Menuju konten utama
Polemik Perppu Cipta Kerja

DPR Klaim Tidak Punya Hak untuk Bahas Perppu Cipta Kerja

Wakil Ketua Komisi IX DPR, Charles Honoris mengatakan, pihaknya tidak mempunyai hak untuk membahas Perppu Cipta Kerja.

DPR Klaim Tidak Punya Hak untuk Bahas Perppu Cipta Kerja
Pekerja beraktivitas saat jam pulang kerja di Kawasan MH Thamrin, Jakarta, Selasa (3/1/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc.

tirto.id - Polemik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) masih menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Hal itu karena aturan tersebut akan berdampak khususnya dikalangan kelas pekerja.

Wakil Ketua Komisi IX DPR, Charles Honoris mengatakan, pihaknya hanya mempunyai hak untuk menentukan sikap terkait keberadaan Perppu Cipta Kerja tersebut. Pertama, menolak atau justru menerima.

"Kalau kita bicara perppu, DPR itu tidak punya hak untuk membahas sebetulnya. Kita hanya bisa menolak atau menerima,” kata Charles di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (12/1/2023).

Saat ini sejumlah pihak mengajukan permohonan gugatan terhadap Perppu Ciptaker ke MK. Dalam surat permohonan yang diterima oleh MK pada 5 Januari 2022 disebutkan para pemohon mengalami kerugian berupa ketidakpastian hukum setelah Perppu itu keluar.

Tetapi, Perppu Cipta Kerja disebut tetap sah dan mengikat setelah diumumkan pemerintah kepada masyarakat. Karena itu saat ini penentuan ada di tangan DPR.

Jika disetujui DPR, maka Perppu Cipta Kerja sah menjadi Undang-Undang. Namun jika DPR menolak maka Presiden Joko Widodo wajib mencabut Perppu itu.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya meneken Perppu Cipta Kerja pada akhir Desember 2022. Perppu ini menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat pada November 2021 lalu sesuai putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. MK menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi.

Mahkamah juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU.

Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.

Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.

Baca juga artikel terkait POLEMIK PERPPU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin