Menuju konten utama

Dengan Hardbass, Orang Rusia Menertawakan Hidup

Anda boleh menganggap musik ini norak. Tapi, bagi orang Rusia, hardbass adalah cara mereka menertawakan hidup.

Dengan Hardbass, Orang Rusia Menertawakan Hidup
Ilustrasi pump dance. Youtube/Laurynas Pumping

tirto.id - Empat orang laki-laki membentuk lingkaran kecil. Dandanan mereka kasual; jaket lari bermerek Adidas serta sneakers bermotif polos. Di tengah-tengah mereka terdapat botol bir yang berukuran sedang dan sudah dibuka tutupnya.

Tak lama kemudian, keempat laki-laki ini bergoyang begitu lepasnya. Mereka mengikuti irama musik yang diputar. Temponya cepat dan konsisten, nadanya dibentuk dari bebunyian sampling maupun elektronik. Selama hampir empat menit, raut wajah mereka terlihat bahagia seolah semua masalah hidup ditanggalkan untuk barang sejenak.

Adegan di atas bisa ditengok dalam klip berjudul “Russia Hardbass Crazy Dance”. Video tersebut menggambarkan bagaimana musik bernama hardbass (bisa pula ditulis hard bass) mengentak daratan Rusia yang dingin dan meninggalkan impresi menyenangkan bagi orang-orang sekitarnya.

Membahas musik hardbass tak bisa dilepaskan dari musik elektronik. Beberapa referensi menyebutkan hardbass merupakan turunan dari musik elektronik. Inspirasi utama musik ini adalah musik-musik macam techno, house, sampai dance. Sepintas, hardbass terdengar bagaikan musik remix yang mengubah lagu-lagu cengeng milik Ungu atau Armada menjadi lebih bertenaga yang bisa Anda jumpai di lapak kaset pinggiran Pasar Senen atau Jatinegara.

Bedanya, hardbass punya bunyi yang keras, tempo yang mengalun cepat. Seperti tak menyediakan kesempatan bagi pendengarnya untuk menghentikan goyangan. Gagrak musik ini dipopulerkan oleh para gonpik (kelompok yang digambarkan menduduki kasta bawah Rusia yang pekerjaan sehari-harinya hanya mabuk, berlaku kriminal, dan hobi mengenakan jaket olahraga bak hooligans).

Noisey dalam artikel berjudul “Welcome to Russia's Hard Bass Scene” menyebutkan hardbass pertama kali muncul pada medio 2000-an di wilayah St. Petersburg. Pihak yang mempeloporinya ialah DJ (Disc Jockey) dan label lokal macam DJ Snat, Sonic Mine, XS Project, dan Jutonish.

Mulanya, musik ini diragukan untuk viral. Namun, semua berubah kala sekelompok pria menari dengan iringan musik hardbass pada 2009. Video tersebut lantas diunggah di VKontakte—media sosial buatan Rusia dengan jumlah pengguna sekitar 195 juta orang yang tersebar dari Belarusia sampai Ukraina—dan mendapatkan respons yang meriah.

Dalam video itu mereka menyajikan gerakan yang tak jelas; tangan terkatup, kaki mengentak, dan hanya menjogetkan jempol maupun jari kelingking. Publik kemudian menamai tarian tersebut sebagai tarian pompa (pump-dance).

Setahun berselang, ketenaran hardbass semakin meluas (terima kasih pump-dance) hingga luar Rusia ketika para pengguna Facebook dan YouTube mengunggah video sejenis. Negara-negara seperti Belarus, Spanyol, Perancis, Cile, sampai Ukraina mempraktekkan hal yang sama. Orang-orang menari di ruang kelas, pusat perbelanjaan, transportasi umum, sampai lapangan sepakbola dengan iringan hardbass.

Polanya sama: tiga sampai empat orang membentuk lingkaran lalu menari bersama-sama. Akan tetapi, dalam satu kesempatan, mereka yang ikut berpartisipasi jumlahnya bisa melebihi angka itu dan membentuk flash mob. Untuk poin terakhir ini, bahkan, menurut Noisey, digunakan pemerintah setempat untuk materi promosi pariwisata.

Jauh sebelum “Gangnam Style” dirayakan umat manusia, di Eropa Timur sana, hardbass lebih dulu melakukannya.

Infografik Hard bass

Tak sebatas digunakan untuk bersenang-senang, hardbass juga seringkali dipakai untuk ajang protes berbagai kelompok masyarakat. Di Chili, misalnya, hardbass digunakan untuk menentang privatisasi pemerintah terhadap sektor pendidikan. Di Serbia, hardbass dipakai media protes akan suksesi pemerintahan pasca-Kosovo.

Para pemrotes Ceko juga menggunakan hardbass untuk memprotes pemerintah yang dianggap menyebabkan krisis ekonomi. Kelompok hardbass Ceko, Mord, berpendapat bahwa hardbass punya kekuatan lebih besar dibanding hanya sekadar merentangkan spanduk maupun meneriakkan yel-yel anti-pemerintahan.

Pendapat Mord disetujui oleh Nenad, kelompok hardbass dari Serbia. Mereka menyatakan bahwa hardbass adalah “bentuk sosialisasi sekaligus hiburan yang memungkinkan mereka untuk mengungkapkan pendapatnya.”

Hardbass sebagai media penyaluran suara nyatanya turut digunakan kelompok sayap kanan dan neo-Nazi. Di Belgia, contohnya, hardbass dipakai kelompok sayap kanan Jeune Nation untuk menyuarakan protes mereka terhadap larangan menjual babi di supermarket dan kantin sekolah di seluruh wilayah Charleroi. Diiringi hardbass, kelompok ini menyuarakan sikap anti-Islam.

Sementara di Belgrade, Bratislava, dan Brno, hardbass digunakan kelompok neo-Nazi saat mereka turun ke jalan. Dengan iringan hardbass, mereka menyelipkan lirik berbunyi, “We will bring hardbass to your home. 1 4, 8 8” atau jika diterjemahkan menjadi “Kami akan membawa hardbass ke rumah kalian. 1 4, 8 8.” Fenomena ini pertama kali diungkapkan Patrik Banga, jurnalis Rumania yang fokus pada isu demonstrasi kelompok kanan-jauh.

Angka “1 4 8 8” acapkali dikenal identik dengan kehadiran kelompok kanan-jauh; 14 adalah jumlah kata dalam kalimat “We must secure the existence of our people and a future for white children” yang dibuat supremasis kulit putih asal Amerika, David Lane, sedangkan “8 8” merujuk pada huruf H dalam alfabet yang punya makna “Heil Hitler.”

Tentang penggunaan hardbass oleh kelompok neo-Nazi tersebut, Daniel Koehler, ahli radikalisasi yang bertahun-tahun mendalami masalah ekstremis sayap kanan di masa lampau mengungkapkan bahwa hal itu normal-normal saja untuk eksistensi mereka.

“Jika mereka tidak menemukan cara untuk bertahan dalam menyampaikan ideologinya, maka, mereka akan mati begitu saja. Sehingga, cara baru dipandang jadi solusi untuk bertahan,” ujarnya seperti dikutip NBC News. “Ada banyak cara berbeda ketika neo-Nazi ingin menggambarkan diri mereka sebagai kelompok yang tidak kejam.”

Di lain sisi, peneliti ekstremisme kelompok kanan dari Universitas Masaryk, Ceko, Miroslav Mareš, mengatakan publik tidak perlu terlalu khawatir akan hal ini.

“Baiklah, kita memang menemukan beberapa hubungan antara hardbass dan neo-Nazi. Tetapi, hal itu hanya berdampak terbatas pada opini publik dan juga pada aksi ekstremis sayap kanan. Kita dapat melihat pertentangan yang kuat terhadap kecenderungan ini dalam aksi-aksi mereka,” katanya.

Terlepas dari segala penggunaannya, kembali lagi pada esensi hardbass di awal kemunculan: hardbass adalah cara Rusia menarik perhatian publik—terutama negara-negara Barat—meski dengan cara aneh yang kemudian dijadikan bahan lelucon tentang gambaran orang Rusia yang suka mabuk, memakai baju Adidas, serta menari seenaknya.

Ungkapan serupa juga dilontarkan Aleks Eror, kontributor Noisey, dalam artikelnya tentang hardbass. Menurutnya, hardbass hanyalah sarana anak-anak muda Rusia yang menghadapi “tantangan hormonal” masa remaja dan berharap hal itu bisa “membawa mereka ke semacam tujuan dan kepemilikan.”

Tapi, pernyataan tersebut memang ada betulnya. Cobalah Anda membuka YouTube lalu mengetikkan “hardbass Russian” di kolom pencari. Lihat salah satu videonya dan Anda akan merasa geli sendiri dengan musik Rusia ini—mungkin anda juga akan tertawa beberapa detik kemudian.

Menyimak kelucuan orang Rusia, mau tak mau akan mengingatkan pada kata pengantar yang dibuat Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, untuk buku Mati Ketawa Ala Rusia. Bagi Gus Dur, humor adalah cerminan daya tahan tinggi masyarakat ketika harus dihadapkan dengan kepahitan dan kesengsaraan. Maka orang Rusia yang melakoni hidup dengan penuh humor, termasuk melakukan gerakan joget lucu sekalipun, adalah jenis masyarakat yang punya daya hidup kuat.

"Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan

tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat," tulis Gus Dur.

Orang Rusia memang lucu-lucu. Kecuali KGB dan Vladimir Putin.

Baca juga artikel terkait RUSIA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Nuran Wibisono