tirto.id - "Masih bisa pakai WhatsApp, cuma nggak nyambung gitu.”
Winda Novia, seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri, menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Cina dalam rangka mengikuti acara kepemudaan internasional pada 2015. Ia mencurahkan pengalamannya tak bisa menggunakan aplikasi WhatsApp selama di Cina. Ia hanya mengandalkan aplikasi pesan instan WeChat untuk keperluan komunikasi.
Saat Winda di Cina dua tahun lalu, WhatsApp memang belum sepenuhnya dihadang oleh pemerintah Cina. Namun, pada Juli 2017 WhatsApp benar-benar mengalami kendala yang cukup serius. Semenjak itu, layanan pesan berbasis video serta foto pada WhatsApp tak bisa digunakan. Puncaknya pada Senin (25/9/2017) WhatsApp dipaksa mati total di Cina.
Berdasarkan laporan The New York Times, matinya WhatsApp di Cina dipengaruhi oleh kebijakan negeri itu memperbarui firewall mereka. Pemerintah Cina mampu memblokir koneksi internet memanfaatkan protokol NoiseSocket yang sebelumnya hanya dilakukan pada protokol HTTPS/TLS. Protokol HTTPS/TLS, merupakan protokol yang digunakan WhatsApp untuk berkirim pesan berbasis video serta foto. Protokol NoiseSocket berperan untuk operasional pengiriman dan penerimaan pesan berbasis teks.
Tamatnya WhatsApp di Cina tak terlalu mengherankan. Cina memiliki sebuah "tembok" digital berjuluk The Great Firewall of China. Tembok itu dimanfaatkan oleh pemerintah Cina memblokir beberapa layanan internet yang dinilai membahayakan secara politik, keamanan, maupun ekonomi di Cina.
Baca juga:Tembok Cina di Dunia Maya
Khusus mengenai ekonomi, Cina memblokir aplikasi-aplikasi dari luar karena ingin melindungi aplikasi lokalnya. Christian Fuch dalam jurnalnya berjudul Baidu, Weibo and Renren: The Global Political Economy of Social Media in China mengungkapkan bahwa aplikasi lokal Cina seperti Baidu, Weibo, Renren dan sejenisnya, merupakan simbol transformasi ekonomi Cina, khususnya di sektor ekonomi digital.
Fuch mengatakan, melindungi aplikasi lokal sesuai dengan produk hukum Cina. Dalam konstitusi Cina 1954, terdapat beberapa kategori utama kepemilikan alat produksi Cina seperti milik negara, kepemilikan kolektif, kepemilikan individu, serta kepemilikan kapital. Baidu, Weibo, dan sejenisnya, merupakan alat produksi dalam kerangka kepemilikan modal.
Perkara pemblokiran WhatsApp memang tak hanya terjadi di Cina, dengan segala motifnya. Mengutip data yang dipaparkan Freedom House soal kebebasan dunia internet pada 2016, aplikasi pesan instan yang dimiliki Facebook itu tercatat diblokir pada 12 negara di seluruh dunia. Jumlah tersebut menempatkan WhatsApp berada di posisi pertama sebagai aplikasi yang paling banyak diblokir.
Dalam kategori pesan instan, berada di peringkat kedua adalah Skype, aplikasi pesan berbasis suara yang dimiliki Microsoft ini diblokir di 7 negara. Selanjutnya aplikasi buatan Pavel Durov, Telegram, berada di posisi ketiga, ada 4 negara yang memblokir aplikasi tersebut. Pertengahan tahun ini, Indonesia pernah sementara waktu memblokir Telegram.
WhatsApp sebagai aplikasi paling banyak diblokir cukup mengherankan. Alasannya karena Facebook, yang menaungi WhatsApp, hanya diblokir di delapan negara. Sementara itu, Twitter maupun Facebook, aplikasi yang cukup menghentakkan dunia politik, secara keseluruhan, hanya diblokir di 7 negara dunia. Kedua aplikasi ini sering dimanfaatkan untuk keperluan berbagai kampanye politik atau propaganda. Sedangkan WhatsApp, yang posisinya sebagai alat komunikasi privat, sangat memperhatikan faktor keamanan privasi. Persoalan privasi inilah yang jadi nilai tambah bagi pengguna sekaligus jadi ancaman pada pemerintah. Gerakan-gerakan politik maupun separatis, bisa dikoordinasikan melalui aplikasi pesan instan, tak terkecuali WhatsApp.
Baca juga:Mengamankan Pesan Rahasia dengan Aplikasi Enkripsi
“Idenya sederhana, ketika kamu mengirim pesan, hanya orang yang dituju yang bisa membaca pesan atau orang-orang dalam satu grup yang kamu kirimkan pesan [...] Tidak ada seorang pun yang bisa mengintip pesan. Tidak penjahat siber. Tidak peretas. Tidak pula rezim ofensif. Bahkan kami pun tidak,” ucap Jan Koum sang CEO WhatsApp melalui blog resmi aplikasi pesan instan itu.
Apa yang dikatakan Jan Koum soal privasi pada WhatsApp memang menjadi senjata ampuh bagi siapapun menggalang kekuatan tanpa ketahuan, baik untuk tujuan kejahatan maupun sebaliknya. Mengutip The Guardian beberapa anggota parlemen Inggris yang mendukung pemisahan dengan Uni Eropa atau Brexit, menggunakan WhatsApp untuk saling berkoordinasi untuk menyerang politisi Partai Konservatif Philip Hammond, Gubernur Bank Inggris Mark Carney, dan beberapa hakim yang berada di posisi bertahan dengan Uni Eropa.
Beberapa anggota parlemen pro-Brexit itu membuat sebuah grup di WhatsApp bernama “ERG DExEU/DIT Suppt Group.” Di grup itu selain digunakan untuk saling berkomunikasi, mereka pula dapat dengan mudah mengkoordinasikan untuk saling tutup mulut.
Baca juga:Pengembang Pesan Instan Melawan Peretas
Dalam laporan Quartz, selain di Inggris, WhatsApp sukses dijadikan alat propaganda dan penyebaran pesan negatif di Tanzania. Terutama menjelang pemilu. Mantan Wakil Menteri Komunikasi, Sains, dan Teknologi Tanzania mengatakan bahwa WhatsApp merupakan “platform yang sangat mudah digunakan untuk menyebarkan propaganda.” Atas keberadaan unsur privasi, sangat sulit melacak siapa orang-orang yang bertanggungjawab.
“Sangat sulit mengetahui apakah kelompok-kelompok ini ada tanpa bergabung (di grup pesan instan mereka) dan disetujui oleh mereka, ini menjadikan sulit untuk memperoleh informasi (tentang mereka). Juga ada masalah dengan jejak digital ketika mereka menggunakan aplikasi pesan instan komersial yang mengaktifkan enkripsi ujung ke ujung, hal demikian membuat sulit menyarikan percakapan,” ucap Matt Birgess, jurnalis teknologi Wired.
Secara umum, pemblokiran pada WhatsApp dan aplikasi lainnya sesungguhnya bukan hanya soal mengamankan ekonomi lokal atau mencegah disalahgunakan untuk tujuan negatif atas adanya fitur privasi. WhatsApp dan aplikasi lain diblokir karena negara-negara yang melakukan pemblokiran cenderung membungkam kebebasan.
Freedom House mengemukakan bahwa 67 persen pengguna internet dunia tinggal di negara-negara yang anti terhadap kritikan, oleh pemerintah, militer, maupun lainnya. Secara menyeluruh, dunia internet terbagi menjadi tiga bagian penyensoran yaitu bebas, kebebasan terbatas, dan tidak ada bebas sama sekali. Dari tiga kategori itu, 24 persen negara di dunia tidak melakukan penyensoran sama sekali alias bebas. Sebanyak 29 persen melakukan sensor terbatas, dan 35 persen melakukan penyensoran yang ketat.
Ini artinya masalah bukan terletak pada WhatsApp atau aplikasi-aplikasi lainnya. Bila sebuah aplikasi dimanfaatkan untuk tujuan menyampaikan kebebasan, termasuk kritik, ada kemungkinan aplikasi itu diblokir oleh pemerintah yang antikritik.
Keputusan pemerintah satu negara untuk melakukan pemblokiran akan mendapatkan resistensi yang cukup tinggi, karena aplikasi kini menjadi layanan penting bagi masyarakat. Aplikasi pesan instan misalnya, merujuk laporan berjudul Instant Messaging Statistics Report 2015-2019 yang dilakukan Radicati, firma analisis pasar, mengungkapkan bahwa ada pertumbuhan akun pesan instan yang cukup signifikan.
Pada 2017 terdapat 3,5 miliar akun dari berbagai pesan instan, meningkat dari 2015 yang hanya 3,2 miliar akun. WhatsApp per Januari 2017 sudah memiliki lebih dari 1 miliar pengguna aktif bulanan. Para penggunanya tentu akan terganggu manakala terjadi pemblokiran.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra