tirto.id - Pep Guardiola akhirnya menemui kekalahan perdananya di Manchester City. Kekalahan yang tak sempat diantisipasi oleh fans City—terlebih yang karbitan dan percaya bahwa timnya bahkan bisa mengalahkan Tuhan. Sebelum pertandingan, setidaknya yang di Indonesia, di media sosial mereka begitu optimistis bisa mengalahkan Tottenham Hotspur.
"Kalau kita bisa mengalahkan Manchester United di kandang mereka, kenapa tidak Tottenham Hotspur?" kicau mereka. Ya, kenapa tidak. Kenapa tidak saja.
Mereka gampang sekali lupa fakta bahwa musim lalu United berada di peringkat lima Liga Inggris dan Spurs di tempat ketiga. Tottenham bukan West Ham United atau Swansea atau Bournmouth yang begitu mudahnya dilumat.
Skor akhir pertandingan malam itu, kekalahan 0-2 anak asuh Guardiola, menyegarkan kembali ingatan fans City atas perjalanan Tottenham musim lalu yang penuh determinasi, tanpa kompromi, dan mengagumkan. Harry Kane dan kawan-kawannya yang rata-rata berusia muda tampil sangat solid, bermain dengan disiplin tinggi, dan dalam batas tertentu, mereka berhasil mengubah wajah klub.
Karena catatan mereka pada musim lalu, Tottenham tidak lagi dikenal sebagai kesebelasan yang memiliki segudang imajinasi menyerang tapi rentan di barisan belakang.
Selama satu dekade ke belakang, Tottenham diremehkan karena keroposnya mental bertahan. Dalam autobiografinya, Roy Keane, mantan kapten Manchester United yang bermain di bawah kepelatihan Alex Ferguson selama 12 tahun, mengungkap bagaimana Ferguson menyemangati timnya di ruang ganti sebelum menghadapi Tottenham. Hanya dengan kalimat singkat. "Lads, it's Tottenham". Kawan-kawan, ini Tottenham. Seluruh tim langsung paham maksudnya: cantik, tapi rapuh; kreatif, tapi tidak sulit meluluhlantakkannya.
Kesan itu tidak bisa lagi dilekatkan pada Tottenham di bawah asuhan Mauricio Pochettino. Musim lalu, mereka membukukan diri sebagai tim dengan pertahanan terbaik di Liga Inggris. Di akhir musim, Tottenham hanya kebobolan 35 gol, sedangkan Leicester 36, Arsenal 36, dan Manchester City 41.
Sepanjang musim, anak asuh Pochettino menunjukkan permainan dengan pressing yang sangat baik dan menakutkan. Inilah kuncinya. Pressing ketat mereka memang tidak setinggi (sejak sepertiga lapangan lawan) dan sekonstan Southampton, tim asuhan Pochettino sebelumnya, tapi mereka lebih efektif mematikan serangan lawan.
Efektivitas ini bisa dilihat dari statistik permainan. Tottenham duduk di peringkat enam dalam hal rata-rata tekel per laga. Tapi yang signifikan, dari lima tim yang lebih unggul itu, hanya Liverpool yang penguasaan bolanya lebih tinggi dari Totenham. Sementara sisanya adalah tim-tim dengan penguasaan bola terendah musim ini. Dari sini jelas, Tottenham dan Liverpool (yang juga memainkan pressing tinggi) melakukan tekel, merebut bola, untuk kembali melakukan possession football atau menyerang, bukan sekadar mengamankan area pertahanan.
Tottenham juga mencatatkan rata-rata pelanggaran paling tinggi yakni 12,7 per game. Fakta ini membuat mereka tak bisa lagi diremehkan seperti yang dulu-dulu. Delle Alli, yang diganjar sebagai pemain muda terbaik Liga Inggris, adalah gelandang serang dengan jumlah intersep terbanyak, tidak ada gelandang serang di Liga Inggris yang mengalahkannya dalam hal merebut bola dari kaki lawan. Ingat, posisinya adalah gelandang serang, bukan gelandang bertahan. Tidak ada striker yang merebut bola sesering Harry Kane—yang merupakan top skor dengan 25 gol. Ini semua menunjukkan bagaimana Tottenham melakukan pressing.
Pochettino tidak pernah menyembunyikan dari mana inspirasinya dalam membangun tim. Di banyak kesempatan, ia mengaku berutang pada filosofi permainan gurunya, orang yang dianggapnya bapak dalam sepakbola, pelatih yang pernah mengalahkan Manchester United Alex Ferguson di Liga Eropa 2011-2012, Marcelo Bielsa. Filosofinya sederhana: pressing ketat, rebut bola dari lapangan bermain lawan sedini mungkin.
Pochettino sendiri, sebagai pemain, ditemukan langsung oleh Bielsa.
Pukul dua dini hari di tahun 1985, dua orang mengetuk pintu rumah keluarga Pochettino di kota kecil Murphy, provinsi Santa Fe, Argentina. Inilah ketukan pintu yang akan mengubah jalan hidup si kecil Mauricio yang sedang tertidur lelap. Dua orang itu adalah Jorge Griffa dan Marcelo Bielsa, koordinator akademi dan pencari bakat Newell's Old Boy. Hector Pochettino, sang ayah, membuka pintu rumah. Setelah basa-basi singkat, karena tidak mungkin membangunkan Mauricio untuk diajak bercakap-cakap, Bielsa meminta untuk melihat sang anak di kamar tidurnya. Hector mengizinkan.
Bielsa langsung terkesan dengan apa yang dilihatnya. "Itu kaki pesepakbola," katanya.
Lima tahun kemudian, Bielsa dipromosikan menjadi pelatih di tim utama Newell's Old Boy. Pochettino langsung diberinya kepercayaan untuk melakukan debut profesional di usia 18 tahun. Pada musim 1990-1991, mereka berhasil menjuarai Liga Argentina, setahun setelahnya mereka mencapai final Copa Libertadores.
Tottenham sekarang adalah proyeksi Pochettino atas Newell's era Pochetino. "Skuat kami dulu sangat mirip dengan skuat kami sekarang," katanya. "Dalam hal rata-rata usia pemain, dan keseimbangan antara pemain muda dan pemain berpengalaman."
Marcelo Bielsa junjungan Pochettino adalah Marclo Bielsa yang sama yang dimintai wejangan oleh Pep Guardiola sebelum memutuskan menjadi pelatih pada 2006. Haruskah ia menjadi pelatih, jika iya, bagaimana cara menjadi pelatih yang hebat? Terbang 11 jam dari Catalunya, Pep menimba banyak ilmu dari orang yang dipanggil El Loco alis Si Gila itu.
Dan benar, permainan Barcelona era Pep Guardiola yang banyak gelar itu secara tidak langsung berutang kepada pressing tinggi ala Bielsa. Dengan modifikasi penguasaan bola, tiki-taka, ala Pep dan sedikit penyesuaian agar pressing-nya tidak seintens Bielsa yang seringkali melelahkan pemain baik secara fisik maupun mental.
"Kalau saja para pemainku bukan manusia,” ujar Bielsa mengenai sistem permainannya, “Saya tidak akan pernah kalah.” Itulah kenapa Anda, para penggemar Man City karbitan, belum pernah mendengar nama Marcelo Bielsa. Ia tidak mentereng secara prestasi di era sepakbola modern. Tapi jika Anda penggemar Pep dan tidak tahu fakta betapa berpengaruhnya Bielsa dalam karier kepelatihan Guardiola, Anda keterlaluan.
Sejarah mungkin tidak akan mencatat Bielsa sebagai pelatih hebat, karena trofi yang dikumpulkannya tidak banyak. Juara Liga Argentina tiga kali dan medali emas Olimpiade 2004 bukanlah catatan spektakuler untuk kariernya yang panjang. "Tapi sebagai pemikir taktik, ia luar biasa," tulis Jonathan Wilson, pengamat taktik sepakbola, di majalah 8by8.
"Warisan terhebat Bielsa bukan trofi yang dimenangkannya, melainkan para pelatih yang terinpirasi darinya, para pelatih yang mampu memperlakukan pemain sebagai manusia," imbuh Wilson.
Di setiap tim yang ditanganinya, Bielsa selalu berhasil memoles timnya menjadi mesin serang yang buas luar biasa, intensitas tinggi, begitu dinamis, pola pergerakan antar pemain yang rumit, dan hasil yang gemilang di hari-hari pertama. Tapi mulai pertengahan musim, para pemainnya mulai kelelahan dan kehilangan konsentrasi dan pada akhirnya menelan banyak kekalahan.
"Masalah utama pressing dengan cara Bielsa itu melelahkan," tulis Wilson di Fusion.Net. "Ia membutuhkan upaya fisik yang konstan. Tidak seorang pemain pun bisa bermalas-malasan: pressing yang efisien adalah kegiatan tim, dan satu unit saja melemah bisa menghancurkan seluruh tim. Secara mental, sistem Bielsa juga melelahkan. Berpikir terus-menerus tentang pola dan taktik, yang terus berganti dari satu pertandingan ke pertandingan lain, membuat pemain tertekan. Setelah periode hebat, yang cenderung bertahan sekitar enam bulan, datanglah keruntuhan."
Meski Pochettino tak ketingggalan melakukan penyesuaian di Tottenham dengan cara yang lebih halus, dan musim lalu mereka bisa berhasil melalui periode enam bulan dengan baik, tanpa keletihan, Harry Kane dan kawan-kawan tak urung ambruk juga di beberapa laga di akhir musim. Mereka, yang tadinya berpeluang menjadi juara, menuai hasil buruk di akhir hingga gelar direbut Leicester City, dan ketika sebentar lagi mereka meraih posisi kedua, mereka menelan kekalahan memalukan hingga ditikung Arsenal.
Pep Guardiola, harus diakui, berhasil membawa sistem yang dikembangkan Bielsa selangkah lebih maju, lebih manusiawi, mengembangkan pola utama untuk melawan semua tim dan hanya bikin beberapa perubahan jika diperlukan saja, bukan terus-menerus berganti sistem di setiap pertandingan seperti Bielsa, karenanya lebih konstan dan konsisten dan menghasilkan trofi yang tidak sedikit. Maurico Pochettino masih jauh dari itu, tapi ia telah berhasil mengubah wajah dan permainan Tottenham secara keseluruhan. Ia sama sekali bukan lagi orang yang bisa diremehkan dan dipandang sebelah mata—seperti yang dilakukan fans karbitan City.
Pertemuan Spurs dan City di akhir pekan lalu adalah dua tim teratas Liga Inggris, dengan sistem pressing, yang sebagian besarnya mengenai penguasaan ruang dan tentang perebutan penguasaan bola dalam tempo cepat. Dan Spurs memenangkannya dengan skor yang cukup telak, 2-0, cukup untuk membuat fans City, baik yang karbitan maupun yang masak di pohon, terbelalak dan gigit jari.
Tottenham pada dasarnya memenangkan laga itu di babak pertama. Mereka memulainya dengan kecepatan kilat, menyarangkan badai tekel di lini tengah dengan keuletan yang luar biasa dan melakukan pressing lebih tinggi hingga mengganggu kinerja kiper City, Claudio Bravo, yang mencoba memulai permainan dari belakang. Sementara Pep tidak punya solusi mengatasi badai itu.
Di babak kedua permainan City mulai membaik dan kembali ke templat penguasaan bola, tapi sudah terlalu terlambat untuk memperbaiki keadaan.
Pesan moralnya jelas: jangan terlalu tinggi hati dengan tim kesayanganmu, terlebih jika Anda tak tahu pasti siapa lawanmu selanjutnya.
Catatan impresif Pep dan anak asuhnya di awal musim memang mengagumkan, tapi itu bukan jaminan merengkuh gelar juara di akhir musim. Masih banyak halangan besar yang harus mereka lalui, Jose Mourinho bisa saja balas dendam; dan setelah Pochettino, Arsene Wenger, Jurgen Klopp, Antonio conte, bahkan Tony Pulis punya kemungkinan menaklukkan Pep.
Maka catat ini, wahai fans Manchester City: Jangan terlalu gede sesumbar dan besar kelakar.
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti