tirto.id - Pada Juni 2018, Marouane Fellaini memutuskan bertahan di Manchester United. Ia menandatangi kontrak berdurasi dua tahun, yang membuatnya bertahan di Old Trafford hingga 2020. Ada penggemar MU yang senang, ada juga yang kecewa. Namun, Fellaini jelas bahagia dengan kontrak barunya itu.
"Aku merasa senang bisa melanjutkan petualanganku bersama Manchester United. Aku membuat keputusan ini karena sangat bahagia berada di sini. Aku juga merasa di tim ini, di bawah asuhan Mourinho, masih memiliki banyak hal untuk dicapai," kata Fellaini.
Fellaini ternyata salah mengira. Pada Desember 2018, Jose Mourinho dipecat karena MU menganggap, bersama pelatih asal Portugal itu, tim tak bisa mencapai apa-apa lagi.
Ole Gunnar Solksjaer kemudian dipilih menjadi pengganti sementara, dan Fellaini segera beralih status: Ia bukan cuma tidak lagi jadi jimat MU, melainkan pesakitan di bangku cadangan.
Dari sana, pemain asal Belgia ini mungkin tak lagi bahagia. Pada bursa transfer musim dingin, sekitar enam bulan setelah perpanjangan kontrak itu, Fellaini mengambil keputusan baru. Ia dikabarkan tinggal selangkah lagi bergabung dengan Shandong Luneng, sebuah klub dari China.
Kali ini, lebih banyak para penggemar MU yang gembira. Setidaknya, respons dari para penggemar Setan Merah, saat BBC melakukan interaksi dengan mereka, bisa menjadi bukti.
"Bagus. [Aku] tidak pernah menganggapnya ada. Sebuah pembelian gagal David Moyes," kata penggemar bernama Jules.
"Mencetak beberapa gol penting untuk klub, tetapi tidak pernah benar-benar cukup bagus untuk berada di sana. Senang melihatnya pergi. Semoga sukses di China," tutur Craig.
"Sedih melihatnya pergi? Apakah kamu sedang meledek?" tanya Josh, platonik.
Tanpa Fellaini, MU lebih Baik
Pada 18 Januari 2019, Barney Ronay, jurnalis Guardian, menjuluki Fellaini: "Raja yang membikin Old Trafford dipayungi kegelapan."
Dan soal julukan Fellaini ini, Ronay punya alasan: selama lima tahun sebelum Fellaini datang, MU berhasil meraih gelar Premier League dan Liga Champions Eropa. Namun, selama lima musim Fellaini di Old Trafford, MU ternyata tak mampu meraih keduanya.
Dan selama lima musim hampa gelar bergengsi itu, Fellaini adalah pemain penting bagi David Moyes, Louis van Gaal, maupun Jose Mourinho.
Fellaini sering dimainkan dalam pertandingan-pertandingan besar, juga saat MU dalam situasi genting. Ia cerdik, licik, paham akan taktik, sekaligus seorang pemain tim yang selalu siap memberikan 100 persen.
Soal peran Fellaini sebagai pemain tim, Roberto Martinez, pelatih Belgia, bahkan pernah mengatakan, "Sebagai pemain tim, ia selalu mempertimbangkan aksinya seakan dunia segara berakhir."
Selain itu, Fellaini bisa bermain di berbagai macam posisi.
"Dia bisa bermain di posisi nomor 9 dan nomor 10 tetapi juga bisa bermain di posisi nomor 6 dan 8," kata Louis van Gaal, setelah Fellaini mampu mencetak tujuh gol untuk MU pada musim 2014-2015.
Sayangnya, kepercayaan para pelatih terhadap Fellaini berujung pemecatan. Tentu, itu bukan karena salah Fellaini, melainkan karena kesalahan para pelatih ini yang sangat bergantung kepada Fellaini.Mereka mempunyai 10 outfield player yang dapat diatur sedemikian rupa, tapi pada saat-saat krusial, mengapa mereka hanya menyuruh para pemainnya untuk mengirimkan umpan lambung ke arah Fellaini?
Dari sana, Ole Gunnar Solskjaer memilih jalan lain.
Di bawah asuhan Solskjaer, MU mampu tampil garang. Bermain dalam 9 pertandingan [7 pertandingan liga dan 2 pertandingan Piala FA], Setan Merah menang 8 kali dan 1 kali bermain seri.
Peraih gelar Liga Inggris terbanyak itu tidak tampil asal-asalan: Ada pendekatan taktik yang jelas, ada permainan yang enak ditonton, ada counter-attack yang sistematis. Dan mereka melakukan itu tanpa Fellaini.
Ya, tanpa Fellaini, karena pemain asal Belgia ini hanya terlibat selama 31 menit yang tak penting-peting amat dalam 9 pertandingan itu. Fellaini hanya bermain selama 3 menit saat MU unggul 5-1 atas Cardiff City di Liga, dan 28 menit tersisa ia habiskan saat MU unggul 2-0 dari Reading dalam Piala FA.
Pada era Moyes, Van Gaal, dan Mourinho, Fellaini menunjukkan profesionalisme yang baik. Tidak pernah mengeluh. Dan selalu menjadi opsi alternatif jika MU dalam keadaan tertekan dan membutuhkan gol.
Tanpa golnya di semifinal Europa League, MU tak akan punya trofi Eropa pasca-Fergie. Juga gol-gol injury-time yang lain.
Justru itulah Fellaini seperti menjadi simbol dari era pasca-Fergie. Ketergantungan para manajer MU kepada Fellaini untuk mengeksekusi bola-bola atas seakan menjadi simbol: inilah MU yang mudah buntu, MU yang mudah panik saat tertinggal.
Pendeknya: Manchester United-yang-tidak-menarik.
Editor: Mufti Sholih