Menuju konten utama

Efektivitas Pengumuman Caleg Koruptor Terhalang Sikap Permisif

Mengumumkan nama caleg eks koruptor itu agar masyarakat lebih selektif memilih wakilnya kelak. Tapi itu terganjal dengan kebiasaan permisif dan masa bodoh.

Efektivitas Pengumuman Caleg Koruptor Terhalang Sikap Permisif
Ketua KPU Arief Budiman (ketiga kiri) didampingi Komisioner KPU (dari kiri) Hasyim Asy'ari, Pramono Ubaid, Ilham Saputra, Wahyu Setiawan dan Evi Novida Ginting saat mengumumkan calon legislatif dengan status mantan terpidana korupsi di kantor KPU, Jakarta, Rabu (30/1/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

tirto.id - Ada 49 calon anggota legislatif yang berstatus mantan narapidana korupsi pada Pemilu 2019 nanti. Nama-nama ini diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu (30/1/2019) malam.

Mereka berasal dari 12 partai, yang terdiri dari 16 caleg DPRD Provinsi, 24 caleg DPRD Kabupaten/Kota dan 9 caleg DPD. Daftar lengkapnya bisa dilihat di sini.

Hanya empat partai yang tak memiliki caleg eks koruptor. Mereka adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Nasdem, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Mengumumkan nama caleg eks koruptor ini bisa dibilang ujung dari konflik antara KPU dan Bawaslu. KPU sebelumnya sama sekali melarang caleg eks koruptor maju lagi dalam pemilihan, tapi itu kemudian ditentang Bawaslu.

Perbedaan pendapat ini diakhiri dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan KPU yang melarang bekas koruptor nyaleg.

Sebetulnya semangat dua kebijakan ini sama: turut serta mencegah terjadinya korupsi di tubuh penyelenggara negara. Maka tak heran langkah ini diapresiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka malah mendorong KPU mengumumkan langsung lewat baliho hingga pengumuman pada setiap TPS sesuai daerah pemilihan caleg.

"Supaya masyarakat bisa [memilih] yang bersih, yang jujur, jangan yang pernah terlibat korupsi. Kami mendukung," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata.

KPK dan KPU boleh saja bercita-cita demikian, tapi nampaknya tidak cukup, setidaknya demikian pelajaran yang bisa ditarik pada Pilkada 2010.

Pada tahun itu, setelah mengevaluasi semua pilkada, Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut ada 10 kepala daerah menjadi pesakitan korupsi dan justru terpilih lagi.

Salah satunya adalah Yusak Yaluwo, bupati Boven Digoel dua periode. Ketika dilantik sebagai bupati untuk periode kedua, Maret 2011, ia sebetulnya telah berstatus terpidana. Dia terbukti melakukan korupsi APBN periode 2002-2005.

Begitu pula dengan bekas Wali Kota Tomohon Jefferson S. M. Rumajar. Ia terpilih lagi sebagai wali kota pada Januari 2011, padahal terbukti korupsi APBD 2006-2008 ketika jadi bupati periode pertama (2005-2010).

Tahun 2017 lalu hakim legendaris MA, Artidjo Alkostar, memperberat vonis Jefferson 14 tahun bui--setelah dijatuhi hukuman 4,5 tahun dan dinaikkan lagi jadi 7 tahun pada tingkat banding.

Makin Permisif

Bagi Direktur Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, ada beberapa hal kenapa masyarakat masih memilih caleg eks koruptor. Selain memang tidak tahu, faktor yang lebih struktural adalah mereka bosan berkali-kali koruptor ditangkap, berkali-kali pula korupsi tetap terjadi. Akhirnya mereka masa bodoh.

"Sebenarnya peka, tapi kadang orang ini jengah terhadap isu korupsi, ya," ujar Veri kepada reporter Tirto, Kamis (31/1/2019).

Apa yang dikatakan Veri sebetulnya selaras dengan survei nasional yang sempat dilakukan BPS lewat Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia. Tercatat, pada 2018 lalu IPAK Indonesia adalah 3,66, pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian tahun 2017 sebesar 3,71.

"Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi, sebaliknya nilai IPAK yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi," kata Kepala BPS Suhariyanto 17 September tahun lalu.

Di sisi lain, eks napi kasus korupsi pun percaya diri bahwa apa yang mereka alami di masa lalu tak akan ada dampaknya saat pemilu nanti. Masyarakat akan tetap percaya. Hal ini sempat dikatakan Darmawati Dareho, eks koruptor yang kini jadi caleg DPRD Kota Manado dari daerah pemilihan (Dapil) Tuminting, Bunaken Darat.

"Rakyat akan saya yakinkan tidak sia-sia jika memilih. Karena dalam kantong kehidupan saya, selalu saya bawa apa yang mereka butuhkan dan siap fight di dewan nanti," kata Darmawati, September tahun lalu.

Karena merasa pengumuman ini masih sangat kurang untuk membuat masyarakat awas, ICW merekomendasikan KPU agar lebih giat mensosialisasikan nama-nama mereka.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Rio Apinino