2009-2014, rata-rata belanja pemerintah untuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) mencapai 16,06 persen atau sekitar Rp160 triliun.

Pada 2015, pemerintahan Presiden Jokowi menghapuskan subsidi BBM. Dana subsidi BBM, kemudian dialihkan untuk sektor-sektor yang produktif. Tahun 2017 misalnya, pagu belanja infrastruktur pada APBN 2017 ditetapkan sebesar Rp387,3 triliun, lebih tinggi dari tahun sebelumnya Rp313,5 triliun. Jumlahnya jauh lebih besar dari capaian terbesar anggaran infrastruktur pada masa Presiden SBY di 2014 yang sempat mencapai Rp206,6 triliun.

Upaya terus menambah anggaran infrastruktur inilah yang kini menjadi risiko APBN termasuk di tahun depan. Pada 2017, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp1.750,3 triliun sedangkan alokasi belanja Rp2080 triliun, artinya ada defisit Rp330,2 triliun yang harus ditambal dengan utang lagi. Jumlah angka defisit ini setara dengan 2,41 persen dari produk domestik bruto. Defisit ini memang selain masih di bawah ambang maksimal 3 persen dari PDB seperti diamanatkan oleh UU. Angka defisit ini juga relatif tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh negara-negara maju.

Dalam laman www.cia.gov, beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) mencatatkan defisit anggaran 2,5 persen pada 2015, sedangkan Indonesia 2,58 persen pada tahun yang sama. Defisit Indonesia masih jauh lebih baik dari Jepang yang mencapai 5,4 persen, atau Belgia yang mencatatkan defisit 2,6 persen.

Kebijakan defisit anggaran memang berimplikasi pada bertambahnya utang pemerintah masa kini. Namun, jika dilihat perbandingannya dengan PDB, rasio utang Indonesia terus turun. Rasio utang terhadap PDB Indonesia sempat melonjak hingga 85,4 persen pada 1999, atau setelah diterpa krisis moneter. Rasio sempat membengkak menjadi 88,7 persen sebelum akhirnya secara bertahap turun.

Pada 2015 misalnya, rasio utang pemerintah terhadap PDB Indonesia hanya sebesar 27 persen. Rasio utang terhadap PDB sempat berada di titik terendah sebesar 23 persen pada 2012. Sebagai pembanding, rasio utang AS mencapai 107,49 persen, Perancis 98,21 persen, dan Jerman 68,23 persen.

Rasio utang Indonesia memang masih sehat dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Namun, beban pokok utang dan bunga yang harus dibayarakan pemerintah setiap tahunnya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah terutama bagi Sri Mulyani, sebagai menteri keuangan.

Saat Sri Mulyani masih menjadi ekonom 14 tahun lalu, sempat menanggapi jeroan APBN 2002 pemerintahan Presiden Megawati. Pada waktu itu, APBN dianggap dalam kondisi sakit keras karena alokasi pengeluaran yang sangat besar untuk pembayaran utang pemerintah dan bunga yang mencapai Rp128,5 triliun. Angka ini setara dengan 7,6 persen dari PDB atau hampir 60 persen dari keseluruhan penerimaan pajak pemerintah.

“APBN kita merupakan cerminan warisan masalah krisis ekonomi yang panjang dan berat. Tugas pemerintah hingga 10 tahun ke depan adalah menyembuhkan APBN tersebut, agar kembali sehat dan berfungsi efektif sebagai instrumen ekonomi pemerintah yang paling penting,” kata Sri Mulyani pada waktu itu dikutip dari laman perpustakaan.bappenas.go.id.

Saat ini setelah 10 tahun lebih atau sudah 14 tahun berlalu, persoalan mengatasi APBN yang sakit akibat utang masa lalu belum juga terselesaikan. Kini, Sri Mulyani sebagai menteri keuangan malah menghadapi utang dan defisit APBN yang makin berat akibat kebijakan utang masa silam.

Baca juga artikel terkait UTANG atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti