Menuju konten utama

Dirjen Minerba: Freeport Minta Perundingan Jadi 8 Bulan

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Bambang Gatot membenarkan bahwa PT Freeport Indonesia meminta negosiasi dengan pemerintah diperpanjang menjadi delapan bulan jika sebelumnya hanya enam bulan.

Dirjen Minerba: Freeport Minta Perundingan Jadi 8 Bulan
Pengunjuk rasa meneriakkan yel-yel saat aksi di depan kantor Agen Konsulat Amerika Serikat di Denpasar, Bali, Senin (20/3). Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua itu meminta penutupan tambang emas milik PT Freeport Indonesia. FOTO ANTARA/Nyoman Budhiana/aww/17.

tirto.id - PT Freeport Indonesia meminta negosiasi dengan pemerintah Indonesia diperpanjang menjadi delapan bulan jika sebelumnya hanya enam bulan, dikatakan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Bambang Gatot.

"Iya benar, itu untuk menambah diskusi yang belum ada hasil ini," kata Bambang Gatot usai ditemui di DPR, Jakarta, Kamis (30/3/2017), seperti dikutip dari Antara.

Masa delapan bulan tersebut terhitung sejak aturan perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dikeluarkan, dan pada 17 Februari 2017 Freeport mengancam akan arbitrase jika 120 hari pada hari tersebut tidak ada hasil.

Dari batas tersebut ditambah menjadi enam bulan dan hingga sekarang perpanjangan delapan bulan.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyampaikan beberapa perkembangan PT Freeport Indonesia terbaru kepada Komisi VII di waktu yang sama.

"Pada intinya prosesnya sudah memasuki tahap diskusi final dengan pemerintah. Dalam hal itu pokok diskusi dibagi menjadi tiga tahap," kata Jonan di Ruang Rapat Komisi VII DPR RI.

Pertama, adalah permasalahan kewajiban PT Freeport Indonesia untuk menerima perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Hingga saat ini PTFI bersedia menerima perubahan KK menjadi IUPK.

Jonan masih menegaskan bahwa untuk bisa melakukan eksport konsentrat, harus berupa izin IUPK, dan diharapkan segera selesai proses pergantiannya.

Kedua, adanya persyaratan yang diminta terkait perpajakan dan retribusi daerah setelah adanya perubahan IUPK. Freeport, menurut keterangan Jonan, menginginkan adanya ketetapan yang masih bisa diatur dan menurutnya domain ini ada di Kementerian Keuangan bukan pada Kementerian ESDM.

"Saya heran, padahal tarif pajaknya lebih rendah ketika masih skema Kontrak Karya. Mungkin yang dikhawatirkan ada pada retribusi daerah, misalnya, penggunaan air permukaan atau air sungai, bisa saja angkanya tidak cocok. Maka perlu diajak Pemerintah Daerah dalam menentukan kebijakan fiskal untuk memmentukan syarat IUPK," tutur Jonan.

Selain itu, Jonan menginginkan bahwa pada intinya tetap pada jalur perubahan kepada skema IUPK. Termasuk juga pengecilan perluasan lahan menjadi 25 ribu hektar.

Tahap diskusi yang ketiga adalah mengenai karyawan. Diinformasikan Freeport banyak memberhentikan pekerjanya, namun Jonan menjelaskan dari sekitar 12 ribu karyawan yang dimiliki PT Freeport Indonesia hanya 522 yang dirumahkan dan sebanyak 29 yang terkena PHK.

Hal ini dijelaskan jika 522 dari 12 ribu berarti hanya sekitar 4 persen yang dirumahkan. "Proses PHK ini juga seperti perusahaan biasa, ada yang keluar dan ada yang masuk," katanya.

Sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Freeport Indonesia telah bersepakat bahwa batas maksimal lama perundingan mengenai polemik izin ekspor konsentrat perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu selama enam bulan atau 180 hari.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Teguh Pamudji mengatakan sebelumnya Freeport memang menuntut masa terlama untuk negosiasi tersebut hanya 120 hari. Alasan Freeport hal itu berdasarkan ketentuan Kontrak Karya (KK) yang berlaku yakni pada Pasal 21 angka 2.

Kementerian ESDM dan Freeport sedang berunding terkait penerbitan izin ekspor konsentratnya. Izin itu bisa dikeluarkan oleh pemerintah bila Freeport mau mengubah status perizinannya dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Perubahan itu juga akan diikuti dengan divestasi saham Freeport hingga 51 persen.

Pihak Freeport sempat menolak tawaran itu dan mengancam akan menggugat Indonesia ke Arbitrase Internasional. Ancaman itu hingga kini tak terealisasi.

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Bisnis
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri