tirto.id - Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) resmi bubar sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengetuk palu, pada Selasa, 13 November 2012. Saat itu, MK memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas dalam UU No. 22 tahun 2001 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak memiliki hukum mengikat.
MK juga memutuskan, sejumlah kontrak yang sedang berlangsung dan dibuat oleh BP Migas tetap berlaku sampai masa kontraknya habis, atau hingga diadakan perjanjian baru. Sementara fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh pemerintah sampai adanya undang-undang anyar yang mengaturnya.
Agar usaha industri hulu migas tidak vakum, maka pemerintah membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SK Migas) melalui Perpres No. 95 tahun 2012. Kemudian, badan ini berubah menjadi SKK Migas melalui Perpres No. 9 tahun 2013 sebagai langkah untuk mengisi kekosongan sebelum adanya regulasi baru.
Sayangnya, dalam kurun waktu kurang lebih lima tahun sejak BP Migas dibubarkan, DPR dan pemerintah belum juga merampungkan revisi UU Migas yang baru. Padahal, revisi UU Migas ini sempat masuk program legislasi nasional (Prolegnas) DPR periode 2009-2014, dan dilanjutkan sebagai agenda Prolegnas prioritas 2016 pada DPR periode 2014-2019. Namun, hingga Februari 2017 pembahasan revisi UU Migas ini tak kunjung selesai.
Molornya pembahasan revisi UU Migas ini, salah satunya disinyalir karena adanya tarik-ulur antara pemerintah dan DPR, khususnya terkait status SKK Migas. Misalnya, pemerintah ingin menjadikan SKK Migas sebagai BUMN Khusus, sementara DPR menginginkan agar SKK Migas dilebur ke dalam PT Pertamina (Persero).
Usulan pemerintah tersebut sejalan dengan kajian yang dilakukan Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Berdasarkan kajian tersebut, terdapat tiga bentuk badan pelaksana kegiatan hulu migas yang dianggap sejalan dengan pertimbangan hukum MK pada putusan perkara No.36/PUU-X/2012, yaitu: Kementerian ESDM, Pertamina sebagai BUMN migas, dan BUMN Khusus.
Karena itu, Tim Reformasi Tata Kelola Migas menilai, bentuk kelembagaan badan pelaksana kegiatan hulu migas yang akan dibentuk oleh UU Migas yang baru adalah salah satu dari tiga pilihan tersebut. Namun demikian, masing-masing dari tiga bentuk kelembagaan itu memiliki keunggulan dan kelemahan.
Misalnya, jika secara kelembagaan sektor hulu migas dikelola Pertamina, maka keunggulan yang diperoleh adalah ia dapat bertindak sebagai regulator, sekaligus sebagai entitas bisnis. Selain itu, kelebihan lainnya adalah ia memiliki keleluasaan dalam manajemen portofolio industri hulu migas. Akan tetapi, salah satu kelemahannya adalah akan ada potensi conflict of interest dalam pengambilan keputusan.
Hal yang sama juga terjadi jika industri hulu migas dikelola oleh BUMN Khusus sebagai transformasi dari SKK Migas. Keunggulan yang dimiliki adalah ia mempunyai otoritas penuh sepanjang menyangkut manajemen Kontrak Kerja Sama (KKS). Namun, kelemahannya adalah bergesekan dengan kewenangan publik yang dimiliki pemerintah, lembaga atau pemerintah daerah.
Dalam konteks pengelolaan industri hulu migas dalam revisi UU Migas ini, pemerintah mengambil jalan tengah. Di satu sisi, ia menguatkan Pertamina, namun di sisi lain keberadaan SKK Migas tetap dipertahankan dengan bertransformasi menjadi BUMN Khusus.
Akan tetapi, usulan pemerintah untuk menjadikan SKK Migas menjadi BUMN Khusus mendapat penolakan dari anggota DPR, salah satunya Kurtubi. Ia tidak menyetujui perubahan SKK Migas menjadi BUMN Khusus karena akan memperpanjang proses izin, sehingga mengurangi investasi eksplorasi.
Selain itu, keberadaan SKK Migas melanggar konstitusi dan merugikan negara karena tidak bisa menjual migas milik negara, tetapi harus menunjuk pihak ketiga. Ia lebih sepakat jika SKK Migas dilebur ke dalam Pertamina, sehingga lebih bermanfaat karena dapat menambah aset perusahaan pelat merah tersebut.
Karena itu, tak heran jika ia menyetujui wacana tentang pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) Migas yang digagas Komisi VII DPR dalam revisi UU Migas. Ia menilai, hal tersebut akan menghilangkan rencana menjadikan SKK Migas menjadi BUMN Khusus.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Komisi VII DPR RI, Gus Irawan Pasaribu. Menurut dia, dalam draf UU Migas yang baru, Pertamina sebagai national oil company (NOC) akan dijadikan BUMN Khusus. Sedangkan kelembagaan SKK Migas akan dihilangkan.
Menurut dia, BUMN Khusus ini merupakan holding BUMN energi yang tengah dibentuk oleh pemerintah. Di bawah BUMN Khusus ini akan dibentuk sejumlah BUMN yang membidangi bisnis migas, mulai dari hulu hingga hilir.
Ia menyebut, setidaknya akan ada empat BUMN yang berada di bawah BUMN Khusus. Pertama, BUMN Hulu Mandiri yang bertugas melakukan operasional bisnis hulu migas. Kedua, BUMN Hulu Kerja Sama yang akan menjalankan tugas-tugas SKK Migas saat ini. Ketiga, BUMN khusus hilir minyak. Keempat adalah BUMN hilir gas.
Namun, menurut pengamat energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi, holding BUMN yang digagas oleh Komisi VII bukanlah BUMN Khusus seperti yang pernah dikaji Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Holding BUMN yang dimaksud adalah Badan Usaha Khusus (BUK) Migas.
Karena, menurut Fahmy, jika BUMN Khusus yang pernah diusulkan pemerintah lebih pada perubahan status SKK Migas. Sementara BUK Migas yang diusulkan Komisi VII adalah holding migas yang nantinya akan membawahi anak-anak perusahaan yang memiliki usaha hulu hingga hilir.
Holding ini, lanjut Fahmy, akan mengintegrasikan fungsi SKK Migas, PGN, dan Pertamina. “Beda, BUMN Khusus untuk perubahan SKK Migas. BUK Migas untuk holding migas,” kata mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini kepada Tirto, pada Senin (20/2/2017).
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz