tirto.id - Oleh Charles Bowden, jurnalis investigasi asal Amerika yang intens meliput kriminalitas di daerah Southwest dan perbatasan AS dengan Meksiko, Ciudad Juarez disebut sebagai “murder city”, kota pembunuhan. Bowden bukan satu-satunya orang yang memberi label mengerikan kepada kota itu.
Ciudad Juarez—dulu dikenal dengan nama Paso del Norte—adalah sebuah kota yang terletak di negara bagian Chihuahua, membentang di sepanjang sungai Rio Grande, selatan perbatasan El Paso, Texas, Amerika Serikat. Berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa, Juarez menjadi kota terpadat di antara kota-kota lain di Chihuahua seperti Chihuahua City, Delicias, Ciudad Cuauhtémoc, Parral, Nueva Casas Grandes, Camargo, dan Ciudad Jiménez.
Kota ini memiliki pusat industri yang berkembang. Terdapat lebih dari 300 maquiladora (pabrik perakitan) di berbagai daerah. Pada 2007,New York Times memuat artikel yang mengklaim bahwa Juarez "sekarang menyerap lebih banyak ruang real estate sebagai industri baru daripada kota lainnya di Amerika Utara". Sementara pada 2008, majalah fDi bahkan menyebut Juárez sebagai "Kota Masa Depan".
Semua klaim tersebut benar belaka, namun sebelum pemerintah Meksiko melancarkan perang terhadap kartel pada 2007. Menurut laporan salah satu organisasi non-pemerintah yang fokus terhadap isu sosial, Citizen's Council for Public Security (CCSP)—turut dimuat dalam artikel Reuters berjudul 'Mexico’s ‘Ciudad Juarez, The World’s Most Violent City?’—rata-rata terjadi 130 pembunuhan per 100 ribu penduduk di Juarez pada tahun 2009.
CCSP mendasarkan laporannya tersebut atas berita di media dan laporan FBI kepada pemerintah AS. Sepanjang periode Januari-Agustus, CCSP juga mencatat ada 1.362 orang tewas dibunuh, terutama akibat konflik antar-kartel narkotika dalam memperebutkan jalur perdagangan narkoba ke AS. Penerjunan 8.500 tentara di kota perbatasan ini sebagai bagian dari misi pemerintah Meksiko untuk perang terhadap kartel terbukti gagal dalam meredam konflik yang terus terjadi.
Perang terhadap kartel adalah misi utama Felipe Calderon, presiden Meksiko terpilih pada 2006. Dengan segera ia membentuk misi yang dinamakan: Operation Michoacán. Selain menganggarkan biaya hingga 1,5 miliar dolar, sebanyak 8.500 pasukan (gabungan dari sekitar 20.000 polisi dan tentara) juga dilatih khusus untuk dan dikerahkan. AS pun turut sumbang dana sebesar 1 miliar dolar.
Namun, persiapan ekstra serius tersebut bukannya tanpa kritik. Dengan begitu besarnya dana yang dialokasikan (sejak 2007 hingga kepemimpinan Calderon selesai 2012, operasi tersebut telah menghabiskan 54 miliar dolar), ternyata banyak yang dikorupsi oleh berbagai pejabat pemerintah dan aparat.
Perang besar-besaran terhadap kartel ini juga menyebabkan ribuan orang menjadi korban. Sejak 2007, menurut laporan Amnesty International, terdapat 200.000 orang tewas, sementara 28.000 lainnya dilaporkan menghilang. Selain itu, laporan penyiksaan yang dilakukan oleh pihak aparat juga meningkat drastis, yakni hingga 600 persen dalam rentang tahun 2003 hingga 2013.
Operasi yang dilakukan Calderon memang cukup memuaskan, namun bukan berarti sepenuhnya berhasil. Ketika Calderon lengser dan digantikan oleh Enrique Pena Nieto, perang terhadap kartel masih tetap berlangsung. Hasilnya juga lumayan: 25 dari 37 pemimpin kartel yang menjadi buruan berhasil mereka sikat. Kemenangan terbesar pemerintah Meksiko adalah ketika mereka (akhirnya) sukses menangkap Joaquín 'El Chapo' Guzmán, pemimpin utama gembong Sinaloa Cartel.
Namun demikian, imbasnya pun tak kalah buruk: meningkatnya angka pembunuhan di Juarez. New York Times sampai menyebut kota itu sebagai: “Ibukota Pembunuhan Dunia”.
Femisida dan Horor untuk Jurnalis
Pada akhir November 2017, tiga gadis bersaudara berusia 10, 11, dan 12, diperkosa ketika mereka tengah tertidur, dan yang tertua, Nahomí Galindo, dibunuh. Nahomí adalah korban ke-86 yang tewas sepanjang kasus femisida merebak di Juarez pada tahun tersebut.
Sehari setelah tragedi keluarga Galindo, tepatnya pada 23 November 2017, Gubernur Chihuahua, Javier Corral, membuka tugu peringatan bagi para korban femisida di kota itu. Namun, persis ketika ia tengah berpidato, seorang wanita lain ditembak mati oleh suaminya di apartemen mereka di daerah pinggiran Juarez. Peristiwa itu berujung dengan digelarnya demonstrasi di lokasi pembunuhan massal tahun 2012.
Namun, lagi-lagi, tepat ketika demonstrasi digelar, sekitar pukul 10:00 pagi hari waktu setempat, sesosok mayat wanita ditemukan terbungkus di dalam selimut, tepat di bawah kaki bukit yang di ada palang besar bertuliskan: "Alkitab adalah kebenaran, bacalah." Usai diidentifikasi, perempuan itu bernama Vanessa Moreli Luna, 21 tahun, dan telah memiliki seorang anak.
Seretentan peristiwa tersebut sampai membuat surat kabar harian El Universal yang berbasis di Mexico City mengklaim bahwa Juárez merupakan ‘tempat paling berbahaya di Meksiko untuk perempuan’. Sejak 2010, lebih dari 900 perempuan (remaja maupun dewasa) telah dibunuh di sana. Kasus femisida tahun 2017 ini meningkat 37% dibanding tahun sebelumnya.
Imelda Marrufo, Direktur Mesa de Mujeres Network, organisasi non pemerintah yang aktif mendampingi keluarga korban femisida dan korban pembunuhan lainnya, menyebutkan bahwa dalam enam bulan pertama tahun 2017, di Juarez telah terjadi 220 kasus pemerkosaan atau satu orang per 20 jam. Jumlah ini memang jauh lebih sedikit dibanding Mexico City, misalnya, di mana terdapat 989 kasus dalam kurun waktu yang sama.
Mayoritas perempuan yang dibunuh (atau diperkosa) di Juarez secara khusus dan Chihuahua dalam wilayah yang lebih luas, memiliki karakteristik sama: berlatar belakang miskin, bekerja sebagai buruh pabrik, juga pelajar. Atribut fisiknya juga sama: berkulit gelap, bertubuh ramping, dan rambut gelap sebahu.
Maraknya kasus femisida ini juga didasari akibat kurangnya kesempatan kerja bagi pria ketimbang perempuan yang kelak mengubah dinamika gender tradisional hingga menyebabkan situasi konflik di antara kedua jenis kelamin.
Pada Agustus 2018 lalu, peristiwa horor juga terjadi di Juarez: 11 orang tewas dibunuh. Korban yang terdiri dari delapan laki-laki dan tiga perempuan itu ditemukan teriikat di sebuah rumah di lingkungan Praderas de los Oasis. Dari hasil forensik, semua korban tewas usai disiksa dan para korban wanita juga turut diperkosa. Polisi yang bergerak cepat berhasil menangkap pelakunya: komplotan Aztec, geng kriminal yang terkait dengan kartel Juárez.
Juarez juga kota yang mengerikan bagi jurnalis. Pada 2017 lalu, sebuah surat kabar harian yang fokus pada isu-isu kriminal dan politik, memutuskan tutup setelah salah seorang jurnalis seniornya mendapat ancaman pembunuhan dari sebuah kartel. Gabriel Minjares, nama jurnalis itu, mengatakan:
“Tiga bulan lalu, rekaman audio milik seorang staf di departemen media pemerintah daerah bocor. Isinya tentang daftar wartawan yang dianggap 'mengancam' para kartel dan politikus kotor. Saya ada dalam daftar tersebut. Saya merasa identitas saya sedang diekspos.”
Selama bertahun-tahun, Minjares melakukan berbagai reportase investigatif mengenai isu kriminal dan kejahatan kartel di Juarez, terutama yang berkaitan dengan transaksi dan imigran ilegal di perbatasan El Paso. Sepanjang itu pula ia telah membongkar nama-nama para politikus korup dan menyaksikan bagaimana rekan-rekan jurnalisnya dibunuh para kartel.
Dalam data Committee to Protect Journalists (CPJ), Meksiko berada di peringkat keenam dalam tingkat pembunuhan para jurnalis. Hanya negara-negara yang tengah berperang serta Filipina yang berperingkat lebih tinggi. Nahasnya, (jurnalis) perempuan lagi-lagi menjadi sasaran utama. Total sepanjang 1992-2019, terdapat 109 jurnalis yang tewas di Meksiko dengan motif yang telah atau belum diketahui.
Di bawah pemerintahan Peña Nieto, jumlah kekerasan terhadap jurnalis perempuan meningkat dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk menghadapi kengerian tersebut, Minjares sempat mendirikan jejaring Ciudad Juarez Journalists’ Network pada tahun 2011, di mana semua anggotanya adalah perempuan. Ketika ditanya mengapa tidak ada anggota pria, ia mengatakan:
“Saya kira, kamilah yang paling pemberani dan tidak lagi yang lainnya. Ada saat di mana 80% staf El Dario adalah perempuan, dan kini masih 60%-70%.”
Sekitar 30-40 tahun yang lampau, Juarez sebetulnya adalah kota yang menyenangkan, terutama untuk para penikmat kehidupan malam. Bar dan klub striptis terdapat di sepanjang jalan. Motel-motel murah untuk memadu kasih, restoran 24 jam, juga tersedia bagi mereka yang hendak melintasi perbatasan AS dan Meksiko ini. “Dulu, kota ini mirip Las Vegas,” ujar Richard Wright, seorang penduduk asli El Paso, kepada Al Jazeera.
"Juarez adalah kota yang dikenal punya reputasi sebagai tempat untuk melakukan apapun dan apapun (juga) bisa terjadi di sini. Orang-orang menganggap Juarez jauh lebih baik dari El Paso. Musik terdengar di setiap sudut jalan, seperti tengah menelusuri mal di kala Natal,” lanjutnya.
Namun, situasi telah berubah drastis, terutama sejak tragedi 9/11. Baik AS maupun Meksiko memperketat pengamanan militer mereka di perbatasan. Dan sejak meningkatnya persaingan bisnis para kartel, lalu ditambah dengan perang yang dilancarkan pemerintah Meksiko kepada mereka, Juarez kini menjadi kota di mana, meminjam judul artikel The Telegraph, "iblis pun takut untuk melangkah".
Editor: Maulida Sri Handayani